Fiqh KontemporerMuamalah

Hukum Penyitaan Harta Debitur dalam Islam: Prinsip dan Prosedur

TATSQIF ONLINE Utang-piutang adalah bagian dari muamalah yang diatur secara rinci dalam Islam. Akad utang-piutang melibatkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Namun, dalam praktiknya, tidak jarang seorang debitur gagal memenuhi kewajibannya, yang dikenal dengan istilah wanprestasi.

Hal ini dapat merugikan kreditur dan mengganggu keharmonisan dalam masyarakat. Oleh karena itu, hukum Islam memberikan mekanisme penyelesaian untuk memastikan keadilan bagi kedua belah pihak.

Salah satu mekanisme penyelesaian yang diperbolehkan dalam Islam adalah penyitaan harta debitur yang wanprestasi. Namun, pelaksanaannya tidak boleh sembarangan. Prosedur penyitaan dalam Islam harus tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan, proporsionalitas, dan kemaslahatan bersama.

Definisi dan Dasar Hukum Wanprestasi

Wanprestasi adalah keadaan di mana seorang debitur lalai atau gagal memenuhi kewajibannya sesuai perjanjian. Dalam hukum positif, hal ini dijelaskan dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Dalam Islam, kewajiban menunaikan akad sangat ditekankan sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu (janji-janji itu).” (QS. Al-Maidah: 1).

Ayat ini mengajarkan bahwa setiap perjanjian, termasuk utang-piutang, adalah amanah yang wajib dipenuhi. Rasulullah SAW juga memperingatkan bahaya menunda pembayaran utang tanpa alasan yang sah.

Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari, no. 2400, dan Muslim dalam kitab Shahih Muslim, no. 1564, Rasulullah bersabda:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

Artinya: “Orang yang menunda pembayaran utangnya padahal ia mampu adalah suatu kezaliman.”

Dari ayat dan hadis tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam memandang kelalaian dalam menunaikan utang sebagai bentuk kezaliman yang merugikan pihak lain. Oleh sebab itu, kreditur berhak menuntut haknya melalui jalur hukum.

Dasar Hukum Penyitaan dalam Islam

Penyitaan harta debitur yang wanprestasi diperbolehkan dalam Islam dengan syarat sesuai dengan syariat dan prinsip keadilan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Dan janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).

Ayat ini mengingatkan pentingnya menjaga keadilan dalam penyelesaian sengketa, termasuk dalam hal penyitaan harta. Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin menjelaskan bahwa segala tindakan yang melibatkan harta orang lain harus dilakukan dengan dasar keadilan dan kepatuhan kepada syariat.

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW mengajarkan bahwa hak milik seseorang tidak boleh diambil tanpa alasan yang sah. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan Abu Dawud, no. 3561:

مَنْ أَخَذَ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ خُصِمَ إِلَى اللَّهِ حَتَّى يُرْهِقَ مَا أَخَذَ

Artinya: “Barang siapa mengambil sesuatu yang bukan haknya, maka ia akan digugat di hadapan Allah hingga ia mengembalikannya.”

Dengan demikian, penyitaan harta hanya diperbolehkan jika debitur terbukti wanprestasi, dan pelaksanaannya harus dilakukan sesuai aturan syariat.

Prosedur Penyitaan Harta dalam Islam

Penyitaan harta debitur dalam Islam harus melalui tahapan-tahapan berikut:

1. Mediasi atau Musyawarah

Islam sangat menekankan penyelesaian sengketa melalui jalan damai. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

Artinya: “Dan perdamaian itu lebih baik.” (QS. An-Nisa: 128).

Dalam tahap ini, kreditur dan debitur dianjurkan untuk mencari kesepakatan tanpa melibatkan pihak ketiga.

