Konsekuensi ‘Married by Accident’ dalam Islam dan Hukum Positif
TATSQIF ONLINE – Fenomena pernikahan akibat kehamilan di luar nikah atau yang dikenal sebagai married by accident telah menjadi permasalahan yang kerap terjadi di masyarakat. Kasus hamil di luar nikah tidak hanya terjadi di lingkungan perkotaan tetapi juga di pedesaan.
Dalam beberapa adat, seperti pada masyarakat patrilineal (suku Nias), matrilineal (Minangkabau), dan bilateral (Jawa), kehamilan di luar nikah sering kali diatasi dengan pernikahan cepat untuk menjaga nama baik keluarga. Pandangan adat ini turut mempengaruhi penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menjadi pedoman hukum bagi masyarakat Muslim di Indonesia.
Definisi “Married by Accident”
Secara literal,married by accident terdiri dari tiga kata, yakni “married” yang berarti menikah, “by” yang berarti karena, dan “accident” yang bermakna kejadian tak terduga atau kecelakaan. Maka, married by accident diartikan sebagai pernikahan yang terjadi karena adanya kehamilan yang tidak direncanakan, baik dari salah satu atau kedua pihak.
Dalam perspektif hukum Islam, perempuan yang hamil dapat dibagi menjadi dua kondisi:
1. Perempuan yang sedang hamil karena perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati.
2. Perempuan yang hamil akibat hubungan di luar nikah atau zina.
Pembahasan ini difokuskan pada hukum pernikahan bagi perempuan yang hamil akibat zina dan pilihan hukum yang tersedia dalam kondisi tersebut.
Hukum “Married by Accident” dalam Islam
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum pernikahan bagi perempuan yang hamil akibat zina. Berikut adalah pandangan dari berbagai mazhab:
1. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad
Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa perempuan yang hamil akibat zina tidak boleh menikah sampai ia melahirkan anaknya. Dasar dari pendapat ini adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri:
لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ، وَلَا غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَسْتَبْرِئَ رَحِمَهَا
Artinya: “Jangan dipergauli perempuan yang hamil sampai ia melahirkan, dan jangan pula perempuan yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali,” (HR Abu Daud).
Pendapat ini juga didasarkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an, surat At-Talaq ayat 4:
وَأُو۟لَـٰتُ ٱلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۗ
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
Mazhab ini menekankan bahwa perempuan yang hamil karena zina harus menunggu hingga melahirkan untuk menjaga kemurnian nasab.
2. Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah
Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah memperbolehkan perempuan yang hamil akibat zina untuk menikah tanpa harus menunggu melahirkan. Menurut mereka, karena hubungan zina tidak memiliki konsekuensi nasab yang sah, maka tidak ada masa iddah bagi perempuan yang hamil akibat zina.
Mereka berdalil bahwa perbuatan zina adalah dosa yang tidak diakui, sehingga tidak ada larangan untuk menikahi perempuan hamil akibat zina. Imam Syafi’i dalam pendapatnya membolehkan pernikahan bagi perempuan hamil karena zina dan membolehkan suami melakukan hubungan setelah pernikahan.
3. Pendapat Persatuan Islam Indonesia (PERSIS) dan Muhammadiyah
PERSIS berpendapat bahwa perempuan yang hamil akibat zina haram menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain sebelum ia melahirkan. Di sisi lain, Muhammadiyah memperbolehkan pernikahan antara perempuan hamil dan laki-laki yang menghamilinya serta mengizinkan hubungan setelah pernikahan.
Perspektif Hukum Positif di Indonesia
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia tidak secara spesifik mengatur tentang married by accident. Namun, hukum positif memandang anak yang lahir dalam pernikahan yang sah sebagai anak sah, sesuai dengan Pasal 99 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan:
“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat pernikahan yang sah.”
Pasal ini memberikan perlindungan hukum kepada anak yang lahir dari pernikahan setelah kehamilan di luar nikah, dengan tujuan memastikan hak-hak legalnya sebagai anak yang sah di mata hukum negara.
