Sumber Hukum Islam Muttafaq: Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas
TATSQIF ONLINE – Sumber hukum Islam menjadi landasan utama dalam kehidupan umat Muslim. Sumber ini terbagi ke dalam dua kategori: sumber yang disepakati (muttafaq), dan sumber yang tidak disepakati (mukhtalaf).
Para ulama sepakat bahwa sumber hukum Islam yang utama terdiri dari Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Keempat sumber ini menjadi acuan pokok dalam pengambilan hukum terkait ibadah, muamalah, hingga tata kehidupan sosial.
Al-Qur’an: Sumber Utama Hukum Islam
Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam. Menurut Abu Zahrah dalam bukunya Usul al-Fiqh, Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup manusia hingga akhir zaman.
Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat yang turun secara bertahap selama 23 tahun melalui perantaraan Malaikat Jibril. Setiap wahyu yang diterima oleh Nabi SAW dicatat dengan cermat oleh para sahabat, seperti Zaid bin Tsabit, Abu Bakar, dan Ali bin Abi Thalib.
Dalam hal kedudukannya, Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang mengandung prinsip-prinsip dasar yang mengatur berbagai aspek kehidupan, baik dalam urusan ibadah maupun muamalah. Allah SWT telah menetapkan bahwa umat Muslim wajib mengikuti hukum-hukum tersebut.
Penegasan ini terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 49:
وَأَنِ ٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ وَٱحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَنۢ بَعْضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَٱعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلنَّاسِ لَفَٰسِقُونَ
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah Allah turunkan kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah Allah turunkan), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka sebab sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Contoh Hukum Islam yang Bersumber dari Alquran
Hukum kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam, khususnya dalam Alquran Surah An-Nisa ayat 103:
فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْ ۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ ۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
Artinya: “Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Ayat ini menegaskan kewajiban shalat bagi orang-orang beriman dengan waktu yang telah tertentu. Para ulama memulai proses istinbath dengan meneliti dalil Al-Qur’an.
Mereka kemudian menafsirkan ayat tersebut untuk memahami makna kewajibannya. Hadis-hadis yang menjelaskan waktu dan tata cara pelaksanaan shalat memperkuat ayat ini.
Ulama bersepakat (ijma’) bahwa shalat lima waktu adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Mereka tidak menggunakan qiyas karena ayat dan hadis tentang shalat sudah sangat jelas.
Hasil istinbath ini menegaskan shalat lima waktu sebagai kewajiban individu (fardhu ‘ain). Setiap Muslim wajib melaksanakannya tepat pada waktunya.
Hadis: Sumber Kedua setelah Al-Qur’an
Umat Islam menjadikan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Para sahabat meriwayatkan hadis yang berisi perkataan, perbuatan, atau persetujuan Nabi Muhammad SAW.
Ulama membagi hadis menjadi tiga kategori utama: Hadis Qauliyah (perkataan Nabi), Hadis Fi’liyah (perbuatan Nabi), dan Hadis Taqririyah (persetujuan Nabi). Klasifikasi ini membantu umat Islam memahami sunnah Nabi dengan lebih jelas.
Kumpulan hadis-hadis ini menjadi rujukan penting dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum. Berikut beberapa fungsi hadis:
1. Menjelaskan Ayat yang Global (Bayan Tafsir):
Hadis menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum. Misalnya, Al-Qur’an menyatakan perintah shalat dalam Surah Al-Baqarah ayat 43:
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ
Artinya: “Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.”
Perintah dalam ayat ini tidak merinci tata cara shalat. Penjelasannya justru terdapat dalam hadis ini:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Artinya: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat,” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini memberikan panduan langsung tentang tata cara pelaksanaan shalat. Nabi Muhammad SAW mengajak umatnya untuk meniru cara shalat yang beliau lakukan. Dengan mengikuti contoh beliau, umat Muslim dapat melaksanakan shalat dengan benar dan sesuai ajaran Islam.
2. Menegaskan Kembali Hukum Al-Qur’an (Bayan Taqrir):
Hadis memperkuat hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Contohnya, Al-Qur’an mengharamkan riba dalam Surah Al-Baqarah ayat 275:
ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah sebab mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah ia ambil dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Kemudian, hadis datang mempertegas larangan ini:
الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ
Artinya: “Riba itu memiliki tujuh puluh dosa, yang paling ringan di antaranya adalah seperti seseorang menikahi (berzina dengan) ibunya,” (HR Ibnu Majah).
