Nikmati Kemudahan Menemukan RPS dan Dokumen-dokumen Penting Lainnya

Kebijakan Poligami dalam Islam: Kajian Hadis dan Pendapat Ulama

DOKUMEN TATSQIF – Melansir dari Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis 4, poligami adalah masalah sosial klasik yang terus dibahas hingga kini. Ada tiga pandangan utama mengenai poligami: pertama, membolehkan secara mutlak; kedua, melarang secara mutlak; dan ketiga, membolehkan dengan syarat tertentu.

Semua pandangan ini berdasarkan pada QS. An-Nisa’ ayat 3 dan beberapa hadis Nabi Muhammad SAW. Perbedaan terjadi karena perbedaan cara memahami hadis-hadis tersebut, yang tampak kontradiktif antara yang membolehkan dan yang melarang.

Hadis Tentang Poligami

Istilah poligami dalam literatur ulama disebut ‘ta’addud al-zaujāt’. Kedua istilah ini tidak populer di kalangan masyarakat Muslim awal karena tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun hadis, meskipun praktiknya sudah dikenal saat itu.

Hadis-hadis Nabi yang berbicara mengenai poligami cukup banyak, namun secara lahiriah tampak kontradiktif. Sebagian riwayat membolehkan poligami, sementara yang lain melarangnya.

a. Hadis yang membolehkan poligami:

Pertama, versi Ghailan bin Salamah, “Hannād telah meriwayatkan hadis kepada kami, ia berkata: ‘Abdah telah meriwayatkan hadis kepada kami dari Sa‘īd bin Abī ‘Arūbah, dari Ma’mar, dari al-Zuhrī, dari Sālim ibn ‘Abdullah, dari Ibn ‘Umar. Sesungguhnya Ghailān ibn Salamah al-Tsaqafī telah masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri pada zaman jahiliyah. Mereka pun masuk Islam bersamanya, lalu Nabi Muhammad saw. menyuruhnya untuk memilih empat orang saja di antara mereka,” (HR At-Tirmidzi).

Kedua, versi Qais bin al-Harits, “Ahmad ibn Ibrahim al-Dauraqī telah meriwayatkan hadis kepada kami, ia berkata: Husyaim telah meriwayatkan hadis kepada kami dari Ibn Abī Laylā, dari Ḥumaydhah bint al-Syamardal, dari Qais ibn al-Ḥārits. Ia berkata: aku telah masuk Islam dan aku memiliki delapan istri. Lalu, aku mendatangi Nabi Muhammad saw. dan menyampaikan perihal itu, Nabi pun menjawab, pilihlah empat orang saja di antara mereka,” (HR Ibnu Majah).

b. Hadis yang melarang poligami

“Qutaibah meriwayatkan hadis kepada kami, al-Laits meriwayatkan hadis kepada kami dari Ibn Abī Mulaikah, dari al-Miswar ibn Makhramah. Ia berkata: ‘aku mendengar Rasulullah saw. bersabda di atas mimbar: “Sesungguhnya beberapa keluarga Bani Hisyam ibn al-Mughirah meminta izin untuk menikahkan putri mereka dengan ‘Ali ibn Abi Thalib, maka aku tak akan mengizinkan, sekali lagi aku tak akan mengizinkan, sungguh aku tak akan mengizinkan, kecuali kalau ‘Ali mau menceraikan putriku, lalu menikahi putri mereka. Putriku itu adalah bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya berarti mengganggu perasaanku juga, apa yang menyakiti hatinya berarti menyakiti hatiku pula,'” (HR Bukhari).

Pandangan Al-Ghazali Terhadap Praktik Poligami

Menurut Syekh al-Ghazali, al-Qur’an adalah sumber utama, sehingga memahami hadis harus berpedoman pada al-Qur’an. Dalam kasus poligami, Syekh al-Ghazali menekankan pentingnya mengacu pada QS. An-Nisa’ ayat 3. Ayat tersebut membolehkan poligami dengan syarat yang sangat ketat, terutama keadilan, serta syarat-syarat lain yang juga disebutkan dalam hadis Nabi SAW.

