Memahami Sunnah Tasyri’iyyah dan Ghairu Tasyri’iyyah, Simak
TATSQIF ONLINE – Posisi sunnah dalam Islam sering dipahami secara ekstrem: ada yang menganggap semua perbuatan dan ucapan Nabi harus ditiru apa adanya, tanpa melihat konteks dan fungsi, sementara yang lain menolak sunnah karena menganggapnya tidak lagi relevan dengan kehidupan modern. Keduanya lahir akibat ketidaktepatan dalam memahami kategori sunnah. Padahal ulama ushul fikih sejak masa awal telah membedakan antara sunnah yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan sunnah yang tidak dimaksudkan untuk dijadikan hukum.
Al-Qur’an secara tegas memerintahkan umat Islam untuk merujuk kepada Rasul dalam urusan yang diperselisihkan. Allah Swt. berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Artinya: “Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. an-Nisā’ [4]: 59)
Hadis Nabi juga menunjukkan kesetaraan otoritatif antara al-Qur’an dan sunnah. Beliau bersabda:
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Artinya: “Ketahuilah, aku telah diberi al-Qur’an dan (sesuatu) yang semisal dengannya (yakni sunnah).” (HR. Abu Dawud)
Namun, tidak semua sunnah berada pada tingkat hukum yang sama. Sebagian sunnah bersifat tasyri’iyyah, yaitu sunnah yang mengikat dan menjadi pedoman hukum, sementara sebagian lain bersifat ghayru tasyri’iyyah, yaitu sunnah yang tidak dimaksudkan sebagai aturan syariat yang berlaku umum. Di sinilah urgensi pemahaman yang proporsional, agar umat tidak terjebak dalam pemberlakuan sunnah secara serampangan atau penolakan sunnah secara gegabah.
Pengertian Sunnah dalam Berbagai Disiplin
Secara bahasa, kata sunnah berarti “jalan”, “kebiasaan”, atau “cara hidup”. Nabi pernah menyebut adanya sunnah baik dan sunnah buruk dalam hadis riwayat Muslim:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً … وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً
Artinya: “Siapa yang memulai sunnah yang baik dalam Islam … dan siapa yang memulai sunnah yang buruk…” (HR. Muslim)
Secara istilah, makna sunnah berubah tergantung bidangnya. Menurut ulama hadis, sunnah mencakup segala ucapan, perbuatan, persetujuan, dan sifat Nabi. Bagi ahli fikih, sunnah adalah sesuatu yang jika dikerjakan mendapat pahala, jika ditinggalkan tidak berdosa. Sedangkan dalam ushul fikih, sunnah dipahami sebagai sumber hukum syariat kedua setelah al-Qur’an. Klasifikasi ini penting karena menjadi dasar membedakan antara sunnah yang wajib diikuti dan sunnah yang tidak mengikat.
Pandangan Mazhab terhadap Sunnah
Para ulama dari berbagai mazhab besar memiliki pandangan yang berbeda namun saling melengkapi mengenai sunnah. Imam al-Syafi’i, misalnya, melalui karyanya al-Risalah menyatakan bahwa sunnah dapat menguatkan al-Qur’an, menjelaskan ayat yang global, memperinci hukum yang umum, bahkan menetapkan hukum baru selama selaras dengan prinsip syariat (Al-Qardhawi, 1997: 44). Oleh sebab itu, sunnah bagi al-Syafi’i tetap menjadi dasar tasyri’ meskipun hadis yang digunakan berstatus ahad selama sanadnya sahih.
Mazhab Hanafi memiliki pendekatan yang lebih metodologis dalam memfiltrasi sunnah. Mereka membedakan hadis mutawatir, masyhur, dan ahad. Hadis mutawatir bersifat qath’i dan wajib diikuti, hadis masyhur diterima secara luas dan bisa diamalkan, sedangkan hadis ahad diperhitungkan berdasarkan kesesuaiannya dengan qiyas, maqashid, dan maslahat (Bay, 2015: 79).
