Piutang Mayit dan Hak Ahli Waris dalam Fiqh Mawaris, Simak
TATSQIF ONLINE – Dalam sistem hukum Islam, distribusi warisan tidak hanya melibatkan harta yang kasat mata atau berbentuk fisik, tetapi juga mencakup hak-hak finansial seperti piutang mayit. Sayangnya, dalam praktiknya, banyak keluarga muslim kurang memahami bagaimana memperlakukan piutang yang belum tertagih saat seseorang wafat. Padahal, Islam secara tegas mengatur bahwa piutang yang menjadi hak mayit adalah bagian dari tirkah (harta peninggalan) yang wajib ditagihkan dan kemudian dibagi sesuai dengan hukum waris syar’i. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang definisi, dasar hukum, dan mekanisme penyelesaian piutang mayit menjadi sangat penting agar tidak terjadi pengabaian terhadap hak-hak ahli waris.
Definisi Piutang Mayit (الدَّيْنُ المَتْرُوْكُ / الْحَقُّ المَالِيُّ لِلْمَيِّتِ)
Secara bahasa, kata “piutang” berasal dari kata dasar “utang”, yang bermakna sejumlah uang atau harta yang harus dibayar oleh seseorang kepada pihak lain. Dalam bahasa Arab, piutang dikenal dengan istilah الدَّيْنُ (ad-dayn) yang berarti “hutang”, atau الْحَقُّ (al-ḥaqq) yang bermakna “hak” yang wajib dipenuhi. Piutang mayit adalah hak finansial yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal, yaitu harta atau uang yang seharusnya diterima dari orang lain namun belum dibayarkan semasa hidupnya.
Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, piutang mayit termasuk dalam kategori harta peninggalan (tirkah) karena merupakan hak milik yang belum ditunaikan oleh pihak lain. Oleh karena itu, statusnya sama seperti harta bergerak atau tidak bergerak yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum warisan dibagikan kepada ahli waris.
Dalil Al-Qur’an dan Hadis tentang Piutang
Al-Qur’an mengakui eksistensi dan legalitas piutang sebagai bagian dari transaksi keuangan yang sah. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 282, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Ayat ini menjadi dasar bahwa piutang merupakan hak yang sah dalam Islam dan harus terdokumentasi secara tertulis agar memudahkan penyelesaian apabila terjadi kematian salah satu pihak.
Selain itu, dalam Surah An-Nisa ayat 11–12, Allah menyebutkan tentang pembagian warisan dan penggunaan istilah “maa taraka” (ما ترك), yang berarti segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, baik berupa aset fisik maupun hak finansial, termasuk piutang.
Hadis juga menjelaskan pentingnya menyelesaikan hak-hak keuangan mayit. Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Artinya: “Jiwa seorang mukmin tergantung dengan utangnya sampai utang tersebut dilunasi.” (HR. Tirmidzi)
Meskipun konteks hadis ini berbicara tentang hutang mayit yang harus dibayar, para ulama menyamakan urgensinya dengan hak-hak mayit lainnya, termasuk piutang yang belum ditagih. Menurut Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dalam kitab Mu’jam Lughah al-Fuqaha, piutang yang menjadi hak mayit harus ditagihkan sebagai bagian dari kewajiban ahli waris terhadap tirkah.
Status Piutang Mayit sebagai Harta Warisan
Para ulama dari keempat mazhab — Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali — sepakat bahwa piutang mayit tergolong harta warisan yang wajib ditagihkan oleh ahli waris. Dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah dijelaskan bahwa seluruh hak finansial yang belum direalisasikan selama hidup pemiliknya tetap sah dan berpindah kepada ahli waris setelah kematiannya.
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh menyebutkan bahwa apabila mayit memiliki piutang kepada seseorang, maka ahli waris wajib menagih piutang tersebut sebelum pembagian warisan dilakukan. Harta yang diperoleh dari penagihan piutang ini kemudian dimasukkan ke dalam total harta peninggalan yang akan dibagikan sesuai ketentuan hukum waris Islam.