Secara lahiriah, kedua versi hadis di atas tampak saling bertentangan. Satu versi membolehkan praktik poligami, sedangkan versi lainnya melarang. Pada hadis yang membolehkan poligami terdapat dua versi, yaitu yang diriwayatkan Ibn ‘Umar dan yang diriwayatkan Qais ibn al-Harits.

Hadis-hadis tersebut sejatinya tidaklah kontradiktif jika dipahami dalam konteks al-Qur’an. Oleh karena itu, untuk memahami poligami dalam Islam, harus berpedoman pada syarat-syarat ketat yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW.

Dalam riwayat Ibn ‘Umar, Ghailan ibn Maslamah adalah pelaku praktik poligami. Sementara itu, dalam riwayat Qais ibn al-Harits, Qais sendiri adalah subjeknya. Kedua riwayat tersebut membahas seseorang yang memiliki banyak istri pada masa jahiliyah, dan setelah masuk Islam, mereka diperintahkan menceraikan istri-istri mereka kecuali empat orang saja. Ini menunjukkan bahwa poligami dibolehkan dengan maksimal empat orang istri.

Berkenaan dengan istri-istri yang boleh dipilih, ulama berbeda pendapat. Al-Jawari, Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa boleh memilih empat orang istri mana saja yang diinginkan. Sedangkan Abu Hanifah, Ibrahim al-Nakha’i, dan Sufyan al-Tsauri berpendapat bahwa empat istri yang boleh dipilih adalah yang dinikahi pertama kali.

Menurut Ibn Hammam, pendapat pertama lebih kuat dan disepakati oleh mayoritas ulama. Kisah Ghailan ibn Maslamah dan Qais ibn al-Harits menunjukkan bahwa sebelum Islam, memiliki banyak istri adalah hal yang lumrah. Sejarah juga mencatat bahwa agama-agama sebelum Islam telah mempraktikkan poligami. Dalam Perjanjian Lama, Raja Sulaiman memiliki 700 istri dan 300 gundik, dan dalam Perjanjian Baru juga tidak ada larangan poligami. Larangan poligami dalam agama lain didasarkan pada undang-undang gereja, bukan ajaran agama itu sendiri.

Al-Ghazali menegaskan bahwa kebolehan berpoligami dalam Islam tidak menyimpang dari ketentuan agama-agama terdahulu, dan Islam datang untuk mengatur praktik poligami yang sebelumnya bebas. Ia mengecam pandangan yang memojokkan Islam sebagai penyebab masalah poligami dan mengkritik praktik poligami tanpa mempertimbangkan syarat keadilan.

Menurutnya, hadis-hadis yang membolehkan poligami harus dipahami sesuai dengan QS. Al-Nisa’ ayat 3, yang membolehkan poligami dengan syarat adil. Quraish Shihab juga menegaskan bahwa ayat ini membolehkan poligami maksimal empat istri dengan syarat keadilan.

Al-Ghazali menekankan bahwa poligami lebih baik daripada hubungan bebas dengan banyak perempuan tanpa tanggung jawab. Hadis yang melarang poligami, seperti yang melibatkan Ali ibn Abi Thalib, menunjukkan bahwa larangan tersebut terkait ketidakrelaan istri pertama, bukan larangan poligami secara mutlak.

Hal ini dikuatkan dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda:

وَإِنِّي لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلَالًا، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ أَبَدًا

Artinya: “Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal, tapi demi Allah, tidak akan bersatu putri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan putri dari musuh Allah dalam satu tempat, selama-lamanya.“

Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam sangat mempertimbangkan perasaan dan kenyamanan putrinya, Fatimah, dalam masalah pernikahan. Meskipun poligami diperbolehkan, Nabi menolak permintaan tersebut karena dampak emosional dan psikologis yang mungkin akan dialami oleh Fatimah.