Mazhab Maliki memperkuat sunnah dalam bentuk praktik sosial masyarakat Madinah yang dikenal dengan istilah ‘amal ahl Madinah. Menurut mereka, praktik yang diwariskan langsung dari Nabi dan sahabat di Madinah merupakan bentuk sunnah yang hidup (Farida, 2015: 241).
Sementara mazhab Hanbali, yang diwakili tokoh seperti Imam Ahmad dan Ibn Taimiyah, meletakkan sunnah dalam posisi yang sangat kuat sebagai sumber hukum, namun tetap mengakui adanya tindakan Nabi yang tidak bersifat normatif, seperti kebiasaan manusiawi dan kekhususan pribadi (Suyatno, 2011: 63).
Fungsi Sunnah dalam Syariat Islam
Para ulama ushul fikih menyepakati bahwa sunnah memiliki beberapa fungsi utama. Pertama, menjelaskan ayat yang masih global atau belum terperinci. Contoh paling nyata ialah tata cara shalat, yang dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci. Nabi bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Kedua, sunnah berfungsi menguatkan hukum yang telah ada dalam al-Qur’an, misalnya larangan riba atau kewajiban kejujuran. Ketiga, sunnah dapat membatasi atau mengkhususkan hukum yang bersifat umum dalam al-Qur’an, seperti pengecualian dalam hukum waris bagi pembunuh. Keempat, sunnah juga dapat menetapkan hukum baru yang tidak disebut secara eksplisit dalam al-Qur’an, seperti larangan memakan binatang buas bertaring. Kelima, sunnah menjadi pedoman akhlak dan sosial dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.
Sunnah Berdaya Hukum (Tasyri’iyyah)
Sunnah tasyri’iyyah adalah sunnah yang berasal dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasul dan penentu syariat. Sunnah jenis ini mencakup ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang dimaksudkan sebagai pedoman umum bagi umat, bukan kebiasaan pribadi atau budaya lokal. Ada tiga bentuk sunnah tasyri’iyyah.
Pertama, sunnah dalam kedudukan Nabi sebagai penyampai risalah. Inilah sunnah yang menjelaskan ibadah, halal-haram, akidah, dan prinsip moral. Tata cara ibadah seperti puasa, zakat, dan haji dijelaskan oleh Nabi melalui sunnah dalam kapasitas kerasulannya. Karena itu, sunnah jenis ini bersifat mengikat dan tidak bergantung pada izin otoritas tertentu.
Kedua, sunnah yang muncul dari peran Nabi sebagai pemimpin umat (imam). Misalnya pembagian ghanimah, pengiriman pasukan, dan perjanjian diplomatik. Sunnah ini tidak otomatis berlaku secara personal bagi tiap individu muslim, tetapi menjadi rujukan bagi pemimpin atau negara dalam mengelola umat.
Ketiga, sunnah Nabi dalam kapasitasnya sebagai hakim (qadli). Misalnya saat beliau menyelesaikan sengketa tanah atau menetapkan jumlah diyat. Sunnah ini menjadi contoh hukum yudisial dan menjadi dasar pengembangan fikih dalam konteks pengadilan.
Sunnah yang Tidak Berdaya Hukum (Ghayru Tasyri’iyyah)
Sunnah ghayru tasyri’iyyah adalah segala sesuatu yang dilakukan Nabi bukan dalam rangka menetapkan hukum syariat, melainkan sebagai manusia, anggota masyarakat, atau keputusan khusus. Ada beberapa kategori sunnah jenis ini.