Status Anak dalam Pernikahan “Married by Accident”
1. Anak Dipandang sebagai Anak Zina (Nasab dengan Ibu Saja)
Dalam hukum Islam, anak yang lahir dari hubungan di luar nikah dipandang sebagai anak zina dan tidak memiliki nasab dengan ayah biologisnya. Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
Artinya: “Anak hanya dapat dinasabkan pada laki-laki yang memiliki hubungan pernikahan yang sah, sedangkan bagi pezina adalah batu,” (HR Muslim).
Oleh karena itu, anak zina hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan tidak berhak atas warisan dari ayah biologisnya.
2. Anak sebagai Anak Sah Menurut Hukum Positif
Berdasarkan Pasal 99 ayat (1) KHI, anak yang lahir dari pernikahan setelah kehamilan di luar nikah dianggap sah dan memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain yang lahir dalam pernikahan yang sah.
3. Pendapat tentang Nasab Jika Anak Lahir Enam Bulan Setelah Pernikahan
Jika anak lahir enam bulan setelah pernikahan, ia dianggap sebagai anak sah dari ayah biologisnya. Namun, jika anak lahir kurang dari enam bulan setelah pernikahan, ayah harus memberikan ikrar untuk mengakui anak tersebut sebagai anak sahnya.
Wali Nikah Anak Luar Nikah
Menurut hukum Islam, anak yang lahir dari hubungan di luar nikah tidak memiliki nasab dengan ayah biologisnya. Oleh karena itu, jika anak tersebut perempuan, maka wali nikahnya bukanlah ayah biologis, melainkan wali hakim, sebagaimana disebutkan dalam hadis:
السُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Artinya: “Penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali,” (HR Abu Daud).
Namun, menurut KHI, anak yang lahir dalam atau setelah pernikahan dianggap sah dan ayah biologisnya dapat menjadi wali nikahnya.
Masa Iddah Perempuan yang Hamil Akibat Zina
Masa iddah atau waktu tunggu bagi perempuan yang hamil akibat zina memiliki berbagai pandangan, sesuai dengan kondisi kehamilan. Firman Allah dalam Alquran Surah Ath-Thalaq ayat 4 menyebutkan:
وَأُو۟لَـٰتُ ٱلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۗ
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
Bagi perempuan yang hamil karena zina, para ulama berpendapat bahwa masa iddah bagi mereka adalah hingga mereka melahirkan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal terkait married by accident dalam hukum positif dan hukum Islam:
1. Dalam Hukum Islam
Islam mengatur bahwa pernikahan bagi perempuan yang hamil akibat zina diperbolehkan setelah ia melahirkan. Status anak yang lahir dari hubungan pranikah adalah anak zina, tidak memiliki nasab dengan ayah biologisnya, dan tidak berhak atas warisan dari ayah biologis. Ayah biologisnya juga tidak dapat menjadi wali nikah bagi anak perempuan tersebut.
2. Dalam Hukum Positif Indonesia
Berdasarkan Pasal 99 KHI, anak yang lahir dalam atau akibat pernikahan dianggap sah. Oleh karena itu, jika perempuan yang hamil akibat zina menikah, maka anak yang lahir dari pernikahan tersebut dianggap sebagai anak sah, memiliki hak waris, dan nasab dengan ayah biologisnya.
3. Perlindungan Hukum bagi Anak
Dengan mengakui anak sebagai anak sah dalam hukum positif, anak yang lahir dari pernikahan setelah kehamilan di luar nikah mendapatkan perlindungan hukum, dan hak-haknya sebagai anak sah dijamin dalam hukum negara.
Perbedaan perspektif ini menunjukkan pentingnya memahami baik nilai-nilai agama maupun aturan negara dalam menghadapi fenomena married by accident. Wallahua’lam.
Dedi Rizki Sitorus Pane (Mahasiwa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)