Fiqh & Ushul Fiqh

Kedudukan Ijma’ dalam Hukum Islam: Relevansi dan Aplikasinya

TATSQIF ONLINE Islam memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari agama lain. Keunikan ini terlihat dari bagaimana masyarakat menunjukkan bahwa ijma’ menjadi salah satu sumber hukum yang tetap relevan sepanjang zaman dan di berbagai tempat.

Hal ini terjadi karena Islam memiliki dua karakter utama: orisinil dalam konsepsi dan kondisional dalam aplikasi. Keberadaan empat sumber hukum Islam yang muttafaq—Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas— dan mukhtalaf seperti mashlahah mursalah dan istihsan, berkontribusi besar dalam mewujudkan kedua karakter tersebut.

Ijma’ secara bahasa berarti kesepakatan tentang suatu hal. Dalam konteks ini, para mujtahid di kalangan umat Islam mencapai ijma’ sebagai kesepakatan mengenai hukum syariah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Ketika sebuah masalah hukum muncul, para ulama yang berijtihad bekerja sama untuk mencapai kesepakatan hukum. Dengan demikian, mereka menyebut kesepakatan tersebut sebagai ijma’.

Definisi ijma’ berbeda-beda menurut para ulama. Abdul Hamid Hakim dalam bukunya al-Sullam, menjelaskan ijma’ sebagai kesepakatan para imam mujtahid mengenai suatu masalah setelah masa Rasulullah SAW.

Abdul Al-Karīm Zaidān dalam al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh, mendefinisikan ijma’ sebagai kesepakatan mujtahid tentang hukum syar’i. Sementara itu, Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahidin pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW tentang hukum syar’i terkait suatu masalah.

Imam Al-Syaukani mengidentifikasi tiga unsur penting dalam ijma’:

1. Kesepakatan harus dilakukan oleh para ulama mujtahid dari kalangan umat Islam secara keseluruhan.

2. Kesepakatan ini terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

3. Kesepakatan harus berkaitan dengan hukum keagamaan.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ijma’ adalah saat semua ulama sepakat untuk menetapkan suatu hukum. Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan, jika ijma’ sudah ditetapkan, tidak ada seorang pun yang boleh menyelisihinya, karena para mujtahidin tidak sepakat dalam kesesatan.

    Ijma’ dianggap tidak sah jika:

    1. Ada pihak yang tidak setuju.

    2. Hanya terdapat satu mujtahid.

    3. Tidak ada kesepakatan yang jelas.

    4. Terdapat ketentuan yang sudah jelas dalam nash.

      Perdebatan mengenai siapa yang berhak menetapkan ijma’ juga ada. Wahbah Zuhaili menyatakan, kalangan Syi’ah berpendapat bahwa ijma’‘ hanya sah jika ditetapkan oleh para imam dan mujtahid Syi’ah, sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ yang sah adalah ijma’ dari ulama jumhur.

      Ijma’ sebagai sumber hukum Islam memiliki dasar hukum yang kuat, antara lain:

      1. Al-Qur’an

      Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 59, menegaskan pentingnya taat kepada ulil amri, sebagai berikut:

      يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ

      Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”

      Ayat ini menekankan bahwa umat Islam harus taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan pemimpin mereka. Dalam hal ini, ulil amri berperan penting sebagai representasi dari ijma’ para mujtahid dalam membuat keputusan hukum.

      Ketika umat menghadapi perbedaan pendapat, mereka perlu merujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian, ijma’ menjadi landasan yang menjaga kesatuan dan kepatuhan umat dalam menjalankan syariat.

      2. Al-Hadis

      Beberapa hadis yang menekankan pentingnya ijma’ antara lain:

      إنَّ اللَّهَ قد أجارَ أمَّتي أن تجتمِعَ علَى ضلالةٍ

      Artinya:“Sesungguhnya Allah telah melindungi umatku agar tidak berkumpul pada kesesatan,” (HR Ibnu Majah).

      مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ

      Artinya: “Apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, di sisi Allah pun dipandang baik,” (HR Ahmad).

