Anak Hasil Zina dan Sumbang: Tinjauan Hukum Islam dan Positif
TATSQIF ONLINE – Anak merupakan anugerah Allah SWT yang harus dilindungi hak-haknya, tanpa memandang status atau cara kelahirannya. Dalam konteks ini, status anak hasil zina dan anak sumbang sering kali menjadi perdebatan, baik dari sudut pandang hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia.
Hukum Islam membedakan anak menjadi dua kategori: anak sah yang lahir dari pernikahan yang sah menurut syariat dan anak hasil zina yang lahir dari hubungan di luar nikah. Namun, hukum Islam tidak mengenal istilah anak sumbang, meskipun fenomena anak yang lahir dari hubungan sedarah (inses) tetap diatur secara tegas melalui ketentuan larangan menikah dengan mahram.
Dalam hukum positif, perlindungan anak ditegaskan melalui UUD 1945, khususnya Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1), yang menjamin hak setiap anak untuk mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang adil. Namun, beberapa ketentuan hukum waris seperti dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) masih membatasi hak anak hasil zina, meskipun Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan penting terkait hal ini.
Pengertian Anak Hasil Zina dalam Hukum Islam
Anak hasil zina adalah anak yang lahir dari hubungan antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan yang sah. Perbuatan zina dalam Islam dikategorikan sebagai dosa besar.
Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah Al-Isra ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىۤ ۗ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Dari sisi hukum, anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
Artinya: “Anak itu dinisbatkan kepada pemilik ranjang (suami sah), dan bagi pezina hanya ada kerugian,” (HR Bukhari dan Muslim).
Kompilasi Hukum Islam Pasal 186 menegaskan bahwa anak yang lahir di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Oleh karena itu, anak hasil zina tidak berhak mewarisi dari ayah biologisnya.
Kedudukan Hukum Anak Hasil Zina dalam Hukum Positif
Dalam konteks hukum positif, anak hasil zina mendapatkan perlindungan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Putusan ini menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya, jika hubungan tersebut dapat dibuktikan melalui teknologi dan alat bukti lainnya. Hal ini menjadi terobosan untuk melindungi hak-hak anak, termasuk hak waris.
Namun, ketentuan dalam KHI Pasal 186 tetap menjadi batasan. Akibatnya, hak-hak anak hasil zina sering kali terabaikan, meskipun Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Pengertian Anak Sumbang dalam Hukum Positif
Anak sumbang adalah anak yang lahir dari hubungan inses, yaitu hubungan sedarah yang dilarang oleh agama maupun hukum negara. Al-Qur’an secara tegas melarang pernikahan antar anggota keluarga dekat, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran Surah An-Nisa ayat 23:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ
Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.”
Dalam hukum positif, Pasal 867 KUH Perdata menyatakan bahwa anak sumbang tidak memiliki hak waris. Sebagai gantinya, anak tersebut hanya dapat menuntut pemberian nafkah seperlunya dari harta peninggalan orang tua biologisnya.
Kedudukan Anak Sumbang dalam Hukum Islam
Hukum Islam tidak mengenal istilah anak sumbang, tetapi anak yang lahir dari hubungan inses tetap masuk dalam kategori anak zina karena hubungan tersebut dilakukan di luar pernikahan yang sah. Dalam Islam, hubungan inses merupakan perbuatan yang sangat terlarang dan termasuk dosa besar.
Al-Qur’an Surah Al-An’am ayat 151 memperingatkan:
وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.”
Dari sisi nasab, anak hasil hubungan inses hanya memiliki hubungan dengan ibunya. Dengan demikian, hukum Islam memperlakukan anak sumbang sebagaimana anak hasil zina lainnya.
Dampak Sosial dan Psikologis
Anak hasil zina maupun anak sumbang sering kali mengalami stigma sosial. Dalam masyarakat, mereka sering dianggap tidak memiliki hak yang sama dengan anak sah, meskipun mereka tidak dapat memilih untuk lahir dari hubungan tersebut. Diskriminasi ini dapat memengaruhi psikologis anak, seperti perasaan rendah diri, kecemasan, dan depresi.
Islam mengajarkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah,” (HR Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, masyarakat harus memberikan perlindungan dan perlakuan yang adil terhadap semua anak, terlepas dari status kelahirannya.
Kesimpulan
Hukum Islam dan hukum positif memiliki pandangan berbeda tentang kedudukan anak hasil zina dan anak sumbang. Dalam Islam, anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya, sedangkan hukum positif melalui putusan MK memberikan ruang bagi anak hasil zina untuk memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Sementara itu, anak sumbang dalam hukum positif maupun Islam dianggap sebagai anak hasil hubungan terlarang dan tidak memiliki hak waris.
Namun, baik hukum Islam maupun hukum positif sama-sama menekankan pentingnya perlindungan terhadap anak. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih luas dan sikap inklusif dalam melindungi hak-hak anak ini, agar mereka dapat hidup tanpa stigma dan diskriminasi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Isra ayat 70:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيٓ اٰدَمَ
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.”
Dengan demikian, status kelahiran seorang anak tidak boleh menjadi alasan untuk menafikan hak-haknya, karena setiap anak adalah amanah yang harus dijaga sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Wallahua’lam.
Fitriani Munte (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)