Dampak Emosional dan Sosial ‘Married by Accident’ dalam Islam
TATSQIF ONLINE – Fenomena Married by Accident (MBA) atau pernikahan yang terjadi karena kehamilan di luar nikah semakin marak di berbagai kalangan masyarakat. Fenomena ini melibatkan pasangan yang harus menikah karena alasan menjaga nama baik atau menutup aib keluarga akibat kehamilan yang tidak terencana.
Pada masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai agama dan adat, MBA sering dianggap sebagai pelanggaran norma yang menimbulkan stigma negatif bagi pasangan yang terlibat. Dampak MBA tidak hanya dirasakan oleh pasangan, tetapi juga oleh keluarga besar, serta anak-anak yang mungkin lahir dari pernikahan tersebut. Mereka sering kali dihadapkan pada tekanan emosional dan sosial yang kompleks, yang bisa berdampak jangka panjang pada kesejahteraan mental dan kualitas hubungan.
Dalam perspektif Islam, hubungan di luar nikah dan MBA dipandang bertentangan dengan ajaran agama. Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga kesucian dan kehormatan dalam hubungan antarpria dan wanita, serta memperingatkan dampak negatif dari hubungan yang melampaui batas.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Isra ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.
Ayat ini memberikan larangan yang jelas untuk mendekati zina, karena perbuatan tersebut membawa kehancuran moral dan sosial. Artikel ini akan membahas dampak emosional dan sosial yang dialami pasangan MBA, serta bagaimana mereka dapat menghadapi kondisi ini dengan dukungan keluarga dan masyarakat yang lebih inklusif.
Definisi Married by Accident (MBA)
Married by Accident adalah pernikahan yang dilangsungkan akibat kehamilan yang terjadi di luar ikatan pernikahan. Biasanya, pernikahan ini dilakukan atas desakan keluarga untuk menjaga nama baik atau menghindari aib sosial. Dalam pandangan Islam, kehamilan di luar nikah merupakan pelanggaran besar terhadap nilai-nilai agama, dan pernikahan yang dilaksanakan karena MBA sering kali tidak didasari oleh kesiapan emosional maupun mental dari pasangan. Akibatnya, mereka harus menghadapi konsekuensi emosional dan sosial yang bisa berdampak pada kehidupan pernikahan mereka di masa depan.
Kurangnya pemahaman tentang pentingnya menjaga diri dari perbuatan yang diharamkan menjadi salah satu faktor utama terjadinya MBA. Dalam Islam, setiap individu diwajibkan untuk menjaga batas-batas yang telah ditentukan dalam pergaulan. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Artinya: “Sesungguhnya di antara ajaran yang telah dikenal manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka perbuatlah sesukamu,’” (HR Bukhari).
Hadis ini menunjukkan pentingnya menjaga rasa malu dan kehormatan dalam menjaga perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam.
Dampak Emosional Married by Accident (MBA)
1. Perasaan Malu dan Bersalah
Perasaan malu dan bersalah sering kali menjadi dampak emosional yang dominan bagi pasangan yang menikah karena MBA. Mereka merasa telah melanggar norma agama dan sosial, yang memengaruhi harga diri mereka di mata keluarga dan masyarakat. Kondisi ini membawa beban psikologis yang mendalam dan mempersulit pasangan untuk menerima situasi yang mereka alami. Hal ini sejalan dengan nilai dalam Islam yang mendorong setiap Muslim untuk menjauhi perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
2. Stres dan Depresi
Tekanan sosial, tuntutan keluarga, serta pandangan negatif dari masyarakat terhadap pernikahan MBA sering menyebabkan pasangan mengalami stres berkepanjangan. Mereka harus menghadapi komentar dan stigma sosial yang negatif, serta peran sebagai pasangan suami-istri yang mungkin belum mereka siapkan secara mental. Jika tidak mendapatkan dukungan emosional yang cukup, kondisi ini dapat berkembang menjadi depresi. Depresi pada pasangan MBA tidak hanya memengaruhi kesehatan mental mereka tetapi juga kualitas hubungan pernikahan yang sedang mereka bangun.
3. Ketidakstabilan Emosi dan Ketegangan dalam Hubungan
Ketidakstabilan emosi juga menjadi dampak yang sering dialami oleh pasangan MBA. Ketidakpastian masa depan dan tanggung jawab yang datang tiba-tiba menimbulkan kecemasan yang bisa menyebabkan perubahan suasana hati drastis, seperti mudah marah, sedih berlebihan, atau putus asa. Kondisi ini dapat memperburuk hubungan mereka, bahkan menyebabkan ketegangan yang berisiko pada keutuhan pernikahan.
