Kupas Status Hukum Pernikahan Saat Suami Menjadi Transgender
TATSQIF ONLINE – Pernikahan dalam Islam adalah sebuah ikatan sakral yang terjalin antara pria dan wanita. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah diartikan sebagai hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menjadi pasangan suami-istri dengan status yang sah. Di sisi lain, istilah transgender merujuk pada perpindahan atau peralihan gender, di mana seseorang merasa identitas gender yang mereka terima saat lahir tidak sesuai dengan jati dirinya.
Fenomena perubahan identitas gender, khususnya ketika seorang suami memilih untuk menjadi transgender, menimbulkan sejumlah pertanyaan dalam ranah hukum Islam, terutama mengenai status pernikahan yang semula sah. Artikel ini akan membahas bagaimana hukum Islam menyikapi perubahan gender dalam konteks pernikahan, serta pandangan syariat terkait kedudukan nikah apabila seorang suami memutuskan untuk mengubah identitas gendernya.
Pandangan Dasar Islam tentang Pernikahan
Pernikahan dalam Islam disyariatkan sebagai ikatan yang sah antara pria dan wanita. Allah berfirman dalam Alquran SUrah Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan manusia dengan perbedaan gender sebagai bagian dari fitrah penciptaan-Nya. Fitrah ini tidak hanya membedakan identitas masing-masing, tetapi juga menjadi landasan syarat dalam pernikahan Islam, yaitu adanya pasangan yang berbeda jenis kelamin.
Dalil tentang Pentingnya Perbedaan Gender dalam Pernikahan
Dalam ajaran Islam, pernikahan antara pria dan wanita merupakan wujud ketenangan batin, dan hubungan yang diridhoi Allah untuk menghasilkan keturunan. Allah berfirman dalam Alquran Surah Ar-Rum ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Ayat ini menggarisbawahi bahwa tujuan pernikahan adalah untuk membentuk ketenangan dengan adanya pasangan dari jenis yang berbeda. Maka, perubahan gender salah satu pihak dalam pernikahan dapat merusak asas perbedaan gender yang menjadi prinsip dalam pernikahan tersebut.
Pandangan Ulama Mengenai Status Pernikahan dalam Kasus Transgender
Para ulama fiqh sepakat bahwa jika seorang suami berubah identitas menjadi perempuan, maka status pernikahannya secara otomatis batal karena hilangnya syarat dasar pernikahan, yaitu adanya pasangan dengan jenis kelamin berbeda. Menurut kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Zuhaili, syarat sah pernikahan dalam Islam adalah adanya perbedaan jenis kelamin di antara pasangan. Bila perubahan gender terjadi pada salah satu pasangan, maka pernikahan itu tidak lagi dianggap sah.
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ juga menyebutkan bahwa pernikahan yang sah harus memenuhi syarat adanya pasangan yang berlainan jenis kelamin. Jika perubahan gender terjadi, maka ikatan pernikahan dapat dibatalkan melalui prosedur fasakh, yaitu pembatalan pernikahan secara resmi untuk menjaga kejelasan status hukum bagi kedua pihak.
Prosedur Fasakh dalam Kasus Perubahan Gender
Menurut kaidah hukum Islam, fasakh adalah prosedur pembatalan nikah yang dilakukan karena adanya cacat atau ketidaksesuaian yang terjadi setelah akad nikah. Dalam kasus di mana seorang suami memutuskan untuk menjadi transgender, fasakh menjadi solusi yang dianjurkan oleh banyak ulama untuk memutuskan ikatan pernikahan tersebut. Tujuan fasakh adalah memastikan status hukum keduanya tetap jelas, terutama dalam hal hak-hak dan kewajiban syariat, seperti hak nafkah dan hak waris.
Pandangan ini juga dipegang oleh ulama kontemporer. Dr. Muhammad Amin Suma dalam bukunya Islam dan Masalah Sosial Kontemporer menjelaskan bahwa perubahan gender yang dilakukan oleh salah satu pasangan dalam pernikahan mengharuskan adanya pembatalan ikatan secara resmi untuk menghindari kerancuan hukum dan menjaga kejelasan status masing-masing individu.
Pandangan Fiqh Kontemporer dan Fatwa-fatwa tentang Pernikahan Transgender
Seiring perkembangan zaman, persoalan transgender juga telah diulas dalam fatwa-fatwa kontemporer. Misalnya, dalam fatwa dari Dar al-Ifta’ Mesir, perubahan gender yang dilakukan oleh salah satu pasangan dalam pernikahan dianggap membatalkan pernikahan. Hal ini didasarkan pada syarat dasar pernikahan dalam Islam yang menekankan adanya pasangan lawan jenis.
Menurut fatwa tersebut, seorang suami yang menjadi transgender dianggap telah kehilangan identitas gendernya sebagai laki-laki dalam pernikahan. Oleh karena itu, demi kejelasan hukum dan perlindungan hak-hak syariat, mereka dianjurkan untuk melakukan fasakh. Keputusan ini tidak hanya menyangkut aspek fiqh, tetapi juga menghindari kesalahpahaman di masyarakat terkait status mereka sebagai pasangan.
Contoh Kasus dalam Literatur Hukum Islam
Beberapa kasus nyata terkait perubahan gender dalam pernikahan pernah dibahas dalam literatur hukum Islam. Dalam buku Gender and Sexuality in Islamic Law karya Muhammad Qasim Zaman, terdapat contoh dari pengadilan agama di Timur Tengah yang menangani masalah pernikahan setelah salah satu pasangan mengubah gendernya.
Pengadilan tersebut memutuskan bahwa pernikahan tersebut tidak lagi sah karena adanya perubahan gender pada suami. Keputusan ini menegaskan kembali bahwa syarat sah pernikahan adalah adanya pasangan dengan gender yang berbeda, dan perubahan gender pada salah satu pihak membatalkan syarat tersebut.
Kesimpulan
Dalam Islam, pernikahan dipandang sebagai ikatan suci yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, termasuk adanya pasangan dengan jenis kelamin yang berbeda. Ketika seorang suami memilih untuk menjadi transgender, ia tidak lagi memenuhi syarat sebagai laki-laki dalam konteks pernikahan. Berdasarkan dalil dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 dan QS. Ar-Rum ayat 21, serta pandangan ulama klasik dan kontemporer, syarat pernikahan dalam Islam adalah adanya pasangan lawan jenis. Maka, perubahan gender dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar pernikahan.
Dalam kasus suami yang menjadi transgender, para ulama sepakat bahwa pernikahan dianggap batal dan pasangan tersebut dianjurkan untuk melakukan fasakh atau pembatalan pernikahan demi menjaga kejelasan status hukum mereka. Hal ini bertujuan untuk menghindari kerancuan hukum syariat, terutama yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam hukum Islam. Dengan demikian, hukum Islam memandang perubahan gender yang terjadi dalam pernikahan sebagai pembatal syarat sah pernikahan. Wallahua’lam.
Al Zahra Malika Putri (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)