Muamalah

Akad Istishna’: Konsep, Hukum, dan Penerapannya dalam Islam

TATSQIF ONLINE  Akad Istishna’ merupakan salah satu bentuk transaksi dalam ekonomi Islam yang memungkinkan produsen untuk membuat barang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli, dengan pembayaran yang dapat dilakukan secara penuh di muka atau bertahap. Akad ini sering digunakan dalam industri yang memerlukan pembuatan barang berdasarkan pesanan, seperti konstruksi bangunan dan manufaktur barang industri.

Dalam perspektif ekonomi Islam, Istishna’ menawarkan fleksibilitas dalam perdagangan dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, transparansi, dan larangan riba. Dengan akad ini, pembeli dapat memperoleh barang sesuai kebutuhannya, sementara produsen memiliki kepastian dalam produksi dan pembayaran (Harahap, Fikih Muamalah, hlm. 112).

Definisi Bai’ al-Istishna’

Secara etimologi, kata al-Istishna’ berasal dari bahasa Arab صنع yang berarti جَعَلَ (membuat) atau خلق (menciptakan). Tambahan huruf alif, sin, dan ta menjadikan kata ini bermakna permintaan, sehingga secara bahasa al-Istishna’ berarti permintaan pembuatan barang (Al-Misbah Al-Munir).

Secara terminologi, Istishna’ adalah akad antara pemesan dan produsen untuk mengerjakan suatu barang tertentu, atau akad jual beli barang yang dibuat berdasarkan pesanan dengan modal dan peralatan yang disediakan oleh pembuat (Al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hlm. 312).

Dasar Hukum Bai’ al-Istishna’

1. Al-Qur’an

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا

Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)

Ayat ini menunjukkan bahwa transaksi jual beli dalam Islam diperbolehkan selama tidak mengandung unsur riba atau gharar (ketidakpastian) yang berlebihan.

2. Hadits Nabi

Rasulullah ﷺ juga pernah melakukan transaksi Istishna’ dalam pembuatan cincin:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ اصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ وَكَانَ يَلْبَسُهُ فَيَجْعَلُ فَصَّهُ فِي بَاطِنِ كَفِّهِ

Artinya: “Dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma bahwa Rasulullah ﷺ pernah memesan cincin dari emas dan memakainya dengan meletakkan batu mata cincin di bagian dalam telapak tangan.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menjadi dasar kebolehan akad Istishna’ karena menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memesan pembuatan barang dengan spesifikasi tertentu.

Syarat dan Rukun Bai’ al-Istishna’

1. Syarat Akad Istishna’

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Pasal 104-108), syarat Istishna’ adalah sebagai berikut:

a. Akad menjadi mengikat setelah kedua belah pihak sepakat atas barang yang dipesan.

b. Barang yang dipesan harus dapat dibuat dan tidak tersedia di pasaran dalam bentuk yang sudah jadi.

c. Spesifikasi barang harus dijelaskan secara detail oleh pemesan.

d. Pembayaran dapat dilakukan secara penuh di awal, bertahap, atau setelah barang selesai dibuat.

e. Jika barang yang diproduksi tidak sesuai dengan spesifikasi, pembeli berhak membatalkan akad.

    2. Rukun Akad Istishna’

    a. Al-‘Aqidain: Dua pihak yang bertransaksi, yaitu pemesan (mustashni’) dan pembuat (shani’).

    b. Shighat: Ijab dan qabul yang menunjukkan kesepakatan antara kedua belah pihak.

    c. Objek yang ditransaksikan: Barang yang dipesan harus jelas spesifikasinya dan dapat dibuat oleh pembuat.

      Pembatalan Akad Istishna’

      Akad Istishna’ dapat dibatalkan dalam beberapa kondisi, antara lain:

      1. Kesepakatan Kedua Belah Pihak: Jika kedua belah pihak sepakat untuk membatalkan akad sebelum produksi dimulai.

      2. Ketidaksesuaian Spesifikasi: Jika barang yang dibuat tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati, pembeli berhak membatalkan akad.

      3. Ketidakmampuan Penjual: Jika produsen tidak mampu menyelesaikan pesanan karena alasan tertentu seperti kebangkrutan atau kelangkaan bahan baku.

      4. Cacat atau Kualitas yang Tidak Sesuai: Jika barang yang diterima cacat atau tidak memenuhi standar kualitas yang telah disepakati.

      5. Pelanggaran dalam Pembayaran atau Pengiriman: Jika terjadi keterlambatan pembayaran atau pengiriman barang yang tidak sesuai dengan kesepakatan.

      6. Adanya Unsur Gharar atau Riba: Jika ditemukan unsur ketidakjelasan atau riba dalam akad, maka transaksi harus dibatalkan.

        Implementasi Akad Istishna’ dalam Perbankan Syariah

        Dalam perbankan syariah, Istishna’ digunakan sebagai salah satu instrumen pembiayaan. Menurut Peraturan Bank Indonesia, Istishna’ adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan spesifikasi tertentu dan pembayaran sesuai kesepakatan.

        Bank syariah dapat berperan sebagai:

        1. Penyedia Dana: Bank membiayai pembuatan barang yang dipesan oleh nasabah.

        2. Perantara: Bank memesan barang kepada pihak produsen dan menjualnya kepada nasabah.

          Syarat utama Istishna’ dalam perbankan syariah adalah:

          1. Bank menjual barang kepada nasabah dengan spesifikasi, harga, dan waktu yang telah disepakati.

          2. Pembayaran dilakukan secara penuh atau bertahap sesuai perjanjian.

          3. Pembayaran oleh nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.

          4. Alat pembayaran harus jelas jumlah dan bentuknya.

            Kesimpulan

            Akad Istishna’ merupakan salah satu bentuk transaksi dalam ekonomi Islam yang memberikan fleksibilitas dalam perdagangan. Dengan akad ini, pembeli dapat memesan barang dengan spesifikasi tertentu, sementara produsen mendapatkan kepastian dalam produksi dan pembayaran.

            Dasar hukum Istishna’ terdapat dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 275) serta hadits yang menunjukkan praktik pemesanan barang oleh Rasulullah ﷺ. Untuk memastikan transaksi berlangsung sesuai syariah, akad ini harus memenuhi syarat dan rukun tertentu, serta bebas dari unsur gharar dan riba.

            Di sektor perbankan syariah, Istishna’ digunakan sebagai mekanisme pembiayaan dalam pembuatan barang berdasarkan pesanan. Dengan penerapan yang tepat, akad ini tidak hanya mendukung bisnis dan industri, tetapi juga memastikan transaksi berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, seperti keadilan dan transparansi. Wallahua’lam.

            Rabiah Lubis (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

            3 komentar pada “Akad Istishna’: Konsep, Hukum, dan Penerapannya dalam Islam

            • Fadil igabsa siregar

              Dalam syarat akad istisna’ Akad menjadi mengikat setelah kedua belah pihak sepakat atas barang yang dipesan.

              Jika produsen sudah membuat atau sudah memproduksi pasanan, akan tetapi terjadi pembatalan pemesanan oleh konsumen, namun pihak produsen tidak setuju atas permintaan pembatalan itu,

              Apa yang harus dilakukan oleh pihak konsumen dan produsen dalam menyelesaikan masalah tersebut?

              Balas
            • Bagaimana menurut pemateri jika salah satu pihak tiba- tiba membatalkan akad dan meminta kembali modal yang telah diberikan?
              Apakah hal tersebut berdampak pada hukum akad tersebut?

              Balas

            Tinggalkan Balasan

            Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

            × Chat Kami Yuk