Pandangan Ulama 4 Mazhab tentang Wakaf dan Implementasinya
TATSQIF ONLINE – Wakaf berfungsi sebagai salah satu instrumen penting dalam Islam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sepanjang sejarah Islam, wakaf memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sosial.
Berbagai mazhab dalam Islam memberikan perhatian yang berbeda terhadap pengelolaan wakaf. Perbedaan perhatian tersebut mempengaruhi praktik wakaf dalam kehidupan sehari-hari.
Pengertian Wakaf
Secara etimologis, kata “wakaf” berasal dari bahasa Arab “waqafa” yang berarti “menahan” atau “berhenti.” Dalam konteks fiqh, wakaf berarti menahan suatu harta untuk disedekahkan manfaatnya kepada pihak tertentu atau untuk kepentingan umum. Para ahli fiqh memberikan definisi yang beragam mengenai wakaf, tergantung pada pandangan mereka terhadap hakikat dan implementasinya.
Al-Qur’an menjelaskan wakaf sebagai bagian dari sedekah yang memberi manfaat kepada orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 177:
لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya:“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan hingga kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
Hukum Wakaf Menurut Empat Mazhab Fikih
Hukum wakaf dalam perspektif empat mazhab fikih—mazhab Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hambali, dan Imam Hanafi—menunjukkan perbedaan pandangan dan karakteristik. Meskipun terdapat perbedaan tersebut, tidak seharusnya terjadi saling menyalahkan, karena terdapat alasan yang melatarbelakangi perbedaan pandangan setiap imam mazhab.
Pandangan Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf sebagai tindakan wakif (orang yang berwakaf) menahan suatu benda (al-‘ain) miliknya dengan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada pihak tertentu untuk tujuan kebajikan. Menurut Ibnu al-Humam dalam bukunya Fath al-Qadir, wakaf hanya berkaitan dengan “penyumbangan manfaat”.
Dengan demikian, definisi wakaf menurut mazhab Hanafi adalah: “Tidak melakukan tindakan atas suatu benda yang tetap sebagai hak milik, sambil menyedekahkan manfaatnya kepada pihak yang berwenang untuk kebajikan, baik sekarang maupun di masa depan.”
Pandangan Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakif menjadikan manfaat dari harta miliknya (termasuk hasil sewa) sebagai wakaf untuk pihak yang berhak, melalui satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai keinginan wakif. Al-Dasuqi mengungkapkan pandangan ini dalam bukunya Hasyiyah al-Dasuqi.
Dalam hal ini, wakif mengalokasikan manfaat dari hartanya untuk digunakan oleh mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf), meskipun hartanya berbentuk upah atau hasil lainnya yang dapat digunakan, seperti uang. Wakif melaksanakan wakaf dengan mengucapkan lafaz wakaf untuk jangka waktu tertentu sesuai kehendaknya.
Artinya, pemilik harta menahan benda tersebut dari penggunaan kepemilikan, namun membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan baik, yaitu memberikan manfaat secara wajar, sementara benda itu tetap menjadi milik wakif. Perwakafan ini hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu, sehingga tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf yang bersifat kekal.
Pandangan Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i mengartikan wakaf sebagai tindakan menahan suatu benda yang bermanfaat dan memiliki keberlanjutan material. Wakif memutuskan hak pengelolaan atas benda tersebut dan menyerahkannya kepada nazir.
Nazir yang menerima hak ini harus sesuai dengan ketentuan syariah. Al-Syarbini menjelaskan pandangan ini dalam bukunya Mughni al-Muhtaj.
Pandangan Mazhab Hambali
Mazhab Hambali menyederhanakan wakaf sebagai menahan asal harta (misalnya tanah) dan menyedekahkan manfaatnya. Ibnu Qudamah menjelaskan pandangan ini dalam Al-Mughni.
Saat wakif meninggal, ahli warisnya tidak dapat mewarisi harta wakaf tersebut. Wakif menyalurkan manfaat harta tersebut kepada mauquf ‘alaih sebagai sedekah yang bersifat mengikat.
Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang menjadi dasar syariat wakaf bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Salah satu ayat yang sering menjadi rujukan adalah Alquran Surah Al-Hajj ayat 77:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱرْكَعُوا۟ وَٱسْجُدُوا۟ وَٱعْبُدُوا۟ رَبَّكُمْ وَٱفْعَلُوا۟ ٱلْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”
Hadis Nabi Muhammad SAW juga menekankan pentingnya wakaf sebagai amal jariyah. Beliau bersabda:
إِذَا مَاتَ إِبْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Artinya: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari tiga sumber: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang soleh yang mendoakannya,” (HR Muslim).
