DOKUMEN TATSQIF – Dalam hukum Islam, bayi yang belum lahir dapat memperoleh warisan jika memenuhi dua syarat utama: bayi tersebut harus berada dalam kandungan pada saat pewaris meninggal dunia dan harus lahir hidup setidaknya selama beberapa menit. Para ulama memiliki pandangan yang berbeda tentang batas kehamilan maksimal dan minimal untuk menentukan hak waris.
Batas Kehamilan Maksimal:
– Malikiyyah: Batas maksimal kehamilan adalah lima tahun.
– Syafi’iyyah dan Hanabilah: Empat tahun.
– Hanafiyyah: Dua tahun.
– Zahiriyah: Sembilan bulan.
– Muhammad bin Abdul Hakam: Satu tahun (354 hari kalender Qamariyyah).
Pendapat yang paling moderat, yaitu satu tahun Syamsiyah (365 hari), dianggap lebih sesuai karena memperhitungkan keterlambatan dalam kehamilan yang kadang terjadi. Jika seorang wanita melahirkan lebih dari setahun setelah kematian suaminya, anak tersebut tidak dianggap sebagai ahli waris dari almarhum.
Batas Kehamilan Minimal:
Para ulama sepakat bahwa batas minimal kehamilan hingga kelahiran hidup adalah enam bulan, didasarkan pada Surah Al-Ahqaf ayat 15 dan Surah Luqman ayat 14, yang menunjukkan bahwa masa antara kehamilan dan penyapihan adalah tiga puluh bulan, dan masa penyusuan adalah dua tahun (24 bulan).
Status Bayi dalam Kandungan sebagai Ahli Waris:
Jika seorang anak lahir mati tanpa ada tindak pidana terhadap ibunya, anak tersebut tidak mewarisi harta. Namun, jika anak lahir mati akibat kejahatan terhadap ibunya, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama:
– Abu Hanifah: Anak mewarisi denda dari pelaku.
– Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, dan Malik: Anak tidak mewarisi denda.
Pembagian Warisan dengan Adanya Janin:
Terdapat dua metode dalam pembagian warisan jika ada janin:
1. Menunggu kelahiran: Harta warisan dibagi setelah kelahiran bayi sehingga statusnya dapat dipastikan.
2. Pembagian segera: Harta warisan dibagi sebelum kelahiran berdasarkan estimasi kemungkinan jenis kelamin dan status bayi.
Jika janin bukan ahli waris, seperti anak dari ayah tiri, warisan dibagikan langsung kepada ahli waris yang ada. Sebagai contoh, jika pewaris meninggal dan meninggalkan istri, ibu yang sedang hamil dari ayah tiri, dan ayah kandung yang telah bercerai dari ibu, pembagiannya adalah:
– Istri: Mendapat 1/4.
– Ibu: Mendapat 1/3.
– Ayah: Mendapat 1/6 sekaligus sisa sebagai ‘ashabah.
Sementara, saudara seibu yang masih berupa janin dalam kandungan, mahjub oleh kehadiran ayah kandung pewaris.
Dengan warisan senilai Rp. 48.000,000 pembagian sebagai berikut:
– Istri: 1/4 dari 12 = 3 bagian = Rp. 12.000,000.
– Ibu: 1/3 dari 12 = 4 bagian = Rp. 16.000,000.
– Ayah: Sisa setelah bagian istri dan ibu = 5 bagian = Rp. 20.000,000.
Dalam skenario ini, kehadiran janin tidak mengubah pembagian karena janin dari ayah tiri tidak dianggap sebagai ahli waris. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai materi ini, silahkan klik download.
5 komentar pada “Hak Waris Bayi dalam Kandungan Menurut Hukum Islam, Simak”
Di karenakan saya kurang faham untuk bagian contoh pembagian waris diatas, Coba jelaskan kembali dengan rinci untuk contoh pembagian warisan yang diatas!
bagaimana hak waris pada bayi yang sudah lahir tetapi bayi nya hilang? coba jelaskan!
Jika seorang wanita hamil menikah lagi,(suaminya sudah meninggal) apakah anaknya yang masih dalam kandungan berhak mendapatkan warisan dari keluarga ayah kandungnya dan ayah tirinya?
bagaimana perlakuan hukum waris bagi bayi dalam kandungan jika terjadi perselisihan di antara ahli waris?
Artikelnya bagus sekali