4. Rasa Tidak Percaya Diri dan Pengucilan Sosial
Rasa rendah diri sering kali timbul akibat pandangan masyarakat yang cenderung memandang rendah pasangan MBA. Pengucilan sosial ini membuat mereka merasa tidak diterima di lingkungannya, sehingga mereka lebih sering menarik diri dari pergaulan dan mengalami isolasi sosial. Pengucilan ini berpengaruh pada kesejahteraan psikologis mereka, yang pada akhirnya dapat mengganggu proses adaptasi dalam kehidupan pernikahan.
Dampak Sosial Married by Accident (MBA)
1. Stigma dan Pandangan Negatif Masyarakat
Masyarakat sering kali melihat pernikahan MBA sebagai sesuatu yang memalukan, terutama di lingkungan yang menjunjung tinggi nilai agama dan adat. Stigma ini membuat pasangan MBA merasa teralienasi dan sulit untuk diterima di lingkungannya. Mereka kerap dianggap sebagai pasangan yang menikah “terpaksa” dan tidak didasari oleh cinta yang tulus, sehingga sulit bagi mereka untuk berbaur dengan pasangan lain.
2. Isolasi dan Pengucilan Sosial
Pengucilan sosial adalah salah satu dampak signifikan yang dialami pasangan MBA. Bahkan, keluarga besar kadang merasa malu atau kecewa dengan kondisi ini, sehingga tidak mendukung pasangan MBA secara penuh. Isolasi ini menyebabkan mereka kehilangan dukungan yang seharusnya membantu mereka mengatasi masa-masa sulit dalam pernikahan mereka, yang seharusnya bisa dihindari jika mereka mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat.
3. Kesulitan Berintegrasi dalam Masyarakat
Label sebagai pasangan MBA membuat mereka kesulitan untuk berintegrasi dengan masyarakat, terutama dalam acara sosial atau keagamaan. Perasaan rendah diri dan ketidaknyamanan menghadiri acara sosial memperburuk kondisi mereka, sehingga mereka merasa terasing dari lingkungan sekitar.
4. Tekanan untuk Menyesuaikan Diri dengan Norma
Pasangan MBA sering kali merasa ditekan untuk memenuhi harapan masyarakat akan pasangan suami-istri ideal. Mereka sering dituntut untuk menunjukkan sikap yang dianggap “sempurna” dalam menjalankan kehidupan rumah tangga. Tuntutan ini membuat mereka merasa terpaksa memenuhi ekspektasi yang sulit dicapai, apalagi dengan latar belakang pernikahan yang terburu-buru.
5. Pengaruh pada Kehidupan Anak di Masa Depan
Anak yang lahir dari pernikahan MBA juga berisiko mengalami dampak sosial negatif di masa depan. Stigma yang melekat pada orang tua bisa menimbulkan pandangan negatif dari masyarakat terhadap anak tersebut. Ini berpotensi mengganggu perkembangan sosial anak, karena mereka mungkin merasa tidak diterima oleh lingkungan sekitar.
Pentingnya Dukungan Keluarga dan Konseling
Dalam menghadapi dampak emosional dan sosial dari MBA, peran keluarga sangat penting. Dukungan keluarga dapat mengurangi beban mental dan memberikan rasa nyaman bagi pasangan. Selain itu, konseling dan pendampingan dari tokoh agama juga dapat membantu mereka memperbaiki hubungan serta mempersiapkan diri menghadapi tantangan rumah tangga.
Dalam Islam, saling mendukung antaranggota keluarga adalah bagian dari akhlak yang dianjurkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
ٱلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَٱلْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
Artinya: “Seorang mukmin bagi mukmin lainnya ibarat bangunan yang saling menguatkan satu sama lain,” (HR Bukhari dan Muslim).
Kesimpulan
Fenomena MBA membawa dampak emosional dan sosial yang signifikan bagi pasangan yang terlibat. Mereka dihadapkan pada stigma sosial, tekanan keluarga, dan ketidakstabilan emosi yang dapat mengganggu kualitas hubungan mereka.
Dalam menghadapi kondisi ini, dukungan keluarga, konseling, serta pendekatan yang bijaksana dari masyarakat sangat diperlukan agar pasangan MBA dapat menjalani kehidupan yang lebih harmonis. Islam menganjurkan kasih sayang dan dukungan terhadap sesama, sehingga pasangan MBA dapat diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri dan menjaga keharmonisan keluarga tanpa merasa terasing atau terdiskriminasi. Wallahua’lam.
Astari Anggaraini (Mahasiwa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) dan Darania Anisa (Dosen Pengampu Mata Kuliah Masa’ilul Fiqhiyyah