Pembagian Hadis: Kualitas, Kuantitas, dan Penerapannya, Simak
TATSQIF ONLINE – Hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki peran penting dalam kehidupan seorang Muslim. Sebagai penjelas dan pelengkap Al-Qur’an, hadis mengandung berbagai tuntunan yang mencakup aspek ibadah, akhlak, dan hukum kehidupan.
Pemahaman yang mendalam tentang hadis menjadi penting agar umat Islam dapat mengamalkan ajaran Nabi Muhammad ﷺ secara benar. Oleh karena itu, pengkajian hadis melibatkan berbagai aspek, termasuk keaslian, kualitas, dan kuantitas periwayatannya.
Kajian hadis telah berkembang sejak zaman Nabi dan terus diwariskan melalui generasi. Para ulama, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lainnya, berkontribusi besar dalam menyusun ilmu hadis, termasuk dalam hal pembagian hadis. Klasifikasi hadis berdasarkan kualitas dan kuantitas perawinya memberikan kerangka penting dalam memahami mana hadis yang dapat dijadikan landasan hukum dan mana yang tidak.
Pengertian Hadis
Secara etimologi, kata hadis berasal dari bahasa Arab حديث yang berarti baru, berita, atau sesuatu yang disampaikan. Secara terminologi, hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat beliau. Hadis menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُۖ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Hadis memuat dua elemen utama, yaitu sanad (rangkaian perawi yang menyampaikan hadis) dan matan (teks atau isi hadis). Validitas suatu hadis dinilai berdasarkan dua komponen ini melalui metode ilmiah yang telah dirumuskan oleh para ulama.
Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitasnya
Kualitas hadis berkaitan dengan tingkat keabsahan hadis tersebut untuk dijadikan dasar hukum. Berdasarkan kualitasnya, hadis terbagi menjadi tiga jenis utama, yaitu shahih, hasan, dan dha’if.
Hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit (kuat hafalannya), serta tidak mengandung kejanggalan (syadz) atau cacat tersembunyi (‘illat). Contoh hadis shahih adalah hadis tentang keutamaan mencari ilmu:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibn Majah)
Hadis hasan adalah hadis yang mirip dengan hadis shahih, tetapi hafalan perawinya tidak sekuat perawi hadis shahih. Contohnya adalah hadis tentang keutamaan silaturahmi:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi kriteria shahih maupun hasan karena adanya kelemahan dalam sanad atau matan. Hadis dha’if tidak dapat dijadikan landasan hukum kecuali dalam konteks motivasi ibadah, dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip syariat.
Pembagian Hadis Berdasarkan Kuantitasnya
Hadis juga diklasifikasikan berdasarkan jumlah perawi pada setiap tingkat sanadnya, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanad sehingga mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Syarat utama hadis mutawatir adalah jumlah perawi yang banyak, periwayatan yang konsisten, dan kebenarannya berasal dari panca indera. Contoh hadis mutawatir adalah hadis tentang air:
الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
Artinya: “Air itu suci dan tidak ada sesuatu yang dapat menajiskannya.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, dan Ahmad)
Hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir. Hadis ahad terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih di setiap tingkatan sanad, tetapi belum mencapai derajat mutawatir.
2. Aziz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada setiap tingkatan sanad.
3. Gharib, yaitu hadis yang hanya memiliki satu perawi pada salah satu tingkatan sanad.
Hadis ahad dapat diterima sebagai landasan hukum jika memenuhi syarat shahih atau hasan. Contoh hadis ahad adalah hadis tentang niat:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya: “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan
Klasifikasi hadis berdasarkan kualitas dan kuantitasnya sangat penting dalam menentukan penggunaannya sebagai dasar hukum. Hadis mutawatir diterima secara mutlak tanpa penelitian mendalam, sedangkan hadis ahad memerlukan kajian lebih teliti. Hadis shahih dan hasan dapat dijadikan pedoman dalam beragama, sedangkan hadis dha’if digunakan secara terbatas.
Pengetahuan tentang pembagian hadis ini menunjukkan ketelitian para ulama dalam menjaga keaslian ajaran Islam. Dengan memahami klasifikasi ini, umat Islam dapat memilah dan menggunakan hadis secara tepat sehingga dapat mengamalkan ajaran Nabi Muhammad ﷺ dengan benar. Kajian ini juga memperlihatkan bahwa ilmu hadis merupakan fondasi penting dalam menjaga kemurnian syariat Islam sepanjang zaman, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj. Wallahua’lam.
Sondang Tiara Rambe & Sarina Harahap (Mahasiwa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)