Yang pertama adalah kebiasaan manusiawi Nabi (jibilliyah), seperti cara makan, gaya pakaian, warna kesukaan, cara tidur, model rambut, atau kebiasaan duduk. Hal-hal seperti ini tidak bersifat mengikat. Ayat yang menjadi dasar pembedaan ini adalah firman Allah:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ
Artinya: “Katakanlah: Aku hanyalah manusia seperti kalian.” (QS. al-Kahfi [18]: 110)
Yang kedua adalah tindakan Nabi dalam urusan duniawi dan pengalaman insaniyah, seperti strategi peperangan, teknik bertani, atau praktik sosial tertentu. Kasus penyerbukan kurma menjadi contoh terkenal, di mana Nabi tidak bermaksud menetapkan hukum, tetapi memberikan ruang ijtihad. Hadisnya berbunyi:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُورِ دُنْيَاكُمْ
Artinya: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)
Yang ketiga adalah kekhususan Nabi (khāṣṣiyyāt), seperti bolehnya menikahi lebih dari empat istri, puasa wishal, dan larangan menerima zakat. Hal ini tidak berlaku bagi umat.
Pengaruh Klasifikasi Sunnah dalam Praktik Hukum
Membedakan antara sunnah tasyri’iyyah dan ghayru tasyri’iyyah membawa dampak langsung pada cara memahami dan mempraktikkan hukum Islam. Jika semua sunnah dianggap wajib diikuti tanpa pembedaan, maka seseorang bisa sampai pada kewajiban menunggang unta, memakai ujung sorban tertentu, atau makan dengan cara duduk tertentu. Sebaliknya, jika semua sunnah dianggap relatif dan tidak mengikat, maka hukum ibadah, akhlak, dan muamalah bisa dianggap opsional.
Pendekatan yang seimbang membantu umat memahami bahwa sunnah yang berhubungan dengan ibadah, akidah, dan hukum publik adalah sunnah tasyri’iyyah yang mengikat, sementara kebiasaan pribadi atau budaya tidak otomatis memiliki daya hukum.
Contoh Perbandingan yang Sering Disalahpahami
Tata cara shalat adalah sunnah tasyri’iyyah yang wajib diikuti. Nabi bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” Hal-hal yang terkait dengan pakaian beliau, seperti panjang rambut atau jenis sandalnya, tidak otomatis mengikat.
Contoh lain adalah strategi perang. Nabi pernah memakai baju besi, membuat parit, dan mengatur saf pasukan. Semua itu adalah ijtihad militer sesuai konteks, bukan doktrin abadi.
Dalam urusan sosial, seperti pembagian kerja, pertanian, pernikahan, dan interaksi budaya, umat harus memilah antara nilai, tujuan, dan bentuk. Di sinilah peran ijtihad menjadi penting.
Kesadaran Ushuliyah dalam Mengikuti Sunnah
Memahami sunnah secara proporsional menumbuhkan keyakinan bahwa sunnah bukan sekadar simbol masa lalu, tetapi panduan hidup yang fleksibel dan kontekstual. Para ulama menekankan bahwa mengambil sunnah secara utuh berarti memahami ruang hukum, bukan sekadar meniru bentuk lahiriah Nabi.
Al-Syathibi dalam al-Muwāfaqāt menjelaskan bahwa tindakan Nabi harus dipahami berdasarkan maqam (posisi) beliau saat melakukan sesuatu: apakah sebagai Rasul, pemimpin, hakim, atau manusia biasa. Ibn Qayyim dalam I’lām al-Muwaqqi’īn menegaskan bahwa tidak semua sunnah dimaksudkan untuk ditiru tanpa melihat tujuan dan illatnya.
Penutup
Sunnah dalam Islam memiliki kedudukan yang agung, namun memahami sunnah membutuhkan ilmu, bukan sekadar semangat. Membedakan antara sunnah tasyri’iyyah dan ghayru tasyri’iyyah membantu umat Islam menjadikan sunnah sebagai jalan hidup yang relevan dan bermartabat. Sunnah menjadi cahaya yang membimbing, bukan beban yang membelenggu. Dengan memahami kategori sunnah secara tepat, umat dapat memegang syariat dengan kokoh tanpa menafikan dinamika zaman. Wallahu’alam.