2. Pengajuan Gugatan ke Pengadilan

Jika mediasi gagal, kreditur dapat membawa perkara ini ke pengadilan. Dalam hukum Islam, klaim harus didukung oleh bukti yang valid. Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab Jami’ at-Tirmidzi, no. 1261:

الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ

Artinya: “Bukti harus diajukan oleh pihak yang menuduh, sedangkan sumpah bagi yang mengingkari.”

3. Putusan Pengadilan

Hakim memeriksa bukti dan memutuskan apakah penyitaan dapat dilakukan.

4. Pelaksanaan Penyitaan

Penyitaan dilakukan oleh juru sita dengan mencatat barang-barang yang disita.

Jenis Harta yang Dapat Disita

Islam membatasi jenis harta yang dapat disita untuk menjaga keadilan. Harta yang dapat disita antara lain:

1. Harta Bergerak seperti kendaraan atau barang elektronik.

2. Harta Tidak Bergerak seperti tanah dan bangunan.

3. Saldo Rekening Bank, dengan persetujuan pengadilan.

Namun, harta yang termasuk kebutuhan pokok seperti rumah tinggal utama, alat kerja, dan pakaian sehari-hari tidak boleh disita. Prinsip ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah, no. 2340:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Artinya: “Tidak boleh ada bahaya atau membahayakan orang lain.”

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, seorang pedagang yang bangkrut diperintahkan untuk menjual hartanya guna melunasi utangnya. Namun, Umar memastikan pedagang tersebut masih memiliki kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. Kasus ini menunjukkan bahwa Islam selalu mengedepankan keadilan dalam penyelesaian sengketa utang-piutang.

Kesimpulan

Hukum Islam sangat menekankan pentingnya menepati janji dan kewajiban. Ketika terjadi wanprestasi, penyitaan harta debitur diperbolehkan untuk melindungi hak kreditur, asalkan dilakukan sesuai prinsip keadilan dan syariat.

Penyitaan harta tidak hanya memberikan solusi bagi kreditur tetapi juga mendorong debitur untuk lebih bertanggung jawab terhadap utangnya. Dengan mematuhi prosedur yang ditetapkan, penyelesaian sengketa ini dapat menjaga keharmonisan dan kemaslahatan dalam masyarakat. Wallahua’lam.

Anriansyah Pane (
Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

12 komentar pada “Hukum Penyitaan Harta Debitur dalam Islam: Prinsip dan Prosedur

  • Utami Harahap

    Apa saja syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi agar penyitaan harta debitur dianggap sah menurut syariat?

    Balas
  • Nadya futri harahap

    Artikel yang sangat bagus

    Balas
  • Siti Apriani Hasibuan

    Artikel yang Sangat bagus dan bermanfaat

    Balas
  • Ilmi Amaliah Nasution

    Apakah proses hukum penyitaan harta debitur di Indonesia saat ini sudah sesuai dengan syariat islam?

    Balas
  • Widiya Rahma

    Apakah terdapat batasan-batasan dalam Islam terkait jenis harta yang dapat disita dari debitur?

    Balas
  • Putri Ruhqhaiyyah

    Dalam situasi di mana debitur mengalami kesulitan finansial, bagaimana pendekatan hukum Islam berupaya menjaga hak-hak debitur sambil tetap menegakkan kewajiban pembayaran utang?

    Balas
  • Nia Ramayanti

    Artikelnya sangat bermanfaat sekali

    Balas
  • Yulan Agustina

    Artikel nya bagus, jelas dan mudah dipahami

    Balas
  • Nabila rispa izzzaty

    Apa saja jenis harta yang dapat disita menurut hukum Islam dan bagaimana prioritasnya?

    Balas
  • Mewa sari Ritonga

    Dalam kondisi apa saja penyitaan harta dapat dilakukan menurut hukum Islam?

    Balas
  • Misronida Harahap

    Artikel yang bermanfaat

    Balas
  • Tukmaida Sari Siregar

    Artikel nya sangat bermanfaat bagi kita para pembaca

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk