Fiqh & Ushul Fiqh

Hak Waris Khunsa dalam Islam: Ketentuan dan Pendapat Ulama

TATSQIF ONLINE  Dalam literatur fiqh Islam, khunsa adalah individu yang memiliki dua alat kelamin, yakni zakar dan faraj. Kondisi ini menjadikan khunsa sebagai kategori yang banyak diperbincangkan dalam kitab-kitab fiqh klasik karena berimplikasi pada berbagai hukum yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan hukum ini meliputi masalah menjadi imam, kesaksian, hingga kewarisan. Dalam persoalan waris, penentuan jenis kelamin menjadi krusial karena pembagian harta waris dalam Islam sangat tergantung pada identitas gender seseorang.

Ulama dalam fiqh waris menegaskan pentingnya kepastian jenis kelamin khunsa sebelum menetapkan status dan bagian warisnya. Dalam kondisi saat ini, teknologi medis modern dapat membantu memastikan jenis kelamin melalui pemeriksaan genetis dan hormonal. Namun, dalam konteks klasik, para ulama menetapkan tanda-tanda biologis sebagai dasar utama dalam penetapan jenis kelamin.

Klasifikasi Khunsa dalam Fiqih

Para ulama membagi khunsa ke dalam dua kategori utama. Pertama, khunsa ghayru musykil yaitu khunsa yang alat kelaminnya bisa diidentifikasi secara jelas sebagai laki-laki atau perempuan. Dalam hal ini, jika seseorang lebih dominan menggunakan zakar untuk buang air kecil, maka ia dikategorikan sebagai laki-laki, dan jika menggunakan faraj, maka ia dikategorikan sebagai perempuan.

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menjelaskan bahwa ada ijma (konsensus) di antara ulama terkait hal ini. Ia mengutip pernyataan Ibnu al-Munzir bahwa tanda yang dijadikan acuan adalah cara khunsa tersebut buang air kecil. Jika ia kencing melalui zakar, maka ia laki-laki, dan jika melalui faraj, maka ia perempuan. Ini merupakan pendapat yang disandarkan kepada Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Sa’id bin al-Musayyab, Jabir bin Zaid, dan ahli ilmu lainnya. Bahkan disebutkan bahwa Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah ditanya mengenai seorang anak yang memiliki dua alat kelamin, dan beliau menjawab bahwa waris ditentukan dari cara anak itu kencing. Hal ini disebutkan dalam karya Ibnu Qudamah al-Mughni jilid 9 halaman 336.

Kedua, khunsa musykil, yaitu khunsa yang tidak dapat dipastikan jenis kelaminnya dengan tanda-tanda fisik. Dalam kasus ini, jika seseorang kencing dari dua alat kelamin sekaligus, maka para ulama menyarankan untuk melihat alat mana yang pertama mengeluarkan air seni. Jika bersamaan, maka dilihat alat kelamin mana yang mengeluarkan lebih banyak. Pendapat ini dikemukakan oleh Said ibn al-Musayyab dan diikuti oleh Imam Ahmad serta jumhur ulama lainnya, sebagaimana dijelaskan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.

Implikasi dalam Pembagian Waris

Jika jenis kelamin khunsa dapat dipastikan, maka pembagian waris mengikuti hukum waris laki-laki atau perempuan. Namun, jika ia tergolong sebagai khunsa musykil, maka status warisnya ditangguhkan hingga terjadi kepastian. Bila tidak dapat dipastikan hingga wafat, maka terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menentukan bagian warisnya.

Ibnu Abbas dalam pandangan yang diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal, al-Sya’bi, Ibnu Abi Laila, al-Tsauri, serta ulama Madinah dan Makkah berpendapat bahwa khunsa musykil memperoleh setengah bagian laki-laki dan setengah bagian perempuan. Misalnya, jika sebagai laki-laki ia berhak mendapat dua bagian, dan sebagai perempuan ia mendapat satu bagian, maka bagian yang diberikan adalah satu setengah.

Berbeda dengan Abu Hanifah dan para pengikutnya yang berpendapat bahwa khunsa musykil mendapatkan bagian terkecil dari kemungkinan hak sebagai laki-laki atau perempuan. Pendapat ini menghindari kemungkinan melampaui hak waris yang seharusnya. Adapun Imam al-Syafi’i dalam pendapatnya yang diikuti oleh Abu Tsaur dan Ibnu Jarir, menyatakan bahwa bagian waris khunsa musykil maupun ahli waris lain yang terpengaruh olehnya ditangguhkan hingga ada kepastian jenis kelamin atau terjadi kesepakatan damai di antara para ahli waris. Penjelasan ini juga diuraikan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah.

Metode Pembagian: Kaidah Perhitungan Para Ulama

Para ulama yang berpendapat bahwa khunsa musykil mendapatkan setengah bagian laki-laki dan setengah bagian perempuan, juga berbeda pendapat dalam metode pembagiannya. Sebagian besar ulama Hanbali berpendapat bahwa metode pembagian dilakukan dengan menghitung bagian waris khunsa sebagai laki-laki dan sebagai perempuan secara terpisah, lalu mengambil rata-rata dari keduanya. Ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam pembahasan yang merujuk pendapat al-Isauri dan al-Lu’lui.

Sebagai contoh, jika dalam satu keluarga terdapat anak laki-laki, perempuan, dan seorang khunsa musykil, maka saham waris diberikan sebagai berikut: perempuan mendapatkan dua saham, khunsa tiga saham, dan laki-laki empat saham. Rasio ini dirancang untuk menyesuaikan dengan ketidakpastian jenis kelamin khunsa tanpa mengabaikan prinsip keadilan waris.

Penundaan Warisan dan Solusi Fiqih

Dalam kasus khunsa musykil yang belum mencapai usia dewasa atau belum diketahui kepastian jenis kelaminnya, para ulama menyarankan agar pembagian warisan ditangguhkan. Dalam masa penundaan ini, jika ada klaim dari khunsa atau ahli waris lain, maka diberikan bagian terkecil dari dua kemungkinan. Adapun sisa harta ditahan sementara hingga terjadi kepastian atau penyelesaian melalui jalan damai. Hal ini sebagaimana analogi yang diberikan dalam fiqh waris terhadap orang mafqud (orang hilang), di mana hak warisnya ditangguhkan sambil menunggu berita kematiannya.

Penutup

Kajian tentang khunsa dalam fiqh mawaris menunjukkan betapa kompleks dan fleksibelnya hukum Islam dalam merespons kasus-kasus unik yang memerlukan ketelitian dan kehati-hatian. Para ulama klasik dengan pendekatan ijtihad dan analogi telah memberikan fondasi hukum yang dapat terus dikembangkan sesuai perkembangan ilmu kedokteran dan kebutuhan sosial.

Dalam konteks kontemporer, upaya untuk memastikan status biologis khunsa dengan bantuan medis harus tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip syariah serta nilai keadilan dan kehati-hatian dalam pembagian waris. Kajian ini menegaskan pentingnya integrasi antara pengetahuan fiqh dan sains untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang terus berkembang. Wallahua’lam.

Abdul Rahman Tambak (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

3 komentar pada “Hak Waris Khunsa dalam Islam: Ketentuan dan Pendapat Ulama

  • Indah Nur Fitri Ritonga

    Coba berikan contoh kasus mengenai pembagian Waris Khunsa dalam Islam

    Balas
  • Mengapa penting memahami status khunsa dalam pembagian waris, dan apa dampaknya terhadap ahli waris lainnya jika salah dalam menentukan status khunsa?

    Balas
  • Mengapa penting memahami status khunsa dlm pembagian waris, kemudian apa dampaknya kepada ahli waris lainnya jika salah dlm menentukan status khunsa?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk