Pembunuhan Karena Sebab: Kajian Fiqh Hukum Pidana Islam
TATSQIF ONLINE – Masalah pembunuhan dalam hukum Islam mencakup berbagai kategori yang kompleks, salah satunya adalah pembunuhan karena sebab. Konsep ini mengungkapkan bahwa tindakan sepele, seperti menggali sumur atau meletakkan benda, bisa berujung pada kematian orang lain.
Pembahasan tentang pembunuhan karena sebab memiliki signifikansi yang tinggi. Isu ini menyoroti tanggung jawab hukum dan etika dalam tindakan yang tidak langsung mengakibatkan kematian.
Untuk memahami topik ini lebih dalam, kita akan mengkaji karya Dr. Nawal Binti Sa’id Badgis yang berjudul Fiqhul Jinayat wal Hudud. Buku ini berperan sebagai bahan ajar dalam mata kuliah Qiraatul Kutub di Program Studi Hukum Pidana Islam (HPI).
Teks Asli dalam Buku
التّعريف: القتل بسبب مركّب من كلمتين، هما: القتل والسّبب. والقتل بسبب عند الحنفيّة هو القتل نتيجة فعل لا يؤدّي مباشرةً إلى قتل، كحفر البئر، أو وضع الحجر في غير ملكه، وأمثالهما، فيعطب به إنسان ويقتل. حالات القتل بسبب: قسّم الفقهاء القتل أقساماً اختلفوا فيها، وممّا اختلفوا فيه القتل بسبب، فاعتبره الحنفيّة قسماً مستقلاً من أقسام القتل الخمسة عندهم، لكنّ جمهور الفقهاء لم يجعلوه قسماً مستقلاً وإنّما أوردوا أحكامه في الأقسام الأخرى ومن ذلك الحالات التّالية: الإكراه: القتل بسبب الإكراه أن يكره رجلاً على قتل آخر فيقتله. أمّا الإكراه في اصطلاح الفقهاء فهو: فعل يفعله المرء بغيره، فينتفي به رضاه، أو يفسد به اختياره
وقد اختلف الفقهاء فيمن يجب عليه القصاص. الشّهادة بالقتل: إذا شهد رجلان على رجل بما يوجب قتله، فقتل بشهادتهما، ثمّ رجعا، واعترفا بتعمّد الكذب وبعلمهما بأنّ ما شهدا به يقتل به المشهود عليه، فعليهما القصاص عند الشّافعيّة والحنابلة وأشهب من المالكيّة، لما روى القاسم بن عبد الرّحمن: أنّ رجلين شهدا عند عليّ كرّم اللّه وجهه على رجل أنّه سرق، فقطعه، ثمّ رجعا في شهادتهما، فقال عليّ: لو أعلم أنّكما تعمّدتما لقطعت أيديكما، وغرّمهما دية يده. ولأنّ الشّاهدين على الرّجل بما يوجب قتله توصّلا إلى قتله بسبب يقتل غالباً، فوجب عليهما القصاص كالمكره. وعند الحنفيّة والمالكيّة غير أشهب لا قصاص عليهما بل عليهما الدّية، لأنّه تسبّب غير ملجئ، فلا يوجب القصاص، كحفر البئر.
