Qira’at Al-Qur’an: Definisi, Sejarah, dan Kaidah Bacaan yang Benar
TATSQIF ONLINE – Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang terjaga keasliannya, baik dari segi lafaz maupun makna. Keotentikan ini didukung oleh periwayatan yang mutawatir, baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Sebagai wahyu Allah, Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari aspek qira’at, karena secara etimologi, kata Al-Qur’an sendiri berarti “bacaan” atau “yang dibaca.”
Ilmu qira’at berkembang dari Rasulullah ﷺ kepada para sahabat, kemudian diteruskan kepada tabi’in dan generasi selanjutnya. Namun, dalam perkembangannya, muncul perbedaan dalam cara membaca Al-Qur’an yang menyebabkan perdebatan di kalangan umat Islam, terutama setelah Islam menyebar ke berbagai wilayah dengan dialek yang berbeda.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, perbedaan ini mencapai titik krisis, bahkan menimbulkan saling menyalahkan dan hampir mengarah pada pengkafiran satu sama lain. Menyadari dampaknya yang berpotensi memecah belah umat, Khalifah Utsman melakukan standarisasi mushaf berdasarkan dialek Quraisy. Mushaf hasil kodifikasi ini kemudian disebarkan ke berbagai wilayah, sedangkan mushaf lain yang berbeda diperintahkan untuk dibakar. Kebijakan ini menuai pro dan kontra, tetapi pada akhirnya berhasil menyatukan umat Islam dalam satu bacaan standar.
Seiring perkembangan zaman, terutama dalam era digital saat ini, pemahaman tentang qira’at dan sistem qira’at yang benar menjadi semakin penting untuk disebarkan secara luas agar tidak hilang ditelan waktu. Informasi mengenai qira’at perlu dikelola dengan baik sebagai bagian dari strategi dakwah Islam yang efektif.
Pengertian Qira’at Al-Qur’an
Sebelum membahas lebih jauh tentang qira’at, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian Al-Qur’an. Kata Al-Qur’an berasal dari akar kata qara’a yang berarti “membaca” atau “menghimpun.” Beberapa ulama memberikan definisi Al-Qur’an sebagai berikut:
1. Muhammad ‘Abd al-Azim al-Zarqani: Al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, tertulis dalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah.
2. Imam Jalal al-Din al-Suyuthi: Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai mukjizat, walaupun hanya satu surah darinya.
3. Mardan: Al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui Malaikat Jibril, tertulis dalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dimulai dari Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas.
4. Muhammad ‘Abd al-Rahim: Al-Qur’an adalah kitab samawi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui perantaraan Jibril dan diriwayatkan secara mutawatir.
Berdasarkan definisi tersebut, Al-Qur’an memiliki beberapa karakteristik utama, yaitu:
a. Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ.
b. Diturunkan melalui Malaikat Jibril.
c. Berbahasa Arab.
d. Diriwayatkan secara mutawatir.
e. Tertulis dalam mushaf.
f. Membacanya bernilai ibadah.
g. Berisi petunjuk dan hukum bagi umat manusia.
Makna Qira’at Al-Qur’an
Secara bahasa, kata qira’at (قراءات) merupakan bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang berarti bacaan. Secara terminologi, qira’at didefinisikan sebagai salah satu mazhab dalam pengucapan ayat Al-Qur’an yang dilafalkan dan dipilih oleh imam qira’at tertentu.
Menurut al-Naisabūrī, istilah sab’ah aḥruf (tujuh huruf) dalam qira’at memiliki beberapa makna, di antaranya:
1. Tujuh dialek dari suku Quraisy yang tidak saling bertentangan.
2. Tujuh suku bangsa Arab, seperti Quraisy, Tamim, Asad, dan Kinānah.
3. Tujuh bahasa Arab yang berbeda.
4. Tujuh sifat Allah, seperti Ghafūr, Raḥīm, ‘Azīz, dan Ḥakīm.
5. Makna majazi yang menunjukkan jumlah yang banyak.
6. Hukum dan kandungan Al-Qur’an, seperti halal, haram, perintah, dan larangan.
Qira’at telah mapan sejak zaman Rasulullah ﷺ dan diajarkan kepada sahabat seperti Ubay bin Ka‘b, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Mas’ud. Pada masa tabi’in, qira’at mulai dikodifikasikan dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang memiliki berbagai versi bacaan, yang semuanya mengklaim bersumber dari Rasulullah ﷺ.
Dalam perkembangannya, qira’at menjadi bagian dari studi Ulumul Qur’an, tetapi tidak banyak dipelajari dibandingkan ilmu fiqih atau tafsir. Padahal, ilmu qira’at sangat penting dalam menjaga keaslian bacaan Al-Qur’an agar tidak terjadi perubahan makna akibat kesalahan dalam pengucapan.
Kaidah Sistem Qira’at yang Benar
Para ulama menetapkan tiga syarat utama agar suatu qira’at dianggap shahih, yaitu:
1. Sesuai dengan Ragam Bahasa Arab
Qira’at harus sesuai dengan salah satu dialek bahasa Arab yang fasih, baik yang populer maupun yang lebih jarang digunakan. Ini karena qira’at adalah bagian dari sunnah yang diikuti, bukan sekadar hasil akal manusia.
2. Sesuai dengan Mushaf Utsmani
Qira’at harus sejalan dengan tulisan dalam Mushaf Utsmani, meskipun tidak harus dalam bentuk yang eksplisit. Para sahabat menggunakan kaidah tertentu dalam penulisan mushaf yang memungkinkan berbagai qira’at tetap dapat diterima.
3. Memiliki Sanad yang Shahih
Qira’at harus memiliki sanad periwayatan yang sahih dan bersambung hingga Rasulullah ﷺ. Para ulama qira’at menitikberatkan pada keshahihan sanad daripada sekadar kesesuaian dengan tata bahasa Arab yang disusun belakangan.
Jika salah satu dari tiga syarat ini tidak terpenuhi, maka qira’at tersebut dianggap dha’if (lemah), syadz (ganjil), atau batil (tidak sah). Oleh karena itu, kaidah qira’at yang benar harus mengikuti prinsip-prinsip tersebut agar tidak menyimpang dari bacaan yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.
Kesimpulan
Qira’at Al-Qur’an merupakan ilmu yang sangat penting dalam menjaga keaslian bacaan wahyu Allah. Ilmu ini tidak hanya berhubungan dengan cara membaca, tetapi juga erat kaitannya dengan sejarah kodifikasi Al-Qur’an dan persatuan umat Islam dalam satu bacaan yang sahih.
Kaidah sistem qira’at yang benar harus memenuhi tiga syarat utama: sesuai dengan bahasa Arab, sesuai dengan Mushaf Utsmani, dan memiliki sanad yang shahih. Dengan demikian, pemahaman yang benar tentang qira’at akan membantu menjaga keaslian Al-Qur’an dan mencegah terjadinya penyelewengan dalam membaca ayat-ayatnya.
Di era digital ini, penyebaran informasi tentang qira’at harus semakin diperkuat agar ilmu ini tetap lestari dan dapat diakses oleh generasi Muslim di seluruh dunia. Wallahua’lam.
Roudhotul Azkiya (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Apa yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan qiraat Al Quran? Dan qiraat apa saja?
Bagaimana qira’at Al-Qur’an dapat membantu memahami makna Al-Qur’an?