Hadis ini menggambarkan betapa besar dosa riba dalam pandangan Islam, bahkan dosa yang paling ringan dari riba setara dengan dosa besar seperti berzina dengan ibu sendiri. Pesan ini menekankan larangan keras terhadap praktik riba dalam ajaran Islam. Hadis ini menegaskan beratnya larangan riba yang terdapat dalam Alquran.
3. Mengkhususkan Hukum yang Umum (Bayan Takhshish):
Hadis dapat mengkhususkan hukum yang bersifat umum dalam Al-Qur’an. Misalnya, Al-Qur’an menyatakan bahwa semua harta warisan jatuh kepada ahli waris dalam Surah An-Nisa ayat 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Hadis yang mengkhususkan adalah:
القاتِلُ لا يَرِثُ
Artinya: “Pembunuh tidak mewarisi,” (HR Tirmidzi).
Dalam hukum waris Islam, seseorang yang membunuh ahli warisnya tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya. Hal ini karena tindakannya bertentangan dengan prinsip keadilan dan etika dalam syariat. Ini menunjukkan bahwa meskipun secara umum semua harta diwariskan, ada pengecualian untuk pelaku pembunuhan.
4. Menetapkan Hukum yang Tidak Tercantum dalam Al-Qur’an (Bayan Tasyri’):
Hadis menetapkan hukum yang tidak ada dalam Al-Qur’an. Contohnya, larangan memakan daging keledai piaraan, yang tidak termuat dalam Al-Qur’an, namu penjelasannya terdapat dalam hadis:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُحُومِ الحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ، وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ
Artinya: “Sesungguhnya Nabi ﷺ melarang (memakan) daging keledai jinak, dan mengizinkan (memakan) daging kuda,” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini melarang umat Muslim memakan daging keledai jinak dan membolehkan daging kuda. Keledai merupakan hewan yang kotor karena sering memakan kotoran sesamanya, sedangkan keledai liar dan zebra lebih suka rumput.
Oleh karena itu, keledai yang haram adalah yang memakan kotoran. Jika hewan lain, seperti zebra atau kuda, juga memakan kotoran, maka hukumnya haram. Ini mencerminkan sifat munasabah dalam masalikul ‘illat.
Ijma’: Konsensus Ulama sebagai Sumber Hukum
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Rasulullah SAW mengenai suatu hukum syariat. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa, ijma’ memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum Islam.
Ijma’ merupakan hasil ijtihad kolektif para ahli hukum Islam dalam menentukan hukum. Para ulama menggunakan ijma’ ini untuk menetapkan hukum atas masalah-masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Ijma’ berfungsi sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadis. Misalnya, para ulama sepakat bahwa jual beli barang-barang haram, seperti minuman keras dan narkoba, adalah haram dalam Islam. Meskipun Al-Qur’an dan Hadis tidak secara langsung mengatur setiap bentuk barang haram, ijma’ ulama menetapkan bahwa haram memperjualbelikan barang-barang yang berbahaya atau merusak,
Ijma’ terbagi menjadi dua jenis utama: Ijma’ Sharih dan Ijma’ Sukuti.
1. Ijma’ Sharih (Ijma’ Eksplisit): Ijma’ ini terjadi ketika seluruh ulama secara tegas dan terbuka menyatakan kesepakatan mereka terhadap suatu hukum atau keputusan syariat. Dalam ijma’ ini, para ulama secara langsung menyatakan persetujuan mereka melalui perkataan atau perbuatan yang jelas, tanpa ada keraguan atau perbedaan pendapat di antara mereka. Ijma’ Sharih lebih kuat dan mengikat (qath’i) karena adanya pernyataan eksplisit dari para ulama.
2. Ijma’ Sukuti (Ijma’ Diam-Diam): Ijma’ Sukuti terjadi ketika sebagian ulama mengemukakan suatu pendapat dan tidak ada ulama lain yang menentang atau menolak pendapat tersebut, baik dengan kata-kata maupun tindakan. Meski tidak ada penegasan eksplisit dari semua ulama, ketidakhadiran penentangan ini dipandang sebagai bentuk persetujuan secara diam-diam. Meskipun Ijma’ Sukuti memiliki kekuatan hukum, kedudukannya lebih lemah daripada Ijma’ Sharih karena kurangnya persetujuan yang jelas dan tegas dari seluruh ulama.