Teks dengan Tambahan Harakat
التَّعْرِيفُ: القَتْلُ بِسَبَبٍ مُرَكَّبٌ مِنْ كَلِمَتَيْنِ، هُمَا: القَتْلُ وَالسَّبَبُ. وَالقَتْلُ بِسَبَبٍ عِنْدَ الحَنَفِيَّةِ هُوَ القَتْلُ نَتِيجَةَ فِعْلٍ لَا يُؤَدِّي مُبَاشَرَةً إِلَى قَتْلٍ، كَحَفْرِ البِئْرِ، أَوْ وَضْعِ الحَجَرِ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ، وَأَمْثَالِهِمَا، فَيَعْطَبُ بِهِ إِنْسَانٌ وَيُقْتَلُ. حَالَاتُ القَتْلِ بِسَبَبٍ: قَسَّمَ الفُقَهَاءُ القَتْلَ أَقْسَامًا اخْتَلَفُوا فِيهَا، وَمِمَّا اخْتَلَفُوا فِيهِ القَتْلُ بِسَبَبٍ، فَاعْتَبَرَهُ الحَنَفِيَّةُ قِسْمًا مُسْتَقِلًّا مِنْ أَقْسَامِ القَتْلِ الخَمْسَةِ عِنْدَهُمْ، لَكِنَّ جُمْهُورَ الفُقَهَاءِ لَمْ يَجْعَلُوهُ قِسْمًا مُسْتَقِلًّا وَإِنَّمَا أَوْرَدُوا أَحْكَامَهُ فِي الأَقْسَامِ الأُخْرَى وَمِنْ ذَلِكَ الحَالَاتُ التَّالِيَةُ: الإِكْرَاهُ: القَتْلُ بِسَبَبِ الإِكْرَاهِ أَنْ يُكْرِهَ رَجُلًا عَلَى قَتْلِ آخَرَ فَيَقْتُلَهُ. أَمَّا الإِكْرَاهُ فِي اصْطِلَاحِ الفُقَهَاءِ فَهُوَ: فِعْلٌ يَفْعَلُهُ المَرْءُ بِغَيْرِهِ، فَيَنْتَفِي بِهِ رِضَاهُ، أَوْ يُفْسِدُ بِهِ اخْتِيَارَهُ
وَقَدِ اخْتَلَفَ الفُقَهَاءُ فِيمَنْ يَجِبُ عَلَيْهِ القِصَاصُ. الشَّهَادَةُ بِالقَتْلِ: إِذَا شَهِدَ رَجُلَانِ عَلَى رَجُلٍ بِمَا يُوجِبُ قَتْلَهُ، فَقُتِلَ بِشَهَادَتِهِمَا، ثُمَّ رَجَعَا، وَاعْتَرَفَا بِتَعَمُّدِ الكَذِبِ وَبِعِلْمِهِمَا بِأَنَّ مَا شَهِدَا بِهِ يُقْتَلُ بِهِ المَشْهُودُ عَلَيْهِ، فَعَلَيْهِمَا القِصَاصُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَالحَنَابِلَةِ وَأَشْهَبَ مِنَ المَالِكِيَّةِ، لِمَا رَوَى القَاسِمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ: أَنَّ رَجُلَيْنِ شَهِدَا عِنْدَ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ عَلَى رَجُلٍ أَنَّهُ سَرَقَ، فَقَطَعَهُ، ثُمَّ رَجَعَا فِي شَهَادَتِهِمَا، فَقَالَ عَلِيٌّ: لَوْ أَعْلَمُ أَنَّكُمَا تَعَمَّدْتُمَا لَقَطَعْتُ أَيْدِيَكُمَا، وَغَرَّمَهُمَا دِيَةَ يَدِهِ. وَلِأَنَّ الشَّاهِدَيْنِ عَلَى الرَّجُلِ بِمَا يُوجِبُ قَتْلَهُ تَوَصَّلَا إِلَى قَتْلِهِ بِسَبَبٍ يُقْتَلُ غَالِبًا، فَوَجَبَ عَلَيْهِمَا القِصَاصُ كَالمُكْرِهِ. وَعِنْدَ الحَنَفِيَّةِ وَالمَالِكِيَّةِ غَيْرَ أَشْهَبَ لَا قِصَاصَ عَلَيْهِمَا بَلْ عَلَيْهِمَا الدِّيَةُ، لِأَنَّهُ تَسَبُّبٌ غَيْرُ مُلْجِئٍ، فَلَا يُوجِبُ القِصَاصَ، كَحَفْرِ البِئْرِ
Terjemahan:
Definisi:
Pembunuhan dengan sebab terdiri dari dua kata, yaitu pembunuhan dan sebab. Pembunuhan dengan sebab menurut Hanafiyah adalah pembunuhan yang terjadi akibat suatu tindakan yang tidak langsung menyebabkan kematian, seperti menggali sumur, atau meletakkan batu di tempat yang bukan miliknya, dan hal-hal semacamnya, sehingga seseorang terperosok dan terbunuh karenanya.
