Fiqh Muqaran: Perbedaan Mazhab dalam Syarat dan Rukun Shalat
TATSQIF ONLINE – Fiqh perbandingan atau fiqh muqaran adalah salah satu metode studi yang membandingkan pandangan ulama dari berbagai mazhab fiqh terhadap isu-isu tertentu dalam syariat Islam. Tujuannya adalah untuk memahami perbedaan pendapat dan menggali landasan argumentasi masing-masing pandangan.
Hal ini sangat penting karena perbedaan pandangan dalam fiqh merupakan bagian dari kekayaan intelektual Islam, yang harus disikapi dengan toleransi dan saling menghormati. Salah satu topik yang sering dibahas dalam fiqh muqaran adalah perbedaan pendapat mengenai syarat dan rukun shalat.
Syarat Shalat
Syarat shalat adalah hal-hal yang harus dipenuhi sebelum seseorang melaksanakan shalat agar shalat tersebut sah dan diterima. Berikut ini adalah fiqh muqaran (perbandingan pendapat) dari empat mazhab besar mengenai syarat-syarat shalat:
Mazhab Hanafi
Menurut ulama Hanafi, syarat shalat terdiri dari syarat wajib dan syarat sah. Dalam karya Al-Kasani Bada’i al-Sana’i, syarat wajib mencakup lima hal: baligh, berakal, Islam, sampai dakwah Nabi, serta suci dari haid dan nifas. Syarat sah shalat termasuk suci dari hadats, menutup aurat, menghadap kiblat, dan niat.
Mazhab Maliki
Menurut ulama Maliki, syarat shalat terbagi menjadi tiga kategori: syarat wajib, syarat sah, dan syarat yang mencakup keduanya. Syarat wajib shalat, seperti terdapat dalam Perbandingan Mazhab karya Abdul Rahman Al-Jaziri, adalah baligh dan tidak ada yang memaksanya untuk meninggalkan shalat.
Syarat sah meliputi lima hal: suci dari hadats, suci dari najis, beragama Islam, menghadap kiblat, dan menutup aurat. Sementara itu, syarat yang wajib sekaligus sah adalah berakal, masuk waktu, serta tidak berada dalam keadaan hadats besar atau kecil.
Mazhab Syafi’i
Ulama Syafi’i membagi syarat shalat menjadi dua kategori: syarat wajib dan syarat sah. Dalam buku Al-Umm karya Imam Syafi’i, tercantum bahwa syarat wajib meliputi enam hal, antara lain baligh, Islam, berakal, suci dari haid dan nifas, dan telah mendengar dakwah Nabi Muhammad. Syarat sah shalat, seperti masuk waktu dan menutup aurat, wajib terpenuhi sebelum pelaksanaan shalat.
Mazhab Hanbali
Pendapat Hanbali sedikit berbeda, mereka tidak membedakan syarat wajib dan sah. Menurut ulama Hanbali dalam buku Al-Mughni karya Ibn Qudamah, syarat shalat terdiri dari sembilan hal: berakal, Islam, tamyiz, suci dari hadats, menutup aurat, menjauhi najis, berniat, menghadap kiblat, dan masuk waktu. Kesembilan hal ini harus terpenuhi sebelum memulai shalat.
Sebagian Dalil dari Syarat Shalat
1. Wudhu sebagai Syarat Sah Shalat
Dalil tentang suci dari hadats besar dan kecil adalah Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, usaplah kepalamu, dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah.”
Para ulama dari empat mazhab besar, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, sepakat bahwa ayat tersebut menjadi dasar kewajiban wudhu sebagai syarat sah shalat. Mazhab Hanafi menyebutkan bahwa rukun wudhu meliputi membasuh wajah, tangan hingga siku, mengusap sebagian kepala, dan membasuh kaki, sebagaimana penjelasan Al-Kasani dalam buku Bada’i’ al-Sana’i.
Ulama mazhab Maliki, dalam buku Al-Mudawwanah, menambahkan bahwa tadlik (menggosok-gosok kulit saat membasuh anggota wudhu’) dan niat juga harus ada saat berwudhu untuk menambah keikhlasan. Mazhab Syafi’i, dalam buku Al-Umm karya Imam Syafi’i, menekankan pentingnya tertib, yaitu mengikuti urutan membasuh anggota wudhu dengan benar, serta adanya niat sebelum wudhu.
Sedangkan Mazhab Hanbali, dalam buku Al-Mughni karya Ibn Qudamah, juga mewajibkan muwalah, yaitu pelaksanaan wudhu harus secara berurutan tanpa jeda lama. Meskipun terdapat perbedaan detail, semua mazhab sepakat bahwa wudhu adalah syarat utama agar shalat menjadi sah, berdasarkan ayat ini.
