Fiqh KontemporerPernikahan & Keluarga

Perkawinan Beda Agama: Tinjauan Hukum Islam & UU Perkawinan

TATSQIF ONLINE Perkawinan beda agama di Indonesia menimbulkan berbagai pandangan hukum dan sosial yang kompleks. Di satu sisi, hukum positif Indonesia melalui Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memiliki aturan umum tentang perkawinan yang sah, namun tidak mengatur secara eksplisit tentang perkawinan beda agama.

Di sisi lain, hukum Islam memberikan ketentuan yang cukup jelas mengenai larangan dan pengecualian dalam konteks perkawinan antar agama. Dalam artikel ini, akan ditinjau ketentuan perkawinan beda agama berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan perspektif hukum Islam, dilengkapi dengan ayat Al-Qur’an, hadis, dan contoh kasus yang terkait.

Ketentuan Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Positif Indonesia

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan larangan secara eksplisit mengenai perkawinan beda agama. Namun, Pasal 2 ayat (1) menyatakan:

โ€œPerkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.โ€

Dengan adanya ketentuan ini, dapat dipahami bahwa pernikahan beda agama tidak dapat dianggap sah jika tidak sesuai dengan ajaran agama dan keyakinan masing-masing pasangan. Pada umumnya, agama-agama di Indonesia tidak mengizinkan perkawinan beda agama, termasuk Islam yang memiliki aturan ketat dalam hal ini.

Namun, dalam beberapa kasus, pasangan beda agama dapat mencatatkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil setelah mengajukan permohonan ke pengadilan atau melalui konversi agama secara administratif. Kasus terkenal yang sering dijadikan referensi adalah perkawinan antara Lidya Kandou (Kristen) dan Jamal Mirdad (Islam) pada tahun 1986.

Melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986, pengadilan mengizinkan pencatatan perkawinan mereka melalui Kantor Catatan Sipil, meskipun mereka menganut agama yang berbeda. Keputusan ini tidak lantas melegalkan perkawinan beda agama secara umum, tetapi lebih sebagai upaya memenuhi kebutuhan hukum individu.

Perspektif Hukum Islam tentang Perkawinan Beda Agama

Islam memberikan panduan yang sangat jelas mengenai perkawinan antar agama. Pada dasarnya, Islam melarang perkawinan antara Muslim dengan orang yang tidak beriman atau menyekutukan Allah. Larangan ini bertujuan untuk menjaga keutuhan iman dan kesatuan nilai dalam rumah tangga.

1. Larangan Perkawinan dengan Orang Musyrik

Larangan ini secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an pada Surat Al-Baqarah ayat 221:

ูˆูŽู„ูŽุง ุชูŽู†ู’ูƒูุญููˆุง ุงู„ู’ู…ูุดู’ุฑููƒูŽุงุชู ุญูŽุชูŽู‘ู‰ ูŠูุคู’ู…ูู†ูŽู‘ ูˆูŽู„ูŽุฃูŽู…ูŽุฉูŒ ู…ูู‘ุคู’ู…ูู†ูŽุฉูŒ ุฎูŽูŠู’ุฑูŒ ู…ูู‘ู† ู…ูู‘ุดู’ุฑููƒูŽุฉู ูˆูŽู„ูŽูˆู’ ุฃูŽุนู’ุฌูŽุจูŽุชู’ูƒูู…ู’ ูˆูŽู„ูŽุง ุชูู†ู’ูƒูุญููˆุง ุงู„ู’ู…ูุดู’ุฑููƒููŠู†ูŽ ุญูŽุชูŽู‘ู‰ ูŠูุคู’ู…ูู†ููˆุง ูˆูŽู„ูŽุนูŽุจู’ุฏูŒ ู…ูู‘ุคู’ู…ูู†ูŒ ุฎูŽูŠู’ุฑูŒ ู…ูู‘ู† ู…ูู‘ุดู’ุฑููƒู ูˆูŽู„ูŽูˆู’ ุฃูŽุนู’ุฌูŽุจูŽูƒูู…ู’ ุฃููˆู„ูŽู€ูฐุฆููƒูŽ ูŠูŽุฏู’ุนููˆู†ูŽ ุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ู†ูŽู‘ุงุฑู ูˆูŽุงู„ู„ูŽู‘ู‡ู ูŠูŽุฏู’ุนููˆ ุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ู’ุฌูŽู†ูŽู‘ุฉู ูˆูŽุงู„ู’ู…ูŽุบู’ููุฑูŽุฉู ุจูุฅูุฐู’ู†ูู‡ู ูˆูŽูŠูุจูŽูŠูู‘ู†ู ุขูŠูŽุงุชูู‡ู ู„ูู„ู†ูŽู‘ุงุณู ู„ูŽุนูŽู„ูŽู‘ู‡ูู…ู’ ูŠูŽุชูŽุฐูŽูƒูŽู‘ุฑููˆู†ูŽ