Mekanisme Penagihan Piutang Mayit
1. Verifikasi Keberadaan Piutang
Langkah awal yang harus dilakukan oleh ahli waris adalah memastikan bahwa piutang tersebut benar-benar ada dan sah. Verifikasi ini bisa dilakukan melalui dokumen tertulis, saksi yang adil, atau pengakuan langsung dari pihak yang berutang. Jika tidak ditemukan bukti sah, maka piutang tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai bagian dari tirkah.
Menurut Al-Kasani dalam Bada’i al-Shana’i, validitas piutang sangat tergantung pada adanya bukti yang menunjukkan terjadinya transaksi atau pengakuan dari pihak berutang. Oleh karena itu, dokumentasi dalam muamalah merupakan prinsip penting dalam menjaga hak-hak mayit.
2. Penagihan oleh Ahli Waris
Setelah verifikasi, ahli waris berkewajiban untuk menagih piutang atas nama tirkah mayit. Dalam praktiknya, ahli waris dapat melakukannya secara langsung kepada pihak yang berutang. Jika pihak tersebut mengakui dan mampu membayar, maka pelunasan dilakukan kepada ahli waris atau pihak yang ditunjuk mewakili tirkah.
3. Apabila Pihak Berutang Mengingkari
Jika pihak yang berutang mengingkari adanya piutang, maka ahli waris memiliki hak untuk mengajukan perkara ke pengadilan syar’i. Dalam hal ini, keberadaan bukti tertulis, saksi, atau pengakuan sebelumnya menjadi penting dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Menurut pendapat Syaikh Mustafa al-Khin dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji, ahli waris boleh menggunakan jalur qadha’ (peradilan) untuk menagih piutang yang disengketakan.
4. Bila Pihak Berutang Tidak Mampu Membayar
Jika pihak berutang dalam keadaan tidak mampu membayar, maka Islam memberikan tiga alternatif penyelesaian:
- Memberi tenggang waktu sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 280:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ
Artinya: “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia mampu.”
- Memaafkan piutang sebagai bentuk sedekah (jika disetujui semua ahli waris).
- Melaksanakan wasiat mayit apabila ia pernah berwasiat untuk membebaskan hutang si pengutang, selama wasiat tersebut tidak melebihi sepertiga harta dan disetujui oleh seluruh ahli waris jika lebih dari sepertiga.
Pembagian Piutang Mayit Setelah Ditagih
Setelah piutang berhasil ditagih, nilainya dimasukkan ke dalam total harta peninggalan mayit. Maka urutannya adalah:
- Pertama, digunakan untuk membayar biaya perawatan jenazah.
- Kedua, melunasi hutang-hutang mayit kepada pihak lain.
- Ketiga, melaksanakan wasiat jika ada.
- Keempat, sisanya dibagikan kepada ahli waris sesuai ketentuan hukum waris Islam.
Dalam kitab al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’i karya Muhammad az-Zuhri, dijelaskan bahwa piutang mayit yang ditagih setelah kematiannya tetap diperlakukan sebagai bagian dari harta peninggalan dan dibagikan dengan urutan prioritas tersebut.
Penutup
Piutang mayit memiliki kedudukan hukum yang sah dalam fiqh mawaris sebagai bagian dari harta peninggalan yang wajib ditagih. Seluruh ulama dari mazhab empat sepakat bahwa ahli waris bertanggung jawab untuk menagih piutang tersebut dan memasukkannya ke dalam harta yang akan diwariskan. Pelaksanaan yang benar sesuai syariat tidak hanya memastikan keadilan bagi para ahli waris, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap hak mayit.
Memahami dan menerapkan hukum piutang mayit dengan benar menjadi bagian dari ketaatan dalam menjalankan syariat Islam yang sempurna. Sebab, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah ﷺ, jiwa seorang mukmin bergantung pada pelunasan hak-hak keuangannya, baik ia berstatus sebagai pihak yang berhutang maupun sebagai pemilik piutang yang belum ditagih. Wallahua’lam.
Nadarya Putri Siregar (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Bagaimana jika piutang mayit bersifat tidak jelas (gharar) atau diperselisihkan keabsahannya? Coba penyaji jelaskan!
Bagaimana hukum jika menunda pelunasan utang si mayid demi pembagian warisan?
Jelaskan apa yang dimaksud dengan piutang mayit dan bagaimana status hukumnya dalam fiqh mawaris ?