Kasus-kasus pembunuhan dengan sebab:
Para ahli fikih membagi pembunuhan menjadi beberapa bagian yang berbeda pendapat di dalamnya. Salah satu yang mereka perselisihkan adalah pembunuhan dengan sebab. Hanafiyah menganggapnya sebagai bagian yang berdiri sendiri dari lima jenis pembunuhan menurut mereka. Namun, mayoritas ahli fikih tidak menjadikannya sebagai bagian yang berdiri sendiri, melainkan menyertakan hukum-hukumnya dalam bagian-bagian lainnya. Berikut beberapa contohnya:
Pemaksaan (Ikrah):
Pembunuhan dengan sebab pemaksaan adalah ketika seseorang memaksa orang lain untuk membunuh orang lain, lalu dia membunuhnya. Sedangkan pemaksaan menurut istilah para ahli fikih adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, sehingga menghilangkan kerelaannya atau merusak pilihannya. Para ahli fikih berbeda pendapat mengenai siapa yang harus dikenakan qisas.
Kesaksian dalam pembunuhan:
Jika dua orang bersaksi atas seseorang yang menyebabkan orang tersebut dihukum mati, lalu orang itu dibunuh berdasarkan kesaksian mereka, kemudian kedua saksi tersebut menarik kembali kesaksiannya dan mengakui bahwa mereka sengaja berbohong serta mengetahui bahwa apa yang mereka saksikan akan menyebabkan orang yang disaksikan dibunuh, maka keduanya harus dikenakan qisas menurut Syafi’iyah, Hanabilah, dan Asyhab dari Malikiyah. Hal ini berdasarkan riwayat dari Qasim bin Abdurrahman bahwa dua orang bersaksi di hadapan Ali radhiyallahu ‘anhu terhadap seseorang yang mencuri, sehingga Ali memotong tangannya. Kemudian kedua saksi itu menarik kesaksian mereka. Ali berkata, “Jika aku tahu bahwa kalian sengaja berbohong, aku akan memotong tangan kalian,” dan dia mewajibkan mereka membayar diyat tangan orang yang dipotong tersebut. Karena kedua saksi yang menyebabkan seseorang dibunuh dengan cara yang biasa menyebabkan kematian, maka keduanya dikenakan qisas seperti halnya orang yang dipaksa membunuh.
Menurut Hanafiyah dan Malikiyah selain Asyhab, tidak ada qisas atas kedua saksi tersebut, tetapi mereka diwajibkan membayar diyat, karena itu merupakan tindakan sebab yang tidak memaksa, sehingga tidak mewajibkan qisas, seperti menggali sumur.
Mufradat Pilihan
إِكْرَاه: Paksaan, yaitu tindakan memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.
عِقَاب: Hukuman atau sanksi; pembalasan atas perbuatan seseorang.
تَعَمُّد: Kesengajaan melakukan suatu tindakan dengan niat yang jelas.
اعْتَرَفَ: Mengakui, terutama dalam konteks mengakui kesalahan atau kebenaran setelah memberikan kesaksian palsu.
مُلْجِئ: Sesuatu yang memaksa atau keadaan yang sangat mendesak sehingga tidak bisa menghindarinya.
إلجاء: Keterpaksaan ekstrem yang membuat seseorang tidak memiliki pilihan untuk menghindar.
عَطَبَ: Binasa atau rusak. Dalam konteks ini, mengacu pada seseorang yang mengalami kecelakaan hingga tewas.
مُسْتَقِلّ: Berdiri sendiri; sesuatu yang tidak bergantung pada hal lain.
مَنْع: Larangan atau penghalangan, tindakan yang mencegah seseorang dari melakukan sesuatu.
بَيِّنَة: Bukti, informasi atau keterangan yang dapat mendukung klaim dalam suatu perkara hukum
طُرُق: Metode atau cara, berbagai cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu.
Pemahaman Terhadap Isi Teks
Teks ini membahas konsep “قَتْل بسبب” (pembunuhan karena sebab) dalam hukum Islam, terutama dari sudut pandang mazhab Hanafi dan pendapat umum para fuqaha.
Pembunuhan karena sebab menggabungkan dua istilah: قَتْل (pembunuhan) dan سَبَب (sebab). Dalam mazhab Hanafi, pembunuhan karena sebab terjadi akibat tindakan yang tidak langsung menyebabkan kematian. Contoh konkret dari tindakan ini termasuk menggali sumur atau meletakkan batu di tempat yang tidak dimiliki seseorang. Tindakan-tindakan ini bisa mengakibatkan kematian orang lain.