Syakira Annisa Salsabila (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

di dalam pengertian sunnah ada dikatakan sunnah baik dan sunnah buruk coba jelas kan dan berikan contoh dari sunnah baik dan sunnah buruk ini
Sunnah baik (Hasan) adalah kebiasaan baik dan Sunnah buruk (sayyi’ah) adalah kebiasaan buruk.Sebagaimana hadis riwayat muslim “Barang siapa yang membuat Sunnah baik (hasanah) dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan orang yang mengikutinya,dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.Dan barang siapa yang membuat Sunnah sayyi’ah dalam Islam maka ia akan mendapat dosa dan dosa yang mengikutinya,dan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”
Contohnya:
Sunnah baik
– seorang sahabat yang melihat orang orang miskin sangat membutuhkan bantuan,lalu ia segera berdiri dan menjadi orang yang pertama bersedekah dengan hartanya, kemudian orang lain termotivasi dan ikut bersedekah juga.
Sunnah buruk
– seorang yang pertamakali mempopulerkan atau membuat konten buruk di media sosial,lalu konten tersebut di tonton dan diikuti oleh banyak orang.
Sunnah baik (Hasan) adalah kebiasaan baik dan Sunnah buruk (sayyi’ah) adalah kebiasaan buruk.Sebagaimana hadis riwayat muslim “Barang siapa yang membuat Sunnah baik (hasanah) dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan orang yang mengikutinya,dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.Dan barang siapa yang membuat Sunnah sayyi’ah dalam Islam maka ia akan mendapat dosa dan dosa yang mengikutinya,dan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”
Contohnya:
1.Sunnah baik
– seorang sahabat yang melihat orang orang miskin sangat membutuhkan bantuan,lalu ia segera berdiri dan menjadi orang yang pertama bersedekah dengan hartanya, kemudian orang lain termotivasi dan ikut bersedekah juga.
2.Sunnah buruk
– seorang yang pertamakali mempopulerkan atau membuat konten buruk di media sosial,lalu konten tersebut di tonton dan diikuti oleh banyak orang.
Bagaimana hadis dan sunnah saling berkaitan dalam konteks hukum islam
Keterkaitan antara hadis dan Sunnah sangat erat dalam konteks hukum Islam, seperti hubungan antara teks dan praktik.hadis adalah catatan atau laporan sedangkan Sunnah adalah praktik atau pelaksanaan nya.
Jelaskan secara mendalam perbedaan mendasar antara Sunnah Tasyri’iyyah dan Sunnah Ghairu Tasyri’iyyah, serta bagaimana para ulama hadis membedakannya dalam proses penetapan hukum.
Perbedaan mendasar antara Sunnah Tasyri’iyyah dan ghairu Tasyri’iyyah ialah Sunnah Tasyri’iyyah berasal dari nabi Muhammad Saw dalam kepastiannya sebagai Rasul penentu hukum syariat dan bersifat mengikat.sedangkan ghairu Tasyri’iyyah berasal dari sifat nabi, kebiasaan pribadi atau sosial, bersifat kondisional,dan tidak terikat secara hukum.
° para ulama hadis membedakan kedua jenis Sunnah ini dengan beberapa kriteria
1.Tujuan dan Konteks
Mereka menelaah Sunnah tersebut disampaikan untuk tujuan hukum(syariat) atau hanya untuk menjelaskan pengalaman pribadi dan kebiasaan nabi.
2.Sifat Pernyataan Nabi
Jika pernyataan nabi merujuk pada “pendapatnya”dalam urusan duniawi dan tidak berkaitan dengan legalisasi hukum tertentu maka termasuk kategori ghairu Tasyri’iyyah.
3.Dimensi Kemanusiaan
Ulama akan meneliti apakah suatu tindakan atau ucapan nabi dilakukan dalam kepastian beliau sebagai manusia biasa atau sebagai Rasul pembawa risalah.
4.Kewajiban Mengikuti
Sunnah Tasyri’iyyah mengandung tuntutan untuk diikuti, sedangkan ghairu Tasyri’iyyah tidak mewajibkan, melainkan hanya bersifat atau pilihan.