Jenis-Jenis Wakaf
Wakaf terbagi menjadi dua jenis, yaitu wakaf ahli dan wakaf khairi.
1. Wakaf Ahli
Wakif menujukan wakaf ahli kepada orang-orang tertentu, seperti keluarganya. Contohnya adalah seseorang yang mewakafkan sebidang tanah kepada anak atau cucunya. Wakaf ini sah, dan hanya orang-orang yang wakif tunjuk dalam pernyataan yang berhak mengambil manfaatnya.
2. Wakaf Khairi
Wakaf khairi adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum, seperti pembangunan masjid, sekolah, atau panti asuhan. Sebagai contoh, sahabat Umar bin Khattab RA mewakafkan hasil kebunnya untuk kepentingan fakir miskin dan masyarakat umum. Wakaf ini mencakup semua aspek untuk kesejahteraan umat.
Macam-Macam Harta yang Dapat Diwakafkan
Dalam praktiknya, berbagai jenis harta dapat diwakafkan, antara lain:
1. Benda Tak Bergerak: Seperti tanah, sawah, dan bangunan. Benda-benda ini memiliki nilai jariyah yang lama dan dianjurkan untuk diwakafkan.
2. Benda Bergerak: Seperti kendaraan atau hewan ternak. Namun, benda bergerak memiliki nilai jariyah yang terbatas dan tidak lazim praktiknya secara luas.
3. Wakaf Uang/Wakaf Tunai: Beberapa mazhab, termasuk Hanafi, membolehkan wakaf uang, di mana uang tersebut bisa menjadi modal usaha dan keuntungan dari usaha tersebut disalurkan sebagai wakaf.
Istinbath dan Kedudukan Harta Wakaf
Setelah wakif melakukan ikrar wakaf kepada nazir, hak milik atas harta benda wakaf berpindah kepada Allah SWT, dengan nazir sebagai pengelolanya. Terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli fiqh mengenai status dan kedudukan harta benda wakaf:
1. Pendapat Imam Hanafi
Menurut Imam Hanafi, wakaf tidak ubahnya sebagai transaksi pinjam-meminjam. Dalam pandangan ini, harta wakaf tetap berada di tangan si wakif, sehingga wakif dapat menarik kembali harta yang telah ia wakafkan. Harta wakaf tidak lepas dari kegiatan transaksi, sehingga masih memungkinkan pengalihan haknya kepada pihak lain.
2. Pendapat Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali
Sementara itu, Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menekankan bahwa pihak lain tidak dapat memindahkan atau mewariskan harta wakaf. Dengan demikian, wakif sepenuhnya mengalokasikan manfaat dari harta wakaf untuk kepentingan yang ditentukan.
Syarat dan Rukun Wakaf
Wakaf sah apabila memenuhi syarat dan rukun yang berlaku. Rukun wakaf terdiri dari:
1. Wakif: Orang yang mewakafkan hartanya.
2. Mauquf bih: Barang atau harta yang diwakafkan.
3. Mauquf ‘alaih: Pihak yang menerima wakaf atau yang memperoleh manfaat dari wakaf.
4. Shighat: Pernyataan atau ikrar wakif untuk mewakafkan harta bendanya.
Penutup
Pengelolaan wakaf merupakan salah satu bentuk amal ibadah yang sangat mulia dalam Islam. Dengan pengelolaan yang baik, wakaf dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan untuk masyarakat. Keberadaan wakaf tidak hanya menjadi aset sosial, tetapi juga mendukung pengembangan ekonomi umat. Dengan pemahaman mendalam tentang wakaf dan penerapannya dalam berbagai mazhab, masyarakat dapat mengoptimalkan fungsi wakaf untuk memberikan manfaat.
Setiap mazhab menawarkan wawasan berbeda tentang pengelolaan dan pemanfaatan wakaf untuk kemaslahatan umat melalui berbagai pandangan dan pendekatan. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terdapat perbedaan dalam pendapat, tujuan akhir dari wakaf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan manfaat bagi sesama. Wallahua’lam.
Zatia Febrianti Siregar (Mahasiwa Prodi HKI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)