Para fuqaha mengklasifikasikan pembunuhan ke dalam berbagai kategori. Mazhab Hanafi menempatkan pembunuhan karena sebab sebagai kategori tersendiri di antara lima kategori pembunuhan yang ada. Namun, mayoritas fuqaha lainnya tidak setuju dengan pendapat ini. Mereka lebih memilih untuk mengelompokkan pembunuhan karena sebab dalam kategori lain.
Terkait Situasi dan Kondisi Pelaku
Teks ini menjelaskan beberapa kondisi yang terkait dengan pembunuhan karena sebab. Salah satunya adalah ikrah (paksaan). Dalam hal ini, pembunuhan terjadi ketika seseorang terpaksa membunuh orang lain. Paksaan ini menghilangkan kerelaan dan pilihan dari orang yang dipaksa. Para fuqaha berbeda pendapat mengenai siapa yang harus menerima hukuman qisas (hukuman balasan) dalam situasi ini.
Kondisi lain yang dijelaskan adalah kesaksian dalam pembunuhan. Jika dua orang bersaksi melawan seseorang yang mengakibatkan kematiannya dan kemudian menarik kembali kesaksian mereka, mereka dianggap bersalah. Misalnya, dua orang bersaksi di hadapan Ali bin Abi Thalib bahwa seorang pria telah mencuri, dan sebagai akibatnya, pria tersebut dijatuhi hukuman potong tangan. Ketika kedua saksi menarik kembali kesaksian mereka dan mengakui bahwa mereka berbohong, Ali mengungkapkan bahwa jika dia tahu mereka berbohong sejak awal, dia akan memotong tangan mereka dan memberikan mereka denda sesuai dengan hukuman atas kesaksian palsu.
Dalam pandangan Syafi’iyah, Hanbaliyah, dan sebagian dari Malikiyah, kedua saksi tersebut harus dihukum dengan qisas karena kesaksian mereka berkontribusi langsung pada tindakan pembunuhan. Namun, mazhab Hanafi dan sebagian dari Malikiyah berpendapat bahwa kedua saksi tidak dikenakan hukuman qisas. Sebagai gantinya, mereka harus membayar diya (ganti rugi) karena kesaksian mereka dianggap sebagai penyebab yang tidak memaksa, sama seperti tindakan menggali sumur.
Secara keseluruhan, teks ini memberikan pemahaman yang jelas tentang bagaimana hukum Islam mengatur konsep pembunuhan karena sebab. Teks ini juga menyoroti perbedaan pendapat di antara mazhab mengenai bagaimana tindakan tertentu dapat menyebabkan kematian dan bagaimana pertanggungjawaban hukum ditetapkan.
Kaidah Bahasa: Definisi dan Tanda-Tanda Isim dan Fiil Manshub
Isim manshūb adalah kata benda yang mengalami perubahan harakat akhir menjadi fathah atau tanda pengganti fathah dalam kalimat. Konsep ini termasuk dalam aturan i’rab, yang menunjukkan perubahan harakat suatu kata tergantung posisinya dalam kalimat. Dalam hal ini, i’rab nashab memiliki lima tanda, yaitu: fathah, alif, kasrah, ya’, dan hadzfun nun (menghilangkan huruf nun).
Tanda-Tanda I’rab Nashab
Harakat fathah adalah ciri utama dari i’rab nashab yang dapat dijumpai pada tiga posisi: isim mufrad, jamak taksir, dan fi’il mudhari’ yang mendapatkan pengaruh dari ‘amil nawashib. Contoh isim mufrad adalah “قرأتُ القرأنَ” (Aku telah membaca Al-Qur’an). Untuk jamak taksir, contohnya adalah “اشتريْتُ الكُتُبَ” (Aku telah membeli buku-buku). Sedangkan untuk fi’il mudhari’ yang dimasuki ‘amil nawashib, contohnya adalah “لن يذهب محمدٌ الى السُّوقِ” (Muhammad tidak akan pergi ke pasar).
Huruf alif sebagai ciri i’rab nashab muncul pada asm’aul khamsah (isim lima) seperti “رايتُ ابَاكَ في السوقِ” (Aku melihat ayahmu di pasar).
