Hukum Wasiat dalam Fiqh Mawaris Berdasarkan Dalil Syari
TATSQIF ONLINE – Wasiat merupakan salah satu bentuk pengelolaan harta yang dilakukan seseorang sebelum wafatnya. Tujuannya ialah untuk memberikan sebagian hartanya kepada pihak tertentu setelah ia meninggal dunia. Dalam hukum Islam, wasiat menjadi bagian dari sistem distribusi harta yang diakui dan diatur dengan ketat. Islam mengakui pentingnya wasiat sebagai jalan untuk menyalurkan kepedulian sosial, namun pelaksanaannya tidak boleh menyalahi aturan waris yang telah ditetapkan oleh syariat.
Dalil Al-Qur’an tentang Wasiat
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 180:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, supaya berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini menegaskan pentingnya wasiat dalam Islam, meskipun kemudian hukum pewarisan mengalami penyempurnaan melalui ayat-ayat faraidh (warisan) yang turun setelahnya. Ulama seperti Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menjelaskan bahwa wasiat tidak lagi wajib setelah turun ayat-ayat pembagian waris, namun tetap disunnahkan sebagai bentuk kebaikan kepada orang yang tidak mendapat warisan.
Hadis Nabi tentang Batasan Wasiat
Dalam sebuah hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim, Sa’d bin Abi Waqqash pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang bolehkah ia mewasiatkan seluruh hartanya, lalu setengahnya, hingga akhirnya Nabi bersabda:
الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ
Artinya: “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.”
Hadis ini menjadi dasar bahwa wasiat dalam Islam hanya diperbolehkan maksimal sepertiga dari harta peninggalan. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa larangan melebihi sepertiga dimaksudkan agar hak para ahli waris tidak terlanggar dan terjadi keadilan dalam pembagian harta.
Wasiat Tidak Boleh Diberikan Kepada Ahli Waris
Prinsip penting lainnya dalam fiqh mawaris adalah larangan memberikan wasiat kepada ahli waris. Nabi SAW bersabda:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak akan haknya, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dalam Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd dijelaskan bahwa larangan ini berlaku sebagai bentuk perlindungan terhadap hak waris yang telah ditentukan secara tegas oleh syariat.
Syarat dan Tata Cara Wasiat yang Sah
Agar wasiat sah menurut hukum Islam, beberapa syarat harus dipenuhi. Pertama, wasiat harus berasal dari orang yang baligh, berakal, dan tidak dalam tekanan. Kedua, wasiat harus jelas, baik melalui lisan di hadapan saksi atau dalam bentuk tertulis. Wasiat yang tidak memiliki kejelasan atau tidak bisa dibuktikan, berpotensi menimbulkan konflik setelah wafatnya pewasiat.
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni menegaskan pentingnya keberadaan saksi atau dokumen dalam pelaksanaan wasiat. Dengan bukti yang kuat, wasiat dapat dijalankan tanpa menimbulkan keraguan atau perdebatan di antara ahli waris.
Contoh Kasus dan Penyelesaian
Agar pemahaman lebih utuh, berikut ini adalah contoh kasus wasiat dalam praktik fiqh mawaris:
Kasus:
Seorang laki-laki bernama Haji Hasan wafat dengan meninggalkan:
- Istri
- 1 anak laki-laki
- 2 anak perempuan
- Total harta: Rp 600 juta
- Wasiat: Rp 50 juta untuk pembangunan masjid
- Hutang: Rp 30 juta
Penyelesaian:
- Penyelesaian hutang terlebih dahulu
Total harta: Rp 600 juta
Dikurangi hutang: Rp 30 juta
Sisa: Rp 570 juta - Pelaksanaan wasiat
Batas maksimal wasiat: 1/3 dari Rp 570 juta = Rp 190 juta
Karena wasiat hanya Rp 50 juta, maka sah dan dapat dilaksanakan
Sisa harta setelah wasiat: Rp 570 juta – Rp 50 juta = Rp 520 juta - Pembagian warisan (faraidh)
- Bagian istri: 1/8 × Rp 520 juta = Rp 65 juta
- Sisa harta: Rp 520 juta – Rp 65 juta = Rp 455 juta
- Anak laki-laki mendapat dua bagian, dan setiap anak perempuan mendapat satu bagian
Total bagian = 2 (anak laki-laki) + 1 + 1 (anak perempuan) = 4 bagian - Anak laki-laki: 2/4 × Rp 455 juta = Rp 227,5 juta
- Masing-masing anak perempuan: 1/4 × Rp 455 juta = Rp 113,75 juta
Ringkasan:
- Hutang: Rp 30 juta
- Wasiat: Rp 50 juta
- Istri: Rp 65 juta
- Anak laki-laki: Rp 227,5 juta
- Anak perempuan (masing-masing): Rp 113,75 juta
Contoh ini menunjukkan bahwa hukum wasiat dan warisan dalam Islam dapat berjalan harmonis selama mengikuti syariat. Wasiat tetap dilaksanakan tanpa mengganggu hak para ahli waris, dan hutang diselesaikan terlebih dahulu sebagai bentuk tanggung jawab mayit.
Urgensi Memahami Hukum Wasiat
Memahami hukum wasiat bukan hanya soal distribusi harta, tetapi juga soal tanggung jawab moral dan spiritual. Wasiat bisa menjadi jalan kebaikan, bahkan pahala jariyah jika diberikan untuk kepentingan umum, seperti membangun masjid atau mendukung pendidikan anak yatim. Namun, niat baik tidak cukup tanpa pemahaman yang benar tentang batasan dan prosedur yang sah.
Menurut Mahmud Yunus dalam bukunya Fiqh Mawaris dalam Syari’at Islam, wasiat yang tidak sah atau bertentangan dengan ketentuan syariat justru dapat menimbulkan fitnah, perselisihan, bahkan permusuhan di antara ahli waris. Oleh karena itu, Islam menempatkan wasiat dalam bingkai yang tegas, adil, dan rasional.
Penutup
Wasiat dalam fiqh mawaris Islam merupakan bentuk kebaikan yang sangat dianjurkan, terutama untuk memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang tidak mendapatkan warisan. Namun, pelaksanaannya harus tunduk pada aturan syariat, seperti batasan sepertiga harta, larangan memberi kepada ahli waris tanpa persetujuan, dan pentingnya bukti sah. Dengan memahami hukum wasiat secara menyeluruh, setiap muslim dapat memastikan bahwa harta yang ditinggalkan benar-benar menjadi sumber manfaat, bukan sumber pertikaian. Wallahua’lam.
Nur Siah (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Bagaimana jika wasiat bertentangan dengan hukum waris (misal, menguntungkan satu ahli waris saja), coba penyaji jelaskan terkait pertanyaan ini!