Ashabul Furudh: Ahli Waris dengan Bagian Tetap dalam Islam
TATSQIF ONLINE – Hukum waris Islam merupakan salah satu cabang ilmu fikih yang memiliki aturan yang jelas dan terperinci. Dalam pembagian warisan, Islam menetapkan kategori ahli waris dengan bagian yang sudah ditentukan secara pasti, yang dikenal dengan istilah Ashabul Furudh.
Memahami Ashabul Furudh sangat penting agar pembagian warisan sesuai dengan syariat dan terhindar dari perselisihan. Al-Qur’an dan hadis telah mengatur bagian warisan secara eksplisit, menjadikannya sebagai pedoman utama dalam hukum waris Islam. Oleh karena itu, kajian ini akan mengupas secara mendalam konsep Ashabul Furudh, beserta dalil-dalil dan penerapannya dalam pembagian warisan.
Pengertian Ashabul Furudh
Secara bahasa, ashhab berasal dari kata sahib, yang berarti pemilik atau orang yang memiliki sesuatu. Sedangkan furudh adalah bentuk jamak dari fardh, yang berarti bagian yang ditetapkan atau ketentuan yang pasti.
Dalam istilah fikih, Ashabul Furudh adalah ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu dari warisan yang telah ditetapkan secara syariat dalam Al-Qur’an dan hadis. Mereka mendapatkan prioritas utama dalam pembagian harta peninggalan sebelum warisan dibagikan kepada ahli waris lain.
Dalil Al-Qur’an dan Hadis tentang Ashabul Furudh
Dalil utama mengenai Ashabul Furudh terdapat dalam Surah An-Nisa ayat 11:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَـٰدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍۢ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌۭ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌۭ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌۭ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍۢ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍۢ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًۭا ۚ فَرِيضَةًۭ مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًۭا
Artinya: “Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Jika anak perempuan itu lebih dari dua, maka mereka memperoleh dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika hanya seorang, maka ia memperoleh setengah harta. Untuk kedua orang tua, masing-masing memperoleh seperenam dari harta yang ditinggalkan jika si mayit mempunyai anak. Jika ia tidak mempunyai anak dan kedua orang tuanya menjadi ahli waris, maka ibunya memperoleh sepertiga. Jika si mayit mempunyai saudara, maka ibunya memperoleh seperenam. (Pembagian-pembagian itu) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau setelah dibayar utangnya. Ayah-ayahmu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Hadis Nabi juga menegaskan pembagian warisan ini. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Berikanlah bagian warisan kepada mereka yang berhak menerimanya. Jika masih ada sisa, maka untuk laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si mayit,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kategori Ashabul Furudh
Para ulama membagi Ashabul Furudh menjadi dua kategori utama:
1. Ashabul Furudh Sababiyah
Ahli waris yang mendapatkan warisan karena hubungan pernikahan. Contohnya: suami dan istri.
2. Ashabul Furudh Nasabiyah
Ahli waris yang mendapatkan warisan karena hubungan darah atau keturunan. Contohnya: ayah, ibu, kakek, nenek, anak perempuan, saudara kandung perempuan, saudara seibu, dan cucu perempuan dari anak laki-laki.
Daftar Ashabul Furudh dan Bagian Warisannya
Jumlah Ashabul Furudh ada 12 orang, yang terdiri dari 4 laki-laki dan 8 perempuan:
1. Ahli waris laki-laki:
Suami: Mendapat ½ jika istri tidak memiliki anak, dan ¼ jika istri memiliki anak.
Ayah: Mendapat 1/6 jika si mayit memiliki anak.
Kakek (ayah dari ayah): Mendapat 1/6 jika tidak ada ayah.
Saudara laki-laki seibu: Mendapat 1/6 jika sendirian atau 1/3 jika lebih dari satu.
2. Ahli waris perempuan:
Istri: Mendapat ¼ jika suami tidak memiliki anak, dan 1/8 jika suami memiliki anak.
Ibu: Mendapat 1/6 jika si mayit memiliki anak atau saudara, dan 1/3 jika tidak ada anak atau saudara.
Nenek: Mendapat 1/6 jika tidak ada ibu.
Anak perempuan: Mendapat ½ jika sendiri, dan 2/3 jika lebih dari satu.
Cucu perempuan (dari anak laki-laki): Sama seperti anak perempuan jika tidak ada anak perempuan.
Saudari sekandung: Mendapat ½ jika sendiri dan 2/3 jika lebih dari satu.
Saudara perempuan seayah: Sama seperti saudara sekandung jika tidak ada saudara sekandung.
Saudara perempuan seibu: Sama seperti saudara laki-laki seibu.
Contoh Kasus Pembagian Warisan
Seorang pria meninggal dunia dengan meninggalkan: Istri, satu anak perempuan, satu anak laki-laki, dan seorang ibu, maka pembagian warisannya adalah:
Istri: 1/8
Ibu: 1/6
Anak perempuan: ashabah bil ghair
Anak laki-laki: ashabah bi nafsih
Kesimpulan
Al-Qur’an dan hadis telah menetapkan bagian warisan bagi Ashabul Furudh. Hukum Islam mengutamakan mereka dalam pembagian warisan sebelum ahli waris lainnya. Umat Islam perlu memahami Ashabul Furudh ini dengan benar agar pembagian warisan berlangsung adil sesuai syariat.Wallahua’lam.
Sakinah Hasibuan (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Coba jelaskan ,jika seorang ahli waris tetapi statusnya itu sebagai anak angkat dari simayyit ,dia di kategorikan sebagai apa dan berapa bagiannya?
Izin bertanya Bagaimana hukum waris jika ada perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris
Apa yg terjadi jika salah satu ahli waris yg berhak atas bagian tetap meninggal sebelum pembagian warisan
Izin bertanya kepada saudari..
Dalam sebuah keluarga, seorang ayah meninggalkan harta warisan dan beberapa ahli waris. Setelah pembagian harta warisan dilakukan berdasarkan Ashabul Furudh, salah satu anak merasa bahwa sistem tersebut tidak cukup mencerminkan keadilan terhadap hak-hak perempuan dalam keluarga. Apa jawaban yang bisa diberikan berdasarkan prinsip-prinsip Islam terkait pembagian warisan menurut Ashabul Furudh dan keadilan gender?
Dalam perspektif hukum waris Islam, bagaimana kedudukan hak waris suami dan istri setelah perceraian, dan apa yang membedakan pembagian warisan bagi pasangan yang bercerai dengan yang masih dalam ikatan pernikahan? Apakah prinsip keadilan tetap terjaga, ataukah terdapat ketentuan khusus yang menilai ulang hak waris berdasarkan status hubungan yang telah berakhir?
Sebutkan hikmah ditetapkannya Al-Furudhul Muqaddarah dalam Islam ?
Dalam perspektif hukum waris Islam, bagaimana kedudukan hak waris suami dan istri setelah perceraian, dan apa yang membedakan pembagian warisan bagi pasangan yang bercerai dengan yang masih dalam ikatan pernikahan? Apakah prinsip keadilan tetap terjaga, ataukah terdapat ketentuan khusus yang menilai ulang hak waris berdasarkan status hubungan yang telah berakhir?
Bagaimana jika ada ahli waris yang mahjub (terhalang) untuk mendapatkan warisan? Apakah hal ini mempengaruhi pembagian Al-Furudhul Muqaddarah bagi ahli waris lainnya?
Bagaimana jika tidak ada Ashabul Furudh yang memenuhi syarat untuk menerima warisan? Apakah seluruh harta warisan akan diberikan kepada ‘ashabah, atau ada aturan lain yang berlaku?