Tauhid dan Al-Qur’an: Membumikan Wahyu dalam Kehidupan
TATSQIF ONLINE – Iman kepada Al-Qur’an merupakan pilar mendasar dalam ajaran Islam yang tidak dapat ditinggalkan oleh seorang Muslim. Ia adalah bagian integral dari rukun iman yang keenam: iman kepada kitab-kitab Allah. Di antara seluruh kitab yang diturunkan, Al-Qur’an menempati posisi paling agung sebagai penutup wahyu dan penyempurna risalah langit yang diturunkan kepada para nabi terdahulu.
Keimanan kepada Al-Qur’an bukan hanya menyangkut pengakuan bahwa kitab ini adalah firman Allah, tetapi juga mencakup aspek keyakinan dalam hati, pengakuan lisan, dan pengamalan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam disiplin ilmu tauhid, mengimani Al-Qur’an dikaji dalam kerangka pembenaran terhadap sifat Kalam Allah, serta pengakuan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk sempurna yang tidak ada kebatilan di dalamnya.
Hakikat Iman kepada Al-Qur’an
Keimanan kepada Al-Qur’an berarti meyakini bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an tidak diciptakan dan bersifat qadim karena ia termasuk sifat kalam Allah, sebagaimana keyakinan yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Dalam kitab Al-‘Aqidah at-Tahawiyyah, Imam Abu Ja’far at-Tahawi menjelaskan bahwa, “Al-Qur’an adalah firman Allah, diturunkan dan tidak diciptakan, berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.” Keyakinan semacam ini menegaskan bahwa keimanan kepada Al-Qur’an bukan sekadar menerima keberadaannya secara tekstual, melainkan meyakininya sebagai sumber hukum, sumber petunjuk, dan sumber kebenaran yang absolut.
Al-Qur’an menegaskan dirinya sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, sebagaimana tercantum dalam alquran Surah Al-Baqarah ayat 2:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Artinya: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
Ini menunjukkan bahwa salah satu aspek dari iman kepada Al-Qur’an adalah menerima bahwa ia mengandung petunjuk yang relevan dan dibutuhkan oleh manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
Keimanan yang Menyeluruh: Hati, Akal, dan Amal
Keimanan kepada Al-Qur’an dalam perspektif ilmu tauhid tidak berhenti pada pembenaran hati. Ia juga harus menyentuh dimensi rasional dan praksis. Seorang Muslim yang beriman kepada Al-Qur’an harus menggunakan akalnya untuk memahami isinya, sebagaimana dalam Alquran Surah Muhammad ayat 24:
أفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ
Artinya: “Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an?”
Ayat ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an menghendaki keterlibatan intelektual manusia untuk memahami wahyu. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir al-Kabir menekankan bahwa aspek rasionalitas dalam Al-Qur’an sangat tinggi. Tidak hanya mengandung perintah dan larangan, tapi juga argumentasi logis yang mengajak manusia untuk berpikir. Oleh karena itu, keimanan kepada Al-Qur’an juga menyentuh aspek kognitif yang aktif.
Sementara itu, dimensi amaliyah dari iman terhadap Al-Qur’an adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Seorang mukmin dituntut untuk membaca, menghafal, memahami, mengamalkan, dan menyebarluaskan ajaran Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadis berikut:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya,” (HR Bukhari).
Dengan demikian, keimanan tidak hanya menjadi urusan batin, tetapi juga terwujud dalam aktivitas sosial dan kultural.
Tantangan dalam Mengimani Al-Qur’an di Era Modern
Pada zaman ini, keimanan kepada Al-Qur’an dihadapkan pada berbagai tantangan, baik dari luar maupun dari dalam umat Islam sendiri. Tantangan dari luar seperti sekularisme, materialisme, dan relativisme nilai, sering kali mengikis otoritas wahyu dalam kehidupan manusia modern. Sementara itu, dari dalam, umat Islam sendiri banyak yang belum menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan petunjuk hidup. Banyak yang membaca Al-Qur’an hanya sebagai rutinitas ibadah tanpa penghayatan dan pemahaman.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam Miftah Dar al-Sa’adah mengingatkan bahwa Al-Qur’an adalah ruh kehidupan. Barang siapa yang tidak hidup dengan Al-Qur’an, maka ia akan mati dalam kegelapan kebodohan dan kesesatan. Oleh karena itu, penting untuk merevitalisasi keimanan terhadap Al-Qur’an dalam bentuk pendekatan holistik, yang tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga substantif dan transformasional.
Kesimpulan
Mengimani Al-Qur’an bukanlah sekadar menyatakan bahwa ia adalah kitab suci umat Islam, melainkan juga menjadikan Al-Qur’an sebagai panduan hidup yang mempengaruhi cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Dalam ilmu tauhid, iman kepada Al-Qur’an adalah manifestasi dari tauhid rububiyyah dan uluhiyyah, karena mengakui bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Mengatur dan Maha Memberi petunjuk. Keimanan ini harus dibuktikan melalui pembenaran dalam hati, penggunaan akal dalam memahami kandungan wahyu, dan amal perbuatan nyata yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Wallahua’lam.
Nurdayanti (Mahasiswa Prodi Teknologi Informasi UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Apakah membaca Al-Qur’an cuma sebagai rutinitas tanpa mengerti maknanya bisa dibilang bentuk iman yang utuh? jika iya kenapa dan jika tidak kenapa?
Bagaimana Al Qur’an dapat dianggap relevan dalam kehidupan modern
bagaimana Wahyu dapat dijadikan landasan dalam membuat keputusan dan menyelesaikan suatu masalah?
Bagaimana alquran dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dan pedoman dalam kehidupan modern?