Ijtihad Modern dan Peran Sumber Mukhtalaf dalam Hukum Islam
TATSQIF ONLINE – Sumber hukum Islam terbagi menjadi dua, yaitu yang disepakati (muttafaq) dan yang tidak disepakati (mukhtalaf). Sumber mukhtalaf memegang peran penting dalam kehidupan umat Islam, terutama dalam memecahkan masalah-masalah baru yang tidak terdapat secara eksplisit dalam Al-Quran dan Sunnah.
Sumber-sumber hukum mukhtalaf ini meliputi Istihsa, Maslahah Mursalah, Istishab, Saddz Dzari’ah, Qaul as-Shahabyi, Urf, dan Syar’u Man Qablana. Meskipun mukhtalaf secara mutlak, sumber-sumber ini tetap relevan dalam ijtihad para ulama.
1. Istihsan
Istihsan secara bahasa berarti menganggap sesuatu itu baik. Dalam istilah ushul fiqh, istihsan adalah tindakan mujtahid yang meninggalkan qiyas jali (jelas) untuk beralih ke qiyas khafi (samar) atau pengecualian karena adanya dalil yang lebih kuat.
Menurut Al-Jassas dalam Ahkam al-Quran, istihsan berfungsi untuk menghindari penerapan hukum yang berpotensi membawa kesulitan bagi masyarakat. Contoh istihsan terlihat pada sisa minuman burung buas, seperti elang dan gagak, yang tetap suci dan halal. Meskipun sisa minuman binatang buas lain, seperti anjing, hukumnya haram berdasarkan qiyas jali, qiyas khafi menunjukkan bahwa paruh burung tidak najis, sehingga sisa minumannya suci.
Amir Syarifuddin dalam bukunya Ushul Fiqh, juga memberikan contoh lain penerapan istihsan, yaitu larangan menjual barang yang belum ada wujudnya. Namun, syariat memberikan kelonggaran untuk transaksi secara kontan dengan pengiriman di masa mendatang (akad jual beli salam), sebagai cara untuk memudahkan aktivitas perdagangan. Ini mencerminkan fleksibilitas hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Mazhab Malikiyah dan Hanafilah menerapkan istihsan sebagai metode penarikan hukum. Para ulama memperdebatkan status istihsan sebagai salah satu sumber hukum Islam. Sementara itu, Mazhab Syafi’iy dan Hanbali menolak penggunaan istihsan sebagai landasan hukum. Imam al-Syafi’i menilai istihsan berdasarkan pada hawa nafsu dan mencari kemudahan dalam hukum.
Istihsan memiliki beberapa jenis, seperti Istihsan bil Nash (berdasarkan nash), Istihsan bil Ijma’ (berdasarkan konsensus), dan Istihsan bil Maslahah (berdasarkan kemaslahatan). Penggunaan istihsan sah selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas.
2. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah merupakan sumber hukum yang termasuk kategori ra’yu (rasio) dan mukhtalaf. Sumber ini berfungsi untuk menetapkan hukum berdasarkan kepentingan umum yang tidak memiliki ketetapan dalam syara’.
Maslahah merupakan istilah penting dalam penetapan hukum, yang mencakup sunnah, wajib, mubah, makruh, dan haram. Keberadaannya menentukan adanya atau tidaknya hukum tersebut. Imam Malik mencetuskan istilah ini, dan kemudian banyak ulama mengadopsinya sebagai acuan dalam menetapkan hukum.
Imam Syatibi mengutip teori ini dan menyatakan bahwa maslahah mursalah menghilangkan kesempitan baik yang bersifat dharuriyah (primer) maupun hajiyah (sekunder). Sementara itu, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa maslahah berfungsi untuk melestarikan tujuan-tujuan syari’at (maqashid syari’ah), termasuk melindungi agama, jiwa, akal, kelestarian manusia, dan harta benda.
