Dinamika Hukum Al-Qur’an: Naskh dan Hukum Sebelum Wahyu
TATSQIF ONLINE – Al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pedoman bagi seluruh umat Islam. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya berisi ajaran tauhid, tetapi juga hukum-hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Salah satu aspek penting dalam studi Ulumul Qur’an adalah pemahaman tentang ayat-ayat yang hukumnya lebih awal daripada turunnya dan ayat-ayat yang hukumnya lebih akhir daripada turunnya (naskh).
Dalam kajian ini, kita akan membahas bagaimana beberapa ayat dalam Al-Qur’an sebenarnya mengandung hukum yang sudah berlaku sebelum wahyu diturunkan, serta bagaimana beberapa hukum yang awalnya berlaku kemudian diubah atau diperbarui oleh wahyu yang datang setelahnya. Kajian ini penting untuk memahami bagaimana Al-Qur’an diturunkan secara bertahap sesuai dengan kondisi dan kebutuhan umat pada masa itu.
Ayat yang Hukumnya Lebih Awal daripada Turunnya
Dalam beberapa kasus, ayat yang diturunkan sebenarnya hanya menegaskan hukum yang sudah berlaku sebelum wahyu itu sendiri. Artinya, aturan tersebut sudah ada dalam praktik umat terdahulu atau dalam ajaran agama-agama sebelumnya, dan Al-Qur’an hanya mengukuhkannya sebagai bagian dari syariat Islam.
Salah satu contoh yang sering dibahas oleh para ulama adalah mengenai hukum kehalalan dan keharaman makanan. Islam tidak datang dengan aturan yang sepenuhnya baru, tetapi melanjutkan prinsip-prinsip dasar yang telah ada dalam ajaran sebelumnya.
Allah berfirman dalam Surah Al-Ma’idah ayat 88:
وَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْٓ اَنْتُمْ بِهٖ مُؤْمِنُوْنَ
Artinya: “Dan makanlah dari apa yang diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal lagi baik. Dan bertakwalah kepada Allah, yang kepada-Nya kamu beriman.”
Ayat ini menegaskan pentingnya mengonsumsi makanan yang halal dan baik, sebuah prinsip yang telah diajarkan dalam syariat sebelumnya, seperti dalam hukum Taurat dan Injil. Dengan demikian, meskipun ayat ini baru diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, hukum yang dikandungnya sudah berlaku dalam kehidupan umat terdahulu.
Contoh lain dari hukum yang sudah berlaku sebelum ayatnya diturunkan adalah kewajiban shalat. Sebelum perintah shalat lima waktu ditetapkan dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, umat Islam sudah mengenal konsep shalat meskipun belum dalam bentuk yang sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, hukum Islam bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru, tetapi merupakan kelanjutan dari ajaran sebelumnya yang disempurnakan dalam Islam.
Ayat yang Hukumnya Lebih Akhir daripada Turunnya (Naskh)
Dalam studi Ulumul Qur’an, naskh adalah salah satu konsep penting yang menunjukkan bahwa beberapa hukum dalam Al-Qur’an mengalami perubahan atau penghapusan melalui wahyu yang lebih baru. Hal ini terjadi karena Islam diturunkan secara bertahap sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat pada saat itu.
Allah menegaskan dalam firman-Nya dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 106:
مَا نَنۡسَخۡ مِنۡ اٰيَةٍ اَوۡ نُنۡسِهَا نَاۡتِ بِخَيۡرٍ مِّنۡهَآ اَوۡ مِثۡلِهَا ؕ اَلَمۡ تَعۡلَمۡ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَىۡءٍ قَدِيۡرٌ
Artinya: “Dan apabila Kami menghapuskan suatu ayat atau Kami datangkan ayat yang lebih baik daripadanya, tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah dapat menggantikan suatu hukum dengan hukum lain yang lebih baik atau lebih sesuai dengan kondisi umat.
Contoh Kasus Naskh dalam Al-Qur’an
1. Perubahan Hukum Puasa
Salah satu contoh naskh yang paling terkenal dalam Al-Qur’an adalah mengenai kewajiban puasa. Pada awalnya, puasa Ramadhan hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu, sementara yang tidak mampu cukup mengganti dengan fidyah (memberi makan orang miskin). Namun, kemudian aturan ini diubah dengan turunnya ayat baru yang mewajibkan puasa bagi semua orang yang mampu.
Dalil awal tentang puasa dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 184:
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari lain. Dan bagi orang yang mampu menjalankannya (tetapi tidak berpuasa), wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.”
Kemudian, ayat ini di-mansukh dengan hukum yang lebih tegas dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa.”
Dengan turunnya ayat ini, puasa menjadi kewajiban bagi semua orang yang mampu, tanpa opsi membayar fidyah bagi mereka yang masih memiliki kemampuan untuk berpuasa.
2. Perubahan Hukum Mengenai Warisan
Awalnya, hukum warisan mengikuti tradisi masyarakat Arab di mana hanya laki-laki yang berhak menerima warisan. Namun, setelah Islam datang, Allah menurunkan hukum baru yang memberikan hak waris kepada perempuan, sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa’ ayat 11:
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْۗ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ
Artinya: “Allah menetapkan bagi kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”
Dengan ayat ini, sistem warisan berubah menjadi lebih adil dan mengakomodasi hak perempuan, berbeda dengan tradisi sebelumnya.
Kesimpulan
Konsep hukum yang lebih awal daripada turunnya ayat dan hukum yang lebih akhir daripada turunnya menunjukkan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada saat itu. Hal ini menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan relevan dalam setiap zaman, namun tetap berlandaskan pada tujuan utama, yaitu menciptakan keadilan dan kemaslahatan bagi umat manusia.
Dengan memahami konsep ini, kita dapat lebih bijak dalam memahami hukum Islam serta bagaimana wahyu Allah bekerja dalam membimbing hamba-Nya menuju jalan yang benar. Wallahua’lam.
Salwa Ilola Hasibuan (Mahasiswa Prodi PGMI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Apa hikmah dari adanya nasikh mansukh dalam Alquran bagi umat Islam?
Bagaimana para ulama dan cendekiawan islam memandang konsep naskh dan bagaimana mereka menerapkan nya dalam Hukum islam ?
Apa yang dimaksud dengan naskh dalam konteks hukum al quran
Mengapa hukum warisan itu ditetapkan berbeda beda antara laki laki dan perempuan?
Bagaimana naskh dan hukum sebelum wahyu mempengaruhi pemahaman dan pelaksanaan hukum Islam secara keseluruhan?
Bagaimana konsep naskh dalam Al-Qur’an dijelaskan oleh para ulama tafsir?
bagaimana ayat yang hukumnya lebih awal dari pada turunnya dapat dipahami dalam konteks Al Qur?
Bagaimana cara memastikan bahwa ayat ayat al qur an yang di analisis benar benar di turun kan sebelum hukum nya?