Larangan Gharar dan Konsekuensi Hukumnya dalam Islam
TATSQIF ONLINE – Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan antar sesama manusia, termasuk dalam aspek muamalah atau interaksi sosial dan ekonomi. Salah satu prinsip utama dalam fiqih muamalah adalah keadilan. Segala bentuk ketidakadilan atau kezaliman dalam transaksi ekonomi sangat dikecam oleh syariat. Di antara bentuk kezaliman dalam muamalah adalah praktik gharar, yaitu transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian, ketidakjelasan, atau spekulasi yang tinggi.
Gharar tidak hanya merusak keadilan dalam jual beli, tetapi juga menghasilkan harta yang tidak sah menurut pandangan syariat. Oleh karena itu, pembahasan tentang harta hasil gharar dalam fiqih muamalah sangat penting, bukan untuk mencari legitimasi atasnya, melainkan untuk menghindarinya. Artikel ini menguraikan secara komprehensif pengertian gharar, hukum harta yang dihasilkan darinya, dalil-dalil syariat, serta tujuannya dalam perspektif Islam.
Pengertian Gharar dan Contohnya
Secara bahasa, gharar berasal dari kata “gharra” yang berarti menipu atau membahayakan. Dalam terminologi fiqih, gharar diartikan sebagai ketidakjelasan atau ketidakpastian dalam objek transaksi, yang dapat menimbulkan perselisihan di antara pihak-pihak yang berakad. Imam al-Kasani dalam kitab Bada’i al-Shana’i menjelaskan bahwa gharar adalah sesuatu yang konsekuensi dan hasilnya tidak diketahui, atau sesuatu yang tersembunyi akibatnya.
Contoh-contoh transaksi gharar antara lain:
- Menjual sesuatu yang belum dimiliki atau tidak terlihat wujudnya, seperti ikan di laut atau burung di udara.
- Ketidakjelasan dalam hal harga, jumlah, kualitas, atau waktu penyerahan barang.
- Akad yang terlalu spekulatif seperti sebagian bentuk asuransi konvensional atau perjudian terselubung.
Hukum Harta Hasil Gharar dalam Islam
Dalam fiqih muamalah, segala bentuk harta yang diperoleh dari transaksi gharar dikategorikan sebagai al-mal al-batil, yaitu harta yang diperoleh melalui jalan yang tidak sah. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa transaksi gharar termasuk bentuk kezhaliman karena mengandung unsur penipuan dan merugikan salah satu pihak.
Secara umum, hukum harta hasil gharar adalah haram. Hal ini berdasarkan sejumlah dalil syariat, di antaranya:
Pertama, Hadis Rasulullah SAW:
نَهَى رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ عن بَيعِ الغرَرِ ، وعن بيعِ الحصاةِ
Artinya: “Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar dan jual beli dengan melempar batu (jual beli al-hashah).” (HR Muslim).
Hadis riwayat Muslim ini menjadi dasar utama para ulama dalam mengharamkan transaksi yang mengandung gharar. Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa larangan tersebut karena gharar menimbulkan perselisihan dan menghilangkan kejelasan, yang merupakan unsur penting dalam akad jual beli.
Kedua, Al-Qur’an:
Surah an-Nisa ayat 29:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.”
Ayat ini mengharamkan segala bentuk pengambilan harta secara tidak sah, termasuk melalui transaksi yang mengandung gharar. Karena gharar berpotensi merugikan pihak lain, maka transaksi semacam itu dianggap sebagai bentuk memakan harta secara batil.
Ketiga, Kaidah Fiqih:
الضرر يزال
Artinya: “Setiap bentuk bahaya atau kerugian harus dihilangkan.”
Transaksi gharar sering menimbulkan kerugian dan konflik karena ketidakjelasan. Oleh karena itu, kaidah ini menguatkan larangan gharar sebagai bentuk kerugian yang harus dicegah dalam muamalah Islam.
Sikap Islam terhadap Harta Hasil Gharar
Islam tidak memberikan legitimasi terhadap kepemilikan harta yang diperoleh dari transaksi gharar. Bahkan, harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik asalnya jika diketahui. Jika tidak diketahui atau pemiliknya tidak dapat ditemukan, maka sebagian ulama seperti Imam al-Nawawi dan Imam al-Ramli menyarankan agar harta itu disalurkan ke jalan kebaikan, seperti membantu fakir miskin atau untuk kepentingan umum. Namun, pemberian ini tidak bernilai sedekah dalam pengertian ibadah, karena tidak berasal dari harta yang halal.
Tujuan Pembahasan Harta Gharar dalam Fiqih Muamalah
Pembahasan mengenai harta hasil gharar dalam fiqih muamalah bukanlah untuk memberikan jalan keluar agar umat Islam bisa mengambil manfaat dari harta tersebut. Sebaliknya, tujuannya adalah sebagai berikut:
Pertama, Menjaga keadilan dalam transaksi
Larangan terhadap gharar bertujuan untuk menciptakan keadilan antara pihak-pihak yang bertransaksi. Gharar dapat menyebabkan pihak tertentu tertipu dan mengalami kerugian.
Kedua, Menyucikan harta dari unsur haram
Islam menekankan pentingnya memperoleh harta dari jalan yang halal. Harta yang diperoleh dari jalan gharar adalah haram dan tidak berkah, sehingga harus dijauhi.
Ketiga, Mencegah sengketa dan kerugian
Transaksi gharar mengandung potensi konflik karena objek akad yang tidak jelas. Oleh sebab itu, Islam melarangnya demi menjaga stabilitas sosial dan ekonomi.
Keempat, Mendidik umat untuk mengenal akad sah dan batil
Dengan memahami gharar dan bahayanya, umat Islam dapat membedakan antara akad yang sah menurut syariat dengan akad yang batil, sehingga terhindar dari praktik bisnis yang zalim.
Kesimpulan
Gharar adalah bentuk ketidakjelasan yang dilarang dalam Islam karena dapat merusak keadilan dalam muamalah. Harta yang diperoleh dari transaksi gharar bukanlah harta yang sah, dan karenanya tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi maupun ibadah. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga kehalalan dan kejelasan dalam setiap akad agar terhindar dari kezaliman dan memperoleh berkah dalam rezeki. Dengan demikian, pembahasan tentang harta hasil gharar bertujuan untuk membentengi umat Islam dari praktik ekonomi yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan ketakwaan. Wallahua’lam.
Rika Rahim (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary)

Menurut pemakalah Selain dalam transaksi jual beli atau keuangan, adakah contoh lain di mana prinsip larangan gharar ini juga berlaku dalam aspek kehidupan muslim lainnya?
Jika gharar adalah larangan berbasis pada ketidakpastian, bagaimana Islam membedakan antara gharar dan ikhtimal (kemungkinan) dalam akad kontemporer seperti asuransi mikro syariah?
Jadi apakah sebagaimana yang kita lihat di sebuah pasar yang di mana seseorang tersebut menjual salak dengan perkarung yang dimana tidak di ketahui jumlah keseluruhan dan kualitas barang tersebut, bagaimana dengan hukumnya?