      إذا حكَم الحاكمُ فاجتَهَد ثمَّ أصاب فله أجرانِ وإذا حكَم فاجتَهَد ثمَّ أخطأ فله أجرٌ

      Artinya: “Jika seorang hakim memutuskan perkara dengan ijtihad dan hasilnya benar, ia mendapatkan dua pahala; jika salah, ia mendapatkan satu pahala,” (HR Bukhari dan Muslim).

      Hadis-hadis ini menegaskan bahwa kesepakatan para mujtahid dalam menentukan hukum sangat berharga dan dapat membawa kebaikan.

      3. Akal Pikiran

      Ijma’ juga berlandaskan pada akal yang berpedoman pada ajaran Islam. Seorang mujtahid harus berlandaskan pada nash dalam ijtihadnya untuk mencapai kesepakatan yang kuat dan sah.

      Menurut Abdul Wahab Khallaf, terdapat empat rukun yang harus terpenuhi untuk terjadinya ijma’:

      1. Jumlah Mujtahid: Untuk mencapai ijma’, harus ada beberapa mujtahid yang terlibat. Sebaliknya, ijma’ tidak sah jika hanya satu orang yang berpendapat.

      2. Waktu: Kesepakatan harus terjadi setelah wafatnya Rasulullah SAW.

      3. Presentasi Pendapat: Harus ada presentasi pendapat dari para mujtahid sebelum mencapai kesepakatan.

      4. Keterlibatan Semua Mujtahid: Kesepakatan harus melibatkan semua mujtahid, bukan hanya sebagian kecil.

        Nasrun Haroen menambahkan bahwa ijma’ harus berlandaskan pada Al-Qur’an dan hadis.

        Ijma’ terbagi menjadi dua jenis:

        1. Ijma’ Ṣarīh

        Ijma’ ṣarīh adalah kesepakatan yang tampak secara langsung oleh para mujtahid pada suatu masa. Kesepakatan ini bisa berupa pernyataan, tulisan, atau tindakan yang jelas dari para mujtahid. Ijma’ ini memiliki kekuatan hukum yang kuat (dalil qath’i) karena disepakati secara eksplisit.

        Contoh Ijma’ Ṣarīh terlihat dalam kesepakatan para sahabat pada masa Khalifah Umar bin Khatthab. Mereka sepakat bahwa seorang pezina yang tidak memiliki pengetahuan tentang hukum zina—yaitu, pezina yang tidak menyadari bahwa zina itu haram—tidak akan dikenakan hukuman hadd.

        Hukuman hadd untuk perzinahan terdiri dari rajam bagi orang yang sudah menikah. Sedangkan, mereka yang belum menikah akan mendapat hukuman cambuk sebanyak seratus kali.

        2. Ijma’ Sukūtī

        Ijma’ sukūtī terjadi ketika salah satu mujtahid mengemukakan pendapat, dan pendapat tersebut tidak ada seorang mujtahid pun yang membantahnya. Dengan demikian, diamnya mereka menandakan persetujuan.

        Contoh ijma’ sukuti yang terkenal terjadi ketika Amirul Mukminin Umar bin Khattab menghukum peminum khamr dengan 80 kali cambukan. Umar menambah hukuman ini dari yang awalnya 40 kali cambukan, karena ia berpendapat bahwa peminum khamr juga meresahkan masyarakat. Para Sahabat tidak mengajukan keberatan terhadap keputusan ini, yang menunjukkan dukungan mereka terhadap pendapat Umar.

        Namun, perbedaan pandangan mengenai ijma’ sukūtī muncul di kalangan ulama:

        Tidak diakui sebagai ijma’: Menurut Imam Al-Syafi’i dan mayoritas ulama fikih, karena diam tidak dapat dianggap sebagai persetujuan.

        Diakui sebagai ijma’: Menurut pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal, karena diam menunjukkan kesepakatan.

        Dianggap sebagai dalil dzanni: Menurut sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah.