Harakat kasrah sebagai pengganti fathah muncul pada jamak muannast salim, contohnya “خلق اللهُ السمواتِ” (Allah menciptakan langit).
Huruf ya’ terdapat pada jamak mudzakar salim dan isim tastniyah, seperti “رايتُ المسلمِيْنَ” (Aku telah melihat orang-orang Muslim) dan “قرأتُ كتابَيْنِ” (Aku telah membaca dua buku).
Hadzfu nun, atau penghilangan huruf nun, menjadi tanda i’rab nashab pada af’alul khamsah. Contoh dalam penggunaan lafadz adalah “أن يعلما” (Hendaknya kamu berdua mengetahui).
Fungsi Isim Manshub
Isim manshūb memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1. Maf’ul Bih (Objek Langsung): Isim yang menjadi objek langsung dari suatu fi’il, seperti dalam “أكلتُ التفاحةَ” (Saya memakan apel).
2. Maf’ul Mutlaq (Penekanan atau Jenis Pekerjaan): Menunjukkan jenis atau penekanan pekerjaan, contohnya “ضربتُهُ ضربًا” (Saya memukulnya dengan pukulan).
3. Maf’ul Liajlih (Untuk Sebab): Menunjukkan tujuan pekerjaan, seperti “صُمْتُ طلبًا للأجرِ” (Saya berpuasa untuk mencari pahala).
4. Maf’ul Ma’ah (Bersamaan): Menunjukkan hal yang terjadi bersamaan dengan pelaku, seperti “سرتُ والنهرَ” (Saya berjalan bersama sungai).
5. Hal (Keterangan Keadaan): Menjelaskan keadaan ketika suatu pekerjaan terjadi, contohnya “جاء زيدٌ راكبًا” (Zaid datang dalam keadaan berkendara).
6. Tamyiz (Keterangan Penjelas): Memperjelas makna atau jumlah dalam kalimat, seperti “اشتريتُ عشرينَ كتابًا” (Saya membeli dua puluh buku).
7. Isim dari Kaana dan Akhawat-nya: Khabar dari kaana dan fi’il serupa selalu dalam keadaan manshūb, seperti “كان زيدٌ قائمًا” (Zaid sedang berdiri).
8. Khabar dari Inna dan Akhawat-nya: Khabar dari inna dan saudara-saudaranya juga berada dalam keadaan manshūb, misalnya “إنَّ زيدًا قائمٌ” (Sesungguhnya Zaid sedang berdiri).
9. Munada (Panggilan): Munada dapat di-nashobkan jika tidak didahului oleh “yaa”, contohnya “يا زيدًا” (Wahai Zaid).
10. Tawabi’ kepada yang Manshub, baik pada posisi sebagai Na’at, ‘Athaf, Taukid, dan Badal.
Kaidah Fi’il Manshub
Fi’il manshūb adalah bentuk fi’il mudhāri’ yang berakhir dengan harakat fathah atau tanda pengganti fathah. Perubahan fi’il mudhāri’ menjadi manshūb dipengaruhi oleh huruf nashab.
Perubahan Fi’il Mudhāri’ Menjadi Manshūb: Biasanya, fi’il mudhāri’ diakhiri dengan dhammah. Namun, jika ada partikel nashab, dhammah berubah menjadi fathah. Contoh: “لن يذهبَ” (Dia tidak akan pergi).
Huruf-Huruf Nashab: Fi’il mudhāri’ menjadi manshūb jika didahului oleh huruf nashab seperti:
“أنْ” (bahwa/supaya): Contoh: “أُريدُ أَنْ أَذْهَبَ” (Saya ingin pergi).
“لنْ” (tidak akan): Contoh: “لن أذهبَ” (Saya tidak akan pergi).
“كيْ” (agar/supaya): Contoh: “أدرس كي أنجحَ” (Saya belajar agar berhasil).
“حتى” (hingga/sampai): Contoh: “سَأَنتَظِرُ حَتَّى تَخرُجَ” (Saya akan menunggu sampai kamu keluar).
“لــ” (supaya/agar): Contoh: “أدرس لأفهمَ” (Saya belajar supaya saya paham).