Menurut Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili, maslahah berarti menarik manfaat dan menghindari mudharat, dan terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, maslahah ad-Daruriyyat berkaitan dengan kebutuhan pokok, seperti menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kedua, maslahah al-Hajiyyat berfungsi untuk menghilangkan kesulitan, contohnya dalam transaksi mu’amalah dan dispensasi syariat (rukhshah). Ketiga, maslahah at-Tahsiniyat adalah kemaslahatan pelengkap yang tidak mendesak, seperti mandi sebelum shalat. Selain itu, maslahah mursalah menjadi perdebatan di kalangan ulama, dengan sebagian menolak dan lainnya mengizinkan penggunaannya sebagai dalil hukum.
Terdapat perbedaan pandangan antara Imam Malik dan Imam Syafi’i mengenai maslahah mursalah sebagai sumber hukum Islam. Imam Malik menerima maslahah mursalah, tetapi ia menekankan bahwa hukum yang terbentuk harus sesuai dengan nash atau ijma’ dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya. Jika terjadi konflik, wajib mengutamakan nash Alquran maupun hadis.
Di sisi lain, Imam Syafi’i menolak maslahah mursalah karena menganggapnya tidak memiliki dasar yang jelas dari nash seperti qiyas. Ia berpendapat bahwa semua hukum harus berlandaskan nash, dan ia tidak mencantumkan metode ini dalam karyanya, Ar-Risalah. Perdebatan ini terjadi karena kurangnya dalil khusus yang mengakui maslahah dalam syara’, baik secara langsung maupun tidak.
Contoh penerapan maslahah mursalah adalah pengadaan Penjara. Pembangunan lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk menegakkan keadilan dan mencegah kejahatan lebih lanjut, meskipun tidak ada nash yang secara eksplisit menyebutkan hal ini.
3. Istishab
Istishab merupakan prinsip yang mempertahankan keberlakuan suatu hukum yang sudah ada sampai terdapat dalil yang mengubahnya. Al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul menjelaskan bahwa istishab berfungsi untuk memastikan hukum masa lalu tetap berlaku di masa kini.
Hal ini berlaku kecuali ada dalil yang membatalkan hukum tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang ragu mengenai batalnya wudhu, anggapannya ia tetap suci hingga ada bukti yang menunjukkan sebaliknya.
Mayoritas ulama menerima istishab sebagai metode istinbat hukum. Namun, beberapa ulama menolak penggunaannya dalam konteks-konteks tertentu.
4. Saddz Dzari’ah
Saddz Dzari’ah adalah konsep menutup pintu menuju perbuatan yang haram, meskipun perbuatan tersebut pada dasarnya mubah. Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in, saddz dzari’ah berfungsi untuk mencegah kerusakan yang mungkin terjadi dari suatu perbuatan yang halal secara lahiriyah.
Contohnya, larangan menjual barang yang kemungkinan besar penggunaannya untuk tujuan yang haram, seperti alat judi dan minuman keras. Saddz dzari’ah melindungi masyarakat dari potensi kerusakan yang muncul dari tindakan yang terlihat netral atau mubah.
5. Qaul as-Shahabyi
Qaul as-Shahabyi adalah pendapat sahabat Nabi Muhammad tentang suatu masalah hukum setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ibnu Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in menyebutkan bahwa pendapat sahabat menjadi hujjah ketika tidak ada nash yang mengatur secara langsung suatu masalah.
Misalnya, kesepakatan sahabat tentang pembagian warisan untuk nenek sebesar seperenam adalah contoh keputusan hukum berdasarkan qaul as-shahabi. Pendapat sahabat tidak mutlak mengikat, tetapi dapat menjadi sumber hukum selama tidak bertentangan dengan nash atau ijtihad ulama lainnya.
6. Urf
Urf adalah kebiasaan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat secara turun-temurun. Menurut Al-Qarafi dalam al-Furuq, urf dapat menjadi dasar hukum jika tidak bertentangan dengan syariat. Contoh dari urf adalah kebiasaan transaksi jual beli di pasar tanpa akad resmi, yang tetap sah selama memenuhi syarat-syarat tertentu.
