Larangan dalam Ibadah Kurban, Nomor 2 sampai 4 Wajib Dipatuhi
TATSQIF ONLINE – Idul Adha merupakan salah satu momen yang paling dinanti-nantikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Pada hari tersebut, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan ibadah qurban, yaitu menyembelih hewan ternak sebagai bentuk pengorbanan dan pengabdian kepada Allah SWT.
Pelaksanaan ibadah qurban ialah dengan menyembelih sapi, kerbau, kambing, domba, atau unta. Amalan ini termasuk sunnah mu’akkadah, terutama bagi umat Islam yang mampu. Namun, dalam melaksanakan ibadah qurban, terdapat beberapa larangan yang perlu perhatian agar pelaksanaan ibadah tersebut tetap sah dan bernilai pahala.
Larangan-larangan tersebut bertujuan untuk menjaga kesucian dan kebersihan ibadah qurban serta mencegah terjadinya kesalahan dalam pelaksanaannya. Berikut di antaranya:
1. Tidak Memotong Kuku dan Rambut Seluruh Badan bagi yang Berqurban
Bagi yang berqurban saat Idul Adha atau pada hari tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah), dilarang untuk memotong kuku dan rambut di seluruh badan, termasuk mencukur kumis dan mencabut uban. Larangan tersebut sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut:
مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
Artinya: “Siapa saja yang ingin berqurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah (1 Dzulhijjah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berkurban,” (HR Muslim).
Hadis lain yang menjadi dasar aturan ini, yaitu sebagai berikut:
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا بَشَرِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
Artinya: “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan dzulhijah) sedangkan di antara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun dari rambut dan kulitnya,” (HR Muslim).
Larangan tersebut mulai berlaku saat memasuki sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah. Itu artinya, mulai tanggal satu sampai sepuluh Dzulhijjah atau sampai hewan qurban tersebut disembelih. Hukum larangan memotong kuku dan rambut ini sifatnya sunnah.
Manfaat larangan saat Idul Adha tersebut ditujukan untuk memberikan keistimewaan, sekiranya Allah SWT berkenan untuk mengampuni orang yang melaksanakan qurban dari ujung rambut hingga ujung kukunya.
2. Tidak Menyembelih Hewan Qurban Sebelum Shalat ‘Id
Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan khutbah kepada para sahabat setelah melaksanakan shalat Idul Adha pada hari raya tersebut. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ
Artinya: “Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih qurban seperti qurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala qurban. Barangsiapa yang berqurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai qurban.”
Hadis ini menjelaskan aturan dan ketentuan mengenai pelaksanaan qurban pada hari Idul Adha. Rasulullah menegaskan bahwa agar qurban diterima dan mendapatkan pahala yang sesuai, seseorang harus melaksanakan shalat Idul Adha terlebih dahulu sebelum melakukan penyembelihan hewan qurban.
Jika seseorang menyembelih hewan qurban sebelum pelaksanaan shalat Idul Adha, maka sembelihan tersebut tidak dianggap sebagai qurban yang sah, melainkan hanya sembelihan biasa yang dilakukan sebelum waktu yang ditentukan.
Waktu penyembelihan hewan qurban mulai setelah selesai shalat Idul Adha dan berakhir pada hari keempat dari tanggal Idul Adha. Pelaksanaanya setelah shalat Idul Adha sebagai tanda mulainya waktu qurban dan sebagai bentuk penghormatan terhadap sunnah Rasulullah SAW.
3. Tidak Menyembelih Hewan Qurban dengan Cara Menyiksa
Dalam Islam, penyembelihan hewan harus mengikuti cara yang benar dan menghormati makhluk Allah. Penyembelihan hewan qurban harus menggunakan pisau yang tajam.
Penyembelihan harus terlaksana dengan cepat dan tepat agar hewan tidak merasakan kesakitan yang berkepanjangan. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW berikut ini:
عَنْ أَبِي يَعْلَى شَدَّادِ بنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلّم قَالَ: إِنَّ اللهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيءٍ. فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا اْلقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
Artinya: “Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus RA dari Rasulullah Saw. beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan perbuatan ihsan (baik) pada tiap-tiap sesuatu. Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik pula. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihnya,” (HR Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, terdapat arahan Nabi Muhammad SAW mengenai berbuat ihsan (baik) terhadap hewan qurban, di antaranya adalah menajamkan pisau dan menenangkan hewan sebelum penyembelihan. Menajamkan pisau bertujuan untuk mempermudah proses dan mengurangi rasa sakit pada hewan, sedangkan menenangkan hewan membantu proses penyembelihan berjalan dengan baik.
Tindakan menenangkan hewan termasuk dalam sunnah penyembelihan, sebagaimana terangkum dalam kitab-kitab fiqh. Hal ini mencakup membaca basmalah, shalawat, dan takbir; membaca doa:
اَللَّهُمَّ هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ يَا كَرِيْمُ
Artinya: “Ya Allah, ini dari-Mu dan untuk-Mu, maka terimalah dariku, wahai Yang Maha Mulia.”
Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban pada siang hari; menghadap kiblat; hewan dalam posisi tidur miring, bersandar pada tubuh bagian kiri, kepala mendongak; memotong pembuluh darah di kanan-kiri saluran pernafasan; mempertajam alat penyembelih; pisau tidak mengenai saraf utama (nakhâ’); tidak memutus kepala; dan mempercepat proses penyembelihan.
4. Tidak Memperjualbelikan Daging Qurban
Penjualan daging kurban cenderung haram karena perbedaan pendapat ulama. Mazhab Syafi’i dan mazhab Ahmad melarangnya karena meyakini bahwa harta yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak boleh dijual.
Namun, Imam Abu Hanifah memperbolehkannya dengan syarat hasilnya disedekahkan atau dibelikan sesuatu yang bermanfaat. Namun, kehalalan ini terbatas pada pertukaran barang, bukan uang.
Pelarangan tersebut terdapat dalam hadis berikut:
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: أُمِرْنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أُقِيْمَ عَلَى بَدَنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجِلْدِهَا وَأَجْلَتِهَا وَأَنْ لَأُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا، قَالَ: نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا
Artinya: “Dari Ali r.a. berkata, “Rasulullah saw. memerintahkanku agar aku mengurusi unta kurban beliau, menyedekahkan dagingnya, kulitnya dan penutup tubuhnya. Dan aku tidak boleh memberikan tukang sembelih sedikitpun dari hewan kurban itu. Beliau bersabda: kami akan memberikannya dari sisi kami,” (HR Muslim).
Hadis ini menceritakan bahwa Rasulullah memerintahkan untuk menyedekahkan daging, kulit, dan penutup tubuh hewan kurban. Oleh karena itu, mayoritas ulama sepakat mengharamkan penjualan daging kurban, termasuk kulit dan punuknya.
Wallahu A’lam
Oleh Suningsih (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)