Tanda-Tanda Manshub pada Fi’il Mudhāri’:
Fathah: Tanda nashob untuk fi’il yang tidak berakhiran huruf ‘illat. Contoh: “لن يذهبَ” (Dia tidak akan pergi).
Hapus Huruf Nun: Tanda nashab untuk fi’il mudhāri’ jamak atau mutsanna. Contoh: “لن يذهبوا” (Mereka tidak akan pergi).
Tidak Ada Perubahan: Pada fi’il mudhāri’ berakhiran huruf ‘illat. Contoh: “لن يسعى” (Dia tidak akan berusaha).
Contoh Penerapan I’rab Nashab dalam Teks di Atas:
1. Kalimat أَنْ يُكْرِهَ رَجُلًا terdiri dari tiga komponen.
أَنْ adalah harf nashab yang tidak memiliki i’rab dan berfungsi untuk menjadikan kalimat setelahnya menjadi manshub. يُكْرِهَ adalah fi’il mudhari’ yang juga dalam bentuk manshub karena sebelumnya terdapat huruf nashab أَنْ, yang berarti “memaksa.” Sedangkan رَجُلًا adalah isim manshub yang berfungsi sebagai objek dari fi’il tersebut, dengan harakat fathah di akhir, yang berarti “seorang pria.” Secara keseluruhan, kalimat ini berarti “Untuk memaksa seorang pria,” menunjukkan suatu kondisi atau harapan untuk melakukan tindakan pemaksaan terhadap seseorang.
2. Kalimat قَسَّمَ الفُقَهَاءُ القَتْلَ tersusun dalam tiga elemen:
Dalam analisis nahwu, قَسَّمَ adalah فعل ماضٍ (kata kerja lampau) yang dibangun dengan harakat fatah, sementara الفُقَهَاءُ berfungsi sebagai فاعل (subjek) yang marfū‘ dengan tanda raf‘ ḍammah di akhir. Selanjutnya, القَتْلَ adalah مفعول به (objek langsung) yang manṣūb dengan tanda naṣb fatah di akhir.
3. Kalimat فَاعْتَبَرَهُ الحَنَفِيَّةُ قِسْمًا مُسْتَقِلًّا terdiri dari beberapa unsur gramatikal.
فَ adalah harf ‘ataf yang menghubungkan kalimat ini dengan kalimat sebelumnya. اعْتَبَرَ adalah فعل ماضٍ yang berfungsi sebagai predikat. هُ merupakan ضمير متصل yang berfungsi sebagai objek pertama (مفعول به أول). الحَنَفِيَّةُ adalah اسم مرفوع dan berfungsi sebagai subjek (فاعل) yang menunjukkan pelaku tindakan. قِسْمًا adalah اسم منصوب dan berfungsi sebagai objek kedua (مفعول به ثانٍ), sementara مُسْتَقِلًّا adalah صفة yang menjelaskan “قِسْمًا”. Secara keseluruhan, kalimat ini menyatakan bahwa “al-Hanafi” menganggap sesuatu sebagai kategori yang independen.
Sarmaito Pohan (Mahasiwa Prodi HPI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) dan Sylvia Kurnia Ritonga (Dosen Pengampu Mata Kuliah Qira’atul Kutub HPI)
Coba saudari sebutkan huruf”nasab,berikan contohny dan jelaskan mengapa setiap fiil mudharik yang d dahului huruf nasab itu manshub ?
Coba pemakalah berikan contoh fi’il mudhori’ manshub di dalam teks yang pemakalah bahas!
Coba pemakalah jelaskan kapan huruf Alif digunakan sebagai tanda i’rab nashab , dan berikan contoh penggunaanya ?
Coba pemakalah Sebutkan contoh penggunaan tawabi’ kepada yg manshub
dan jelaskan peranannya dalam kalimat?
pada contoh kalimat tamyiz di atas, tamyiz nya yang mana, عشرين atau كتابا ??
Pada contoh kalimat “اشتريت عشرين كتابا” (ishtaraytu ‘ishriina kitaaban), kata “كتابا” adalah tamyiz, sedangkan “عشرين” adalah maf’ul bih (objek) yang menunjukkan jumlah.