Urf terbagi menjadi dua jenis, yaitu Urf Shahih (kebiasaan yang sesuai dengan syariat) dan Urf Fasid (kebiasaan yang bertentangan dengan syariat). Hukum adat dapat menjadi hujjah dalam masalah-masalah yang tidak ada aturannya secara jelas dalam nash.
7. Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana adalah hukum-hukum yang berlaku pada umat-umat sebelum Islam, seperti hukum Taurat dan Injil. Menurut Al-Syafi’i dalam Risalah, hukum-hukum ini berlaku bagi umat Islam selama tidak ada dalil yang membatalkannya. Misalnya, ibadah puasa yang diperintahkan kepada umat terdahulu juga diwajibkan kepada umat Islam.
Namun, para ulama sepakat bahwa jika ada nash yang membatalkan hukum tersebut, maka umat Islam tidak perlu mengikutinya. Syar’u Man Qablana digunakan dengan syarat bahwa hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Kesimpulan
Sumber hukum mukhtalaf memainkan peran penting dalam dinamika hukum Islam, terutama ketika menghadapi situasi yang tidak diatur oleh Al-Quran dan Sunnah secara langsung. Istihsan, maslahah mursalah, istishab, saddz dzari’ah, qaul as-shahabyi, urf, dan syar’u man qablana memberikan fleksibilitas bagi para ulama untuk melakukan ijtihad sesuai dengan konteks dan kebutuhan masyarakat. Meskipun tidak disepakati sepenuhnya oleh semua ulama, sumber-sumber hukum ini tetap berfungsi sebagai bagian dari proses pengambilan hukum yang dinamis dan responsif terhadap perubahan zaman. Wallahua’lam.
Juna Marta Sari Panggabean (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Bagaimana hubungan antara Maslahah Mursalah dengan Al-Quran dan Sunnah?
Dari ketujuh sumber sumber hukum mukhtalaf yang digunakan oleh para ulama. Sumber hukum yang mana kah yang sering di pakai oleh ulama dan berikan penjelasannya?
Coba pemakalah berikan contoh kasus maslahan hajiyah
Mengapa ijtihad bisa digunakan sebagai salah satu hukum Islam?
apa saja yang termasuk sumber hukum islam yang muttafaq atau di sepakati oleh ulama
Bagaimana pendekatan para ulama dan ahli hukum modern terhadap konsep Ijtihad,terhadap hukum Islam dalam masyarakat kontemporer?
Bagaimana kedudukan al-qur’an sebagai sumber hukum islam dengan sumber hukum lainnya?
Apakah ijtihad bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain? Sebutkan alasannya!
Selain puasa dibagian contoh syar’u man qablana, jabarkan contoh lain yang sesuai dengan syariat-syariat Islam dalam definisi syar’u man qablana tadi
Bagaimana asal usul adanya hukum mukhtalaf?
Apa saja sumber hukum islam yg tidak di sepakati, dan berikan alasan mengapa hukum tersebut tdk di sepakati?
Apa yang menjadi batasan dalam melakukan ijtihad
bagaimana ijtihad dikaitkan dengan pemikiran modern?
Bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat yang muncul akibat penggunaan sumber sumber mukhtalaf dalam ijtihad?
Apa perbedaan ijma’ dan ijtihad ,coba jelaskan dengan secara rinci
Mengapa di butuhkan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum?
Bagaimana pentingnya peranan ijtihad dalam pengembangan hukum islam
Apa yang harus kita lakukan agar tidak menyeleweng dalam mengambil ijtihad, dan coba berikan penjelasannya?
Apa saja contoh sumber hukum yg tidak di sepakati dan jelaskan
Bagaimana contoh penerapan Ishtisan dalam kehidupan sehari-hari?
Pada pembahasan maslahah mursalah ada menjelaskan Maslahah mursalah merupakan sumber hukum yang termasuk kategori ra’yu
Pertanyaan saya bagaimana yang di maksud dengan hukum yang termasuk kategori ra’yu??
kenapa para ulama memilih ijtihad dalam pemilihan hukum islam
Apakah ijtihad masih dilakukan sekarang?
Coba jelaskan bagaimana peran ijtihad dalam kehidupan modern?