Perbedaan Hukum Ta’abbudi dan Ghairu Ta’abbudi dalam Islam
TATSQIF ONLINE – Syariat Islam mencakup aturan yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Aturan ini tidak hanya bersifat ibadah (ritual) tetapi juga mencakup mu’amalah (interaksi sosial). Untuk memahami dinamika hukum Islam, penting mengetahui konsep ta’abbudi (dogmatis) dan ghairu ta’abbudi (rasional). Keduanya menunjukkan bagaimana hukum Islam dapat bersifat tetap atau fleksibel sesuai konteks.
Hukum ta’abbudi bersifat absolut dan tidak memerlukan penjelasan rasional, sedangkan hukum ghairu ta’abbudi memungkinkan peran akal dan ijtihad untuk memahami illat (sebab hukum). Pembagian ini menunjukkan keindahan syariat Islam yang bersifat universal sekaligus responsif terhadap perubahan zaman.
Pengertian Ta’abbudi dan Ghairu Ta’abbudi
Ta’abbudi mengacu pada hukum-hukum yang harus dilaksanakan secara mutlak tanpa mempertanyakan hikmahnya. Contohnya adalah jumlah rakaat dalam salat dan puasa Ramadan. Dalam hukum ini, peran akal terbatas pada memahami kewajiban untuk mematuhi ketetapan Allah.
Sebagai contoh, dalam perintah mendirikan salat, Allah berfirman:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43).
Sebaliknya, ghairu ta’abbudi merujuk pada hukum yang bersifat rasional dan memiliki illat (alasan hukum) yang jelas. Hukum ini biasanya terkait dengan mu’amalah dan terbuka untuk penyesuaian sesuai dengan konteks zaman.
Allah berfirman mengenai transaksi mu’amalah:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Contoh Hukum Ta’abbudi
Hukum ta’abbudi umumnya berhubungan dengan ibadah mahdhah (murni), seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Aturan ini tetap berlaku dalam kondisi apa pun tanpa mempertimbangkan perubahan zaman.
1. Salat lima waktu. Rasulullah ﷺ bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Artinya: “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat.” (HR. Bukhari).
2. Puasa Ramadan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Aturan ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut, karena tujuannya semata untuk menguji ketaatan kepada Allah.
Contoh Hukum Ghairu Ta’abbudi
Hukum ghairu ta’abbudi biasanya berhubungan dengan interaksi sosial yang bersifat dinamis dan dapat berubah mengikuti situasi. Contoh aplikasinya adalah:
1. Sistem ekonomi Islam. Dalam Al-Qur’an dijelaskan:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Larangan riba diterapkan secara modern melalui sistem bagi hasil dalam perbankan syariah.
2. Larangan membahayakan diri sendiri dan orang lain. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Artinya: “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah).
Prinsip ini memungkinkan penyesuaian hukum dengan mempertimbangkan maslahat umat.
Implikasi Ta’abbudi dan Ghairu Ta’abbudi
Konsep ta’abbudi menjaga stabilitas syariat Islam dalam aspek-aspek ibadah. Aturannya tetap dan berlaku universal, seperti tata cara haji yang mengikuti tuntunan Rasulullah ﷺ. Sebaliknya, hukum ghairu ta’abbudi memberikan fleksibilitas bagi umat Islam untuk menyesuaikan aturan dengan perkembangan zaman, seperti sistem keuangan berbasis syariah.
Kedua konsep ini saling melengkapi. Hukum ta’abbudi menanamkan ketaatan kepada Allah, sedangkan hukum ghairu ta’abbudi menjawab kebutuhan manusia dalam berbagai konteks. Dengan memahami keduanya, syariat Islam dapat diterapkan secara konsisten dan relevan sepanjang masa.
Kesimpulan
Konsep keduanya mencerminkan kesempurnaan hukum Islam. Hukum ta’abbudi melatih umat untuk tunduk kepada Allah tanpa syarat, sementara hukum ghairu ta’abbudi memungkinkan adaptasi tanpa meninggalkan prinsip-prinsip syariat. Pemahaman mendalam tentang keduanya memberikan landasan kuat untuk menjalankan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Wallahua’lam.
Ismail Marzuki & Imam Alwie Siregar (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Mengapa hukum Ta’abbudi dianggap tidak bisa dipahami dengan akal dan hanya mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya?
apa perbedaan antara hukum taabbudi yang bersifat ibadah dan ghairu taabbudi yang bersifat muamalah?
Bagaimana pendekatan yang berbeda dalam hukum taabbudi dan gairu taabbudi mencerminkan fleksibilitas dan kekakuan hukum Islam?
Apa dampak dari perbedaan hukum Ta’abbudi dan Ghairu Ta’abbudi terhadap praktik fiqih sehari-hari?
Apa peran hukum ta’abbudi dalam membentuk moralitas dan akhlak?
Bagaimana cara ulama menyeimbangkan antara kepatuhan terhadap hukum Ta’abbudi dengan kebutuhan untuk merespons perubahan zaman dan kondisi masyarakat?
Bagaimana dengan hukum (mengetahui) awal atau akhir Ramadan? Apakah iya termasuk ranah ta’abbudi
Apa yang dimaksud dengan hukum ta’abbudi dan ghairu ta’abbudi dalam konteks hukum Islam?
Apa sumber- sumber utama hukum ta’abbudi dan ghairu ta’abbudi
Bagaimana hukum ghairu ta’abbudi dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat modern?
Apakah bisa suatu hukum yang awalnya ta’abbudi menjadi ghairu ta’abbudi seiring berjalannya waktu? Jelaskan!
Bagaimana ulama fikih menentukan suatu hukum sebagai ta’abbbudi atau ghairu ta’abbudi?
Bagaimana ta’abbudi menunjukkan ketundukan pada Allah?
Bagaimana cara kita mengetahui apakah suatu hukum termasuk kategori ta’abbudi atau ghairu ta’abbudi?
Bagaimana peran akal dalam menerapkan hukum ghairu ta’abbudi, sedangkan dalam hukum ta’abbudi akal tidak selalu menjadi landasan utama?
Bagaimana penerapan hukum ta’abbudi dapat beradaptasi dengan kondisi zaman saat ini?