Kedua jenis ijma’ ini memiliki peran penting dalam pengembangan hukum Islam, terutama dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak secara langsung terdapat penjelasannya dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Qiyas: Analogis dalam Pengambilan Hukum
Qiyas merupakan metode analogi dalam hukum Islam. Penetapan hukumnya berdasarkan kesamaan illat antara dua kasus. Satu kasus belum ada hukumnya, sedangkan lainnya sudah ada aturannya dalam Al-Qur’an atau Hadis. Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah menyebut qiyas sebagai ijtihad yang memanfaatkan akal untuk memahami hukum.
Contoh penggunaan qiyas yang paling masyhur adalah larangan meminum khamr (minuman keras) dengan memperluas maknanya pada narkotika. Dalam Al-Qur’an, khamr haram karena memabukkan dan merusak akal. Dengan prinsip yang sama, para ulama melalui qiyas menyamakan narkotika sebagai benda yang juga memabukkan dan merusak akal, sehingga hukumnya juga haram.
Peran Ijtihad dalam Pengembangan Hukum Islam
Ijma’ dan Qiyas, keduanya merupakan bentuk ijtihad yang memainkan peran vital dalam pengembangan hukum Islam. Dalam bukunya Al-Ijtihad fi al-Islam, Yusuf al-Qaradawi menjelaskan bahwa ijtihad berguna untuk menjawab tantangan zaman yang terus berubah.
Ijtihad memastikan hukum Islam tetap relevan dan memberikan solusi untuk berbagai persoalan. Para mujtahid melakukan ijtihad dengan berpegang pada prinsip Al-Qur’an dan Hadis. Ijtihad memungkinkan hukum Islam berkembang sesuai kebutuhan umat. Kebutuhan pengembangan hukum meningkat seiring kompleksitas permasalahan manusia.
Kesimpulan
Sumber hukum Islam terdiri dari empat elemen utama yang disepakati oleh mayoritas ulama, yaitu Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Al-Qur’an sebagai sumber utama memuat hukum-hukum dasar dan prinsip-prinsip hidup, sedangkan Hadis berfungsi melengkapi dan menjelaskan apa yang ada dalam Al-Qur’an. Ijma’ dan Qiyas berperan sebagai instrumen untuk mengembangkan hukum dalam konteks ijtihad, menjawab berbagai masalah yang tidak ada penjabarannya dalam dua sumber utama.
Karya-karya seperti Usul al-Fiqh oleh Abu Zahrah, Shahih al-Bukhari oleh Imam al-Bukhari, Al-Mustashfa oleh al-Ghazali, dan Ar-Risalah oleh Imam Syafi’i menjadi rujukan penting dalam memahami keempat sumber hukum ini. Dengan memahami kedudukan dan fungsi dari masing-masing sumber, umat Islam dapat menjadikan hukum Islam sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan, baik dalam aspek ibadah maupun muamalah, sehingga tetap relevan dan dinamis dalam menghadapi perkembangan zaman. Wallahua’lam.
Dinda Arisha (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Pada bagian bayan tasyri’, mengapa Rasulullah melarang kita memakan daging keledai, namun mengizinkan kita memakan daging kuda
Mengapa sumber hukum islam tidak cukup hanya Al – Qur’an dan hadits???
Bagaimana para ulama menggunakan Qiyas untuk memperoleh hukum atau praktik baru dari hukum atau praktik yang sudah ada, dan apa saja tantangan yang terkait dengan metode ini?
Bagaimana hukumnya jika ada orang yang mengingkari atau menolak ijma’
Kenapa ijma di jadikan dasar hukum islam?
Bagaimana kedudukan Qiyas sebagai sumber hukum Islam keempat setelah Al-Qur’an, Hadist, dan Ijma’? Apakah Qiyas memiliki kedudukan yang setara dengan sumber-sumber hukum lainnya?
Bagaimana peran qiyas dalam menyelesaikan perkara hukum Islam
Apabila sumber hukum terdapat pada Al-Qur’an dan Qiyas yang saling bertentangan, maka sumber hukum yang mana yang harus diambil?
Bagaimana cara untuk menetapkan hukum yg tdk ada didlm alquran atau bayan tasyri’?
Apakah kerelevenan hukum Islam terjamin hingga hari kiamat, coba jelaskan apa alasannya?
Apakah sumber hukum qiyas dan ijma’ benar benar di sepakati dan diterim oleh semua ulama
Sebutkan salah satu contoh permasalahan istihsan
bagaimana para ulama menjadikan ijtihad sebagai hukum Islam
kenapa para ulama menggunakan ijtihad dalam menentukan suatu hukum islam
Apakah didalam mencapai kesepakatan hukum para pelaku ijma’ diwajibkan memiliki sandaran dalil?