        Objek ijma’ mencakup kejadian atau peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis, antara lain:

        1. Peristiwa yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan hadis.

        2. Peristiwa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, tetapi memiliki penafsiran berbeda.

        3. Kejadian yang berhubungan dengan ibadah ghoiru mahdhah.

        4. Kesepakatan tentang norma dan kebijakan dalam masyarakat.

        5. Kesepakatan tentang nilai-nilai moral yang harus dijunjung.

          Ijma’ berperan sebagai sumber hukum yang sangat penting dalam Islam dan seluruh ulama mengakuinya sebagai bagian fundamental dari syariat. Oleh karena itu, memahami ijma‘ sebagai kesepakatan para mujtahid membantu kita melihat betapa pentingnya konsensus dalam menetapkan hukum yang relevan dengan konteks zaman.

          Ijma’ menunjukkan bahwa hukum Islam tidak statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat. Dalam konteks bernegara, ijma’ dapat menjadi dasar bagi lembaga legislatif untuk menetapkan peraturan yang mengikat masyarakat. Selain itu, sebagai ajaran yang komprehensif, Islam mengajarkan bahwa hukum harus adaptif dan relevan, selaras dengan prinsip salihun li kulli zaman wal makan. Wallahua’lam.

          Azhari Romadon & Ikhmal Muhammad Rasyid (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

          Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

          Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

          23 komentar pada “Kedudukan Ijma’ dalam Hukum Islam: Relevansi dan Aplikasinya

          • Mengapa ijma’ dianggap sebagai sumber hukum ketiga dalam Islam setelah Al Qur’an dan hadist?dan sebutkan apa contoh dari ijma’ tersebut!

            Balas
          • Ayu putri meha

            Faktor apa yg menentukan suatu ijma’ dapat sebagai dasar hukum

            Balas
          • Bagaimana pengambilan dalil yg di gunakan imam syafi’i dan imam abu hanifah terkait masalah ijma’ sukuti?

            Balas
          • Mutomainnah

            Apa dampak ijma’ terhadap kehidupan sosial dan hukum masyarakat Muslim?

            Balas
          • Fitri Amanah Dalimunthe

            Bagaimana proses pencapaian ijma’ dilakukan, dan apa tantangan yang dihadapi?

            Balas
          • Yulia Amanda

            Bagaimana dasar hukum ijma’ dari Al-Qur’an, Hadis, dan akal pikiran dalam pembentukan keputusan hukum?

            Balas
          • Mengingat tentang perkembangan zaman modern sekarang ini. Bagaimana ijma’ para ulama tentang kegiatan aborsi yang berkelanjutan saat ini?

            Balas
          • Fadil igabsa siregar

            Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi agar ijma dianggap sah?

            Balas
          • Vina Novi yanti siregar

            Apa dampak dari ijma terhadap penerapan hukum Islam di masyarakat modern?

            Balas
          • Basariah

            Bagaimana sejarah pembentukan ijma’ dalam tradisi hukum Islam?

            Balas
          • Rizka Amanda Pane

            Bagaimana peran ijma dalam penetapan hukum Islam pada masa sekarang?

            Balas
          • Sry dinda munthe

            Bagaimana jika ada orang mengingkari atau menolak ijma’

            Balas
          • ANISA REZA

            apakah ijma yang terbentuk di masa lampau dapat di ubah atau di tinjau ulang di masa sekarang

            Balas
          • KHAIRUL ANWAR

            Bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat ulama terkait keabsahan suatu Ijma’?

            Balas
          • yenni safitri

            Bagaimana ijma dapat mengukuhkan atau menafsirkan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis?

            Balas
          • Syamsiah

            Bagaimana kedudukan ijma’dalam sumber hukum islam? Apakah ijma’ memiliki kekuatan hukum yang sama dengan Al-Qur’an dan Hadis

            Balas
          • Coba Pemakalah Sebutkan Apa Saja Contoh Peristiwa Atau Perkara Yang Bisa Menggunakan Hukum Ijma’?

            Balas
          • Apakah ijma hanya berlaku untuk masalah fiqih atau juga bisa menjadi landasan hukum untuk masalah akidah?
            Coba jelaskan alasannya

            Balas

          Tinggalkan Balasan

          Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

          × Chat Kami Yuk