2. Menghadap Kiblat dalam Shalat
Hadis tentang menghadap kiblat saat shalat adalah sabda Rasulullah SAW:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ
Artinya: Jika engkau hendak berdiri untuk shalat, maka hadapkanlah dirimu ke arah kiblat,” (HR Bukhari dan Muslim).
Ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali sepakat bahwa menghadap kiblat adalah syarat sah shalat, berdasarkan hadis di atas dan Alquran Surah Al-Baqarah ayat 144:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Artinya: “Palingkanlah mukamu (saat shalat) ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”
Namun, para ulama berbeda pendapat dalam penerapannya. Mazhab Hanafi dan Hanbali membolehkan musafir yang melaksanakan shalat sunnah untuk tidak selalu menghadap kiblat, selama ia memulai shalatnya dengan menghadap kiblat terlebih dahulu.
Sementara Mazhab Maliki memberi kelonggaran bagi orang yang sakit atau dalam keadaan darurat seperti shalat dalam keadaan perang. Mazhab Syafi’i menegaskan kewajiban ini sebagai syarat mutlak kecuali dalam situasi darurat atau perjalanan. Perbedaan ini menunjukkan keluwesan fiqh dalam menghadapi beragam kondisi umat.
Rukun Shalat
Komponen rukun shalat harus terlaksana dan tidak boleh tertinggal. Jika seseorang tidak melaksanakan salah satu rukun, maka shalatnya menjadi tidak sah. Berikut ini adalah perbandingan pendapat mengenai rukun shalat dari empat mazhab besar:
Niat
Menurut Mazhab Hanafi, seseorang harus menyadari bahwa niat merupakan syarat, bukan rukun shalat, sehingga tidak wajib melafalkannya. Cukup dalam hati. Dalilnya merujuk pada hadis Nabi SAW:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya,” (HR Bukhari dan Muslim).
Mazhab Syafi’i mengharuskan niat sebagai rukun pertama shalat dan menekankan bahwa niat harus hadir saat Takbiratul Ihram. Menurut Imam Syafi’i dalam Al-Umm, niat ini merupakan penentu apakah seseorang shalat fardhu atau sunnah.
Takbiratul Ihram
Semua ulama sepakat bahwa Takbiratul Ihram adalah rukun yang mengawali shalat, seperti sabda Rasulullah SAW:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Artinya: “Kunci shalat adalah bersuci, pengharamannya (dari perbuatan lain) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam,” (HR Abu Daud).
Perbedaan utama terletak pada kebolehan mengucapkan takbir dalam bahasa selain Arab. Ulama Hanafi memperbolehkan menggunakan bahasa lain, sementara mayoritas ulama, termasuk Syafi’i dan Hanbali, mewajibkan bahasa Arab.
Ruku’ dan Sujud
Semua mazhab sepakat bahwa ruku’ dan sujud adalah rukun shalat. Dalilnya adalah firman Allah dalam Surat Al-Hajj ayat 77:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah dan sujudlah.”
Namun, mereka berbeda pendapat tentang kadar thuma’ninah (ketenangan) saat ruku’ dan sujud. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa thuma’ninah tidak wajib, sedangkan mazhab lain, seperti Syafi’i, Hanbali, dan Maliki, mewajibkannya.
Bacaan Al-Fatihah
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa membaca Surah Al-Fatihah dalam setiap rakaat adalah wajib, berdasarkan hadis Nabi:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya: “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Al-Fatihah,” (HR Bukhari dan Muslim).
Namun, Mazhab Hanafi menyatakan bahwa membaca Al-Fatihah hanya wajib pada dua rakaat pertama. Sebagai gantinya, membaca ayat Al-Qur’an lain sudah mencukupi dalam rakaat berikutnya.
Tasyahud Akhir
Semua mazhab sepakat bahwa tasyahud akhir merupakan rukun, berdasarkan hadis berikut ini:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْآخِرَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى
Artinya: “Rasulullah duduk tasyahud dengan kaki kiri tertumpu dan kaki kanan ditegakkan,” (HR Bukhari).
Penutup
Perbedaan pandangan antara mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali terkait syarat dan rukun shalat menunjukkan bahwa fiqh Islam sangat kaya akan interpretasi. Setiap mazhab memiliki dalil dan argumen tersendiri yang terambil dari Al-Qur’an dan hadis, serta ijtihad para ulama terdahulu.
Fiqh muqaran memperkaya umat Muslim dan perlu mendapat apresiasi serta menjadi sumber kebijaksanaan dalam menjalankan ibadah shalat. Sebagai umat Islam, penting untuk memahami perbedaan ini dan menjadikannya sarana untuk memperkuat ukhuwah, serta meningkatkan kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah SWT. Wallahua’lam.
Halimatul Fazri (Mahasiwa Prodi HKI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)