Tamyiz dalam kalimat ini berfungsi untuk menjelaskan atau menerangkan jumlah yang disebutkan, yaitu “كتابا” (buku), yang menjelaskan jenis dari jumlah “عشرين” (dua puluh). Jadi, tamyiz di sini adalah “كتابا”.
Apa apa saja tanda i’rab yang menunjukkan bahwa fi’il berada dalam keadaan manshub?
Tanda-tanda i’rab fi’il mudhari’ yang menunjukkan keadaan manshub adalah:
1. Fathah di akhir kata jika fi’il mudhari’ tidak bersambung dengan dhamir, seperti “lan yaktuba” (لَنْ يَكْتُبَ).
2. Penghilangan huruf nun pada fi’il dual dan jamak, seperti “lan yaktubaa” (لَنْ يَكْتُبَا) dan “lan yaktubuu” (لَنْ يَكْتُبُوا).
3. Penghilangan huruf ‘illat pada fi’il yang berakhir dengan huruf lemah, seperti “lan yad’ū” (لَنْ يَدْعُوَ).
Ini adalah tanda-tanda i’rab yang menunjukkan fi’il mudhari’ dalam keadaan manshub.
coba pemakalah jelaskan Kapan dan dalam kondisi apa sebuah fi’il menjadi manshub?
Fi’il mudhari’ menjadi manshub dalam beberapa kondisi tertentu, yaitu ketika didahului oleh huruf-huruf nasab yang mempengaruhi bentuk akhir fi’il mudhari’. Huruf-huruf nasab ini menyebabkan perubahan pada akhir fi’il mudhari’, baik berupa fathah, penghilangan nun, atau penghilangan huruf ‘illat. Berikut adalah kondisi-kondisi di mana fi’il mudhari’ menjadi manshub beserta contohnya:
Setelah Huruf Nasab: Fi’il mudhari’ akan menjadi manshub jika didahului oleh salah satu huruf nasab seperti:
– lan (untuk menyatakan penolakan di masa depan), contoh: لَنْ يَكْتُبَ (lan yaktuba: dia tidak akan menulis).
– an (untuk menyatakan tujuan atau keinginan), contoh: يُرِيدُ أَنْ يَكْتُبَ (yuridu an yaktuba: dia ingin menulis).
– kai (untuk menyatakan sebab atau tujuan), contoh: دَرَسُوا كَيْ يَفْهَمُوا (darsuu kai yafhamu: mereka belajar agar mereka memahami).
– hatta (untuk menyatakan batas waktu atau tujuan), contoh: أَنْتَظِرُ حَتَّى يَصِلَ (antaqiru hatta yasila: saya menunggu sampai dia tiba).
Saudari jelaskan kembali tanda tanda manshuf pada fi’il mudhari
Tanda-tanda fi’il mudhari’ yang manshub dalam bahasa Arab dapat dikenali dengan perubahan yang terjadi pada akhir kata, terutama setelah huruf-huruf nasib yang menyebabkan fi’il mudhari’ menjadi manshub. Berikut tanda-tandanya:
1. Fathah di akhir fi’il mudhari’. Jika fi’il mudhari’ tidak bersambung dengan dhamir muttashil (kata ganti yang melekat), maka tanda manshub-nya adalah adanya harakat fathah di akhir kata. Misalnya: “lan yaktuba” (dia tidak akan menulis), di mana “yaktuba” berakhir dengan fathah.
2. Hilangnya huruf nun. Untuk fi’il mudhari’ yang berbentuk jamak atau mutsanna (dual), tanda manshub-nya adalah hilangnya huruf “nun” di akhir kata. Misalnya: “lan yaktubaa” (dua orang tidak akan menulis) untuk bentuk mutsanna, dan “lan yaktubuu” (mereka tidak akan menulis) untuk bentuk jamak.
3. Hilangnya huruf ‘illat. Untuk fi’il mudhari’ yang berakhir dengan huruf ‘illat (huruf lemah, seperti alif, wawu, atau ya), tanda manshub-nya adalah hilangnya huruf tersebut di akhir kata. Misalnya: “lan yad’u” (dia tidak akan menyeru), di mana huruf “wawu” dihilangkan.
Dengan demikian, perubahan ini menjadi tanda yang menandakan fi’il mudhari’ dalam keadaan manshub.