Artinya: โ€œDan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.โ€

Ayat ini melarang umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menikah dengan orang-orang musyrik. Larangan ini ditekankan demi menjaga akidah dan ketenangan dalam rumah tangga. K.H. Ahmad Azhar Basyur dalam Hukum Perkawinan dalam Islam menyatakan bahwa larangan ini menegaskan bahwa umat Islam, khususnya wanita Muslimah, hanya diperbolehkan menikah dengan pria Muslim agar tercipta harmoni keimanan dalam rumah tangga.

2. Pengecualian bagi Pria Muslim dengan Ahli Kitab

Islam memberikan pengecualian terbatas bagi pria Muslim untuk menikahi wanita ahli kitab (Nasrani dan Yahudi). Ketentuan ini tertuang dalam Surat Al-Maidah ayat 5:

ุงู„ู’ูŠูŽูˆู’ู…ูŽ ุฃูุญูู„ูŽู‘ ู„ูŽูƒูู…ู ุงู„ุทูŽู‘ูŠูู‘ุจูŽุงุชู ูˆูŽุทูŽุนูŽุงู…ู ุงู„ูŽู‘ุฐููŠู†ูŽ ุฃููˆุชููˆุง ุงู„ู’ูƒูุชูŽุงุจูŽ ุญูู„ูŒู‘ ู„ูŽู‘ูƒูู…ู’ ูˆูŽุทูŽุนูŽุงู…ููƒูู…ู’ ุญูู„ูŒู‘ ู„ูŽู‘ู‡ูู…ู’ ูˆูŽุงู„ู’ู…ูุญู’ุตูŽู†ูŽุงุชู ู…ูู†ูŽ ุงู„ู’ู…ูุคู’ู…ูู†ูŽุงุชู ูˆูŽุงู„ู’ู…ูุญู’ุตูŽู†ูŽุงุชู ู…ูู†ูŽ ุงู„ูŽู‘ุฐููŠู†ูŽ ุฃููˆุชููˆุง ุงู„ู’ูƒูุชูŽุงุจูŽ ู…ูู† ู‚ูŽุจู’ู„ููƒูู…ู’ ุฅูุฐูŽุง ุขุชูŽูŠู’ุชูู…ููˆู‡ูู†ูŽู‘ ุฃูุฌููˆุฑูŽู‡ูู†ูŽู‘ ู…ูุญู’ุตูู†ููŠู†ูŽ ุบูŽูŠู’ุฑูŽ ู…ูุณูŽุงููุญููŠู†ูŽ ูˆูŽู„ูŽุง ู…ูุชูŽู‘ุฎูุฐููŠ ุฃูŽุฎู’ุฏูŽุงู†ู ูˆูŽู…ูŽู† ูŠูŽูƒู’ููุฑู’ ุจูุงู„ู’ุฅููŠู…ูŽุงู†ู ููŽู‚ูŽุฏู’ ุญูŽุจูุทูŽ ุนูŽู…ูŽู„ูู‡ู ูˆูŽู‡ููˆูŽ ูููŠ ุงู„ู’ุขุฎูุฑูŽุฉู ู…ูู†ูŽ ุงู„ู’ุฎูŽุงุณูุฑููŠู†ูŽ

Artinya: โ€œPada hari ini dihalalkan bagi kamu menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, jika kamu memberikan maskawin kepada mereka dengan maksud untuk menikahinya, bukan untuk bersenang-senang atau untuk menjadikan mereka gundik-gundik. Siapa yang kufur setelah beriman, maka sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.โ€

Menurut tokoh intelektual ahli fiqh dan filsafat, K.H. Ahmad Azhar Basyir dalam kasus pria Muslim yang menikahi wanita ahli kitab, pria tersebut harus memiliki keyakinan yang kuat untuk menghindari pengaruh negatif yang bisa mengganggu keimanannya. Oleh karena itu, meskipun ada pengecualian ini, para ulama tetap menyarankan agar pernikahan beda agama sebaiknya dihindari demi menjaga stabilitas iman dalam keluarga Muslim.

Problematika Sosial dan Hukum dalam Perkawinan Beda Agama

Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, kasus perkawinan beda agama bukanlah hal yang jarang ditemui. Namun, praktik ini sering kali menimbulkan konflik sosial dan dilema hukum.

Beberapa pasangan memilih untuk melakukan konversi agama secara administratif, yakni berpindah agama untuk memenuhi persyaratan hukum, tetapi tidak dilakukan dengan keyakinan penuh. Muhammad Daud Ali dalam Hukum Islam menyatakan bahwa konversi yang dilakukan hanya untuk memenuhi syarat hukum tanpa keyakinan yang kuat adalah tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip keimanan dalam Islam.

Selain itu, konversi agama yang hanya untuk tujuan administratif sering kali dianggap sebagai โ€œpenyelundupan hukumโ€ karena tidak mencerminkan iman yang sebenarnya. Oleh karena itu, hukum Islam sangat menekankan pentingnya keyakinan yang tulus dalam memeluk agama sebagai syarat utama dalam pernikahan antar agama.

Pendekatan Hukum di Indonesia terhadap Perkawinan Beda Agama

Indonesia sebagai negara yang menjunjung asas Ketuhanan Yang Maha Esa menghadapi tantangan dalam mengakomodasi perkawinan beda agama. Dalam beberapa kasus, seperti dalam kasus Lidya Kandou dan Jamal Mirdad, pengadilan mengizinkan pasangan beda agama mencatatkan pernikahannya melalui Kantor Catatan Sipil.

Namun, hal ini tidak serta merta melegalkan perkawinan beda agama secara keseluruhan di Indonesia. Meskipun secara hukum positif tidak ada larangan yang eksplisit, negara mengutamakan keharmonisan antaragama dan kebijakan yang sejalan dengan norma agama dan budaya.

Beberapa pakar hukum menyarankan untuk memberikan solusi melalui pernikahan sipil, tetapi hal ini masih menjadi kontroversi karena dianggap tidak sejalan dengan karakter non-sekuler Indonesia. Negara Indonesia bukanlah negara sekuler, sehingga ketentuan agama tetap memegang peran penting dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal perkawinan.

Kesimpulan

Perkawinan beda agama dalam konteks hukum Indonesia memiliki batasan yang ditetapkan melalui norma agama masing-masing. Dalam hukum positif, meskipun tidak ada larangan eksplisit, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menekankan bahwa perkawinan hanya sah jika sesuai dengan agama yang dianut. Artinya, perkawinan beda agama sulit untuk disahkan karena tidak memenuhi ketentuan agama.

Di sisi lain, Islam memberikan batasan yang ketat, terutama bagi wanita Muslimah yang dilarang menikahi pria non-Muslim. Pria Muslim memiliki kelonggaran terbatas untuk menikahi wanita ahli kitab, namun para ulama umumnya menyarankan untuk menghindari perkawinan beda agama guna menjaga keharmonisan iman dalam rumah tangga.

Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, penting bagi setiap individu untuk mempertimbangkan dampak sosial dan keagamaan sebelum memutuskan untuk menikah dengan pasangan beda agama. Upaya untuk memenuhi syarat hukum tanpa mengorbankan keyakinan agama menjadi tantangan utama dalam konteks ini. Keselarasan antara hukum positif dan hukum agama sangat diperlukan untuk menjaga harmoni dalam berkeluarga sesuai dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi dasar negara. ย Wallahuaโ€™lam.

Muhammad Ardiansyah Munthe (Mahasiwa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

  • Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

    Lihat semua pos Lecturer

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk