Fiqh KontemporerLifestyle

Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam: Pandangan Ulama

TATSQIF ONLINEPernikahan merupakan salah satu ibadah penting dalam Islam. Setiap individu yang telah dewasa dan sehat secara jasmani serta rohani membutuhkan pasangan hidup.

Pasangan ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan biologis, mencintai dan dicintai, mengasihi dan dikasihi, serta bekerja sama untuk mencapai ketenteraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam rumah tangga. Dalam Islam, pernikahan bukan sekadar hubungan fisik, tetapi ikatan sakral yang melibatkan tanggung jawab dan kewajiban antara suami dan istri.

Secara bahasa, kata “nikah” berarti “berkumpul” atau “bersatu.” Sementara itu, secara istilah, nikah merupakan akad atau perjanjian yang mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan, yang menghalalkan hubungan suami-istri secara sah. Tujuan menikah dalam Islam adalah membentuk keluarga bahagia, yang penuh dengan keridhaan dari Allah SWT.

Dalam Hukum Perkawinan Lintas Agama dalam Islam, Muhammad dan A. Nasution mencatat bahwa pernikahan beda agama adalah topik kontroversial, terutama di negara multikultural seperti Indonesia. Dengan 88,2% populasi yang menganut Islam, pernikahan lintas agama sering terjadi, namun isu ini menghadirkan persoalan agama dan hukum.

Islam secara jelas melarang pernikahan ini, sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an dan hadis. Selain itu, peraturan di Indonesia menetapkan bahwa pernikahan hanya sah jika sesuai dengan hukum agama masing-masing.

Mengutip dari Mutakin dalam Islam dan Pluralisme: Tantangan Perkawinan Lintas Agama, menurut Abdullah Ahmad an-Naim, hukum yang mengatur pernikahan antara pria non-Muslim dengan wanita Muslim belum mencapai konsensus final. Meskipun banyak madzhab seperti Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, melarang pernikahan tersebut berdasarkan Surat al-Baqarah ayat 221:

وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَـٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌۭ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌۭ مِّن مُّشْرِكَةٍۢ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌۭ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌۭ مِّن مُّشْرِكٍۢ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَـٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَـٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Abdullah Ahmad an-Naim menyatakan bahwa tidak ada dalil eksplisit dalam al-Qur’an yang melarang pernikahan lintas agama. Ia berpendapat bahwa larangan ini lebih merupakan interpretasi dari ayat-ayat yang ada.

Sebaliknya, Bawazier dalam Fiqh Kontemporer: Analisis Hukum Pernikahan dalam Islam, mengutip penjelasan Ahmad Zahro bahwa mayoritas ulama melarang pernikahan antara pria non-Muslim dan wanita Muslimah. Menurut Zahro, ulama dari madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali berpegang pada dasar hukum dari Surat al-Baqarah ayat 221 dan Surat al-Mumtahanah ayat 10, berikut ini:

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Artinya: “Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”

Mereka berpendapat bahwa pernikahan antara pria non-Muslim dan wanita Muslimah tidak sah. Jika tetap melakukannya, maka perbuatan tersebut masuk dalam kategori zina.

Surat al-Baqarah ayat 221 melarang pernikahan antara pria Muslim dan wanita musyrik, yaitu wanita yang menyekutukan Allah atau tidak mengakui keesaan-Nya. Larangan ini menegaskan bahwa kesatuan iman adalah kunci dalam membangun keluarga yang harmonis dan religius.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa pernikahan dalam Islam tidak hanya mempertimbangkan aspek pribadi atau emosional, tetapi juga kesesuaian keyakinan agama. Islam mengajarkan bahwa pasangan harus memiliki iman yang sama, karena perbedaan keyakinan dapat menimbulkan konflik tersendiri dalam kehidupan rumah tangga.

Oleh karena itu, pernikahan antara pria Muslim dan wanita musyrik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Namun, jika wanita tersebut mau beriman kepada Allah, pernikahan menjadi sah dan sesuai dengan ajaran Islam.

Lebih lanjut, ayat ini menegaskan bahwa seorang budak yang mukmin, meskipun secara sosial mungkin memiliki status yang lebih rendah, lebih baik dibandingkan wanita musyrik dalam pandangan Islam. Ini menegaskan bahwa iman dan ketaqwaan lebih utama daripada status sosial atau penampilan fisik dalam menentukan kelayakan pasangan.

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum pria Muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Dalam Surat al-Maidah ayat 5, Allah menghalalkan pernikahan pria Muslim dengan wanita ahli kitab:

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْۖ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْۖ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ

Artinya: “Hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan dihalalkan menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.”

Suyaman menyebutkan dalam Panduan Fiqh Keluarga: Hukum Pernikahan dalam Islam bahwa beberapa ulama memakruhkan pernikahan beda agama. Mereka khawatir pernikahan ini dapat menimbulkan fitnah atau bahaya bagi keluarga Muslim.

Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, menafsirkan bahwa ayat-ayat tentang larangan menikahi wanita musyrik dan wanita ahli kitab tidak bertentangan. Al-Qurtubi menjelaskan bahwa Surat al-Maidah ayat 5 menghalalkan pernikahan dengan wanita ahli kitab, tetapi Surat al-Baqarah ayat 221 melarang pernikahan dengan wanita musyrik.

Mengutip dari Jauhari dalam Tafsir dan Hukum Islam Kontemporer, Quraish Shihab menyatakan bahwa ulama kontemporer memperbolehkan pernikahan antara pria Muslim dan wanita ahli kitab. Namun, mereka melarang keras pernikahan antara wanita Muslimah dan pria non-Muslim.

Quraish Shihab menggunakan Surat al-Maidah ayat 5 untuk mendukung pernikahan dengan wanita ahli kitab dan Surat al-Baqarah ayat 221 untuk melarang pernikahan dengan wanita musyrik.

Pernikahan beda agama dalam Islam tetap menjadi perdebatan di kalangan ulama, baik klasik maupun kontemporer. Ulama sepakat melarang pria Muslim menikahi wanita musyrik, serta antara wanita Muslimah dan pria non-Muslim.

Namun, sebagian ulama memperbolehkan pria Muslim menikahi wanita ahli kitab, sementara sebagian lainnya memakruhkan. Keputusan akhir kembali kepada masing-masing individu, asalkan tetap sesuai dengan prinsip syariat Islam dan tidak menimbulkan mudarat pada kehidupan beragama dan rumah tangga. Wallahua’lam.

Annisya Jamil (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

32 komentar pada “Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam: Pandangan Ulama

  • Yuliana Siregar

    Bagaimana Solusi yang di berikan para ulama untuk pasangan yang ingin menikah tetapi mereka memiliki latar belakang agama yang berbeda?

    Balas
  • Mewa sari Ritonga

    Apa hukum menikah dengan non Muslim?

    Balas
    • Nia Ramayanti

      Apa alasan di bolehkan nya menikahi wanita ahli kitab ?

      Balas
      • Menikahi wanita Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani) diperbolehkan dalam Islam berdasarkan Surah Al-Ma’idah (5:5) yang mengizinkan pernikahan dengan mereka karena mereka adalah pengikut kitab suci sebelum Al-Qur’an. Ini mencerminkan pengakuan Islam terhadap agama yang memiliki wahyu dari Allah dan prinsip keadilan terhadap wanita dari agama-agama sebelumnya. Namun, pernikahan ini harus dilakukan dengan pertimbangan bahwa wanita tersebut tidak menghalangi pelaksanaan ajaran Islam dalam rumah tangga dan pendidikan anak.

        Balas
  • Siti Rabiah Rangkuti

    Bagaimana cara menghadapi perbedaan keyakinan dalam pernikahan beda agama?

    Balas
  • Widiya Rahma

    artikel nya sangat bermanfaat bagi kita para pembaca ,semoga kita dapat memahami dan mengamalkannya.

    Balas
  • Nadya futri Harahap

    Bagaimana sejarah perkembangan pandangan ulama mengenai pernikahan beda agama?

    Balas
    • Sejarah pandangan ulama tentang pernikahan beda agama dimulai dengan penerimaan awal berdasarkan Al-Qur’an, yang mengizinkan pria Muslim menikahi wanita dari agama Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani). Pada masa klasik, pandangan ini diterima oleh berbagai madzhab Islam dengan beberapa syarat. Seiring waktu