Hadis ini juga menunjukkan bahwa kebolehan berpoligami harus dipertimbangkan dengan bijak dan tidak semata-mata karena mengikuti aturan halal-haram tanpa melihat implikasi yang lebih luas terhadap kesejahteraan keluarga.

Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai materi ini, silahkan klik download.

DOWNLOAD

16 komentar pada “Kebijakan Poligami dalam Islam: Kajian Hadis dan Pendapat Ulama

  • Nur Kholilah

    bagaimana jika si istri tidak menyetujui suami berpoligami tetapi si suami tetap melakukan nya.apakah poligami tersebut sah.

    Balas
  • Khoirul aris

    Apa saja syarat sah nya nikah poligami menurut Islam.?

    Balas
  • LATIPA HANUM SITOMPUL

    bagai mana seorang suami yg minta izin pada istirinya supaya di poligami stelah isrinya ngizini suaminganya di poli gami suaminya tidak memperdulikan istrinya ini bahkan mereka pisah rumah bagai mana hukum nya mereka tidak ada mengatakan pisah atau talak gitu bagai mana pendapat saudara terumakasih

    Balas
    • Adian halomoan aritonang

      Hukum bagi suaminya haram, karna di syarat nya saja harus berlaku adil tapi suaminya tidak adil maka tidak sah baginya untuk melakukan poligami.

      Balas
  • Yuyun damai atarinanta rambe

    Kan se orang yang poligami harus adil pas seseorang itu poligami ternyatadia tidak adil bagai mana menurut saudara

    Balas
  • Arizul Perdana

    Bagaimana menurut pemateri hikmah disyariatkannya berpoligami, seperti yg kita ketahui jika seorang itu berpoligami bukankah istrinya tersebut merasa di duakan?

    Balas
  • Latifah Siregar

    Bagaimana pendapat para ulama terkemuka tentang praktik poligami dalam konteks zaman sekarang?
    Apakah poligami masih relevan ataukah sudah tidak sesuai dengan nilai nilai sosial yang berlaku

    Balas
  • LATIPA HANUM SITOMPUL

    bagai mana seorang suami yg minta izin pada istirinya supaya di poligami stelah isrinya ngizini suaminganya di poli gami suaminya tidak memperdulikan istrinya ini bahkan mereka pisah rumah bagai mana hukum nya mereka tidak ada mengatakan pisah atau talak gitu bagai mana pendapat saudara terterumakasimakasih

    Balas
  • Ratih ponimah HRP

    Bagaimana pandangan hukum islam mengenai istri yang ber poliandri ,apakah itu butuh persetujuan suami atau tidak coba pemakalah berikan penjelasan mengenai kasus tersebut

    Balas
  • Hikmah Anisa siregar

    Bagaimana Islam memandang poligami pernikahan dengan lebih dari satu istri?

    Balas
  • Fadli Samsuri Nasution

    apakah bisa melakukan poligami antar negara?, jika iya, bagaimana seharusnya suami menyikapi hal tersebut agar tetap menjaga asas keadilan dalam berpoligami?

    Balas
  • Putri Maya Sari Tanjung

    Bagaimana perubahan sosial dan budaya mempengaruhi praktik poligami di masyarakat modern?

    Balas
  • Eka Alisyah Hasibuan

    Artikelnya bagus dan mudah dipahami

    Balas
  • Winda Aprina Sari Manullang

    Menurut penulis bagaimana hukum tentang poligami di beberapa negara?

    Balas
  • Intan aprina

    Apakah jika s suami berpoligami tanpa izin istri apakah bisa dipidanakan???

    Balas
  • Masniarihasibuan

    Apakah berdosa,jika sang istri menolak poligami,sekalipun suami akan bersipat adil

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Oops Berkontribusi Yuk

Berkontribusi Bersama Tatsqif: Menyelami Ilmu, Berkarya, dan Membentuk Kebermaknaan Bersama

Salam sahabat Tatsqif!

 

Send Us A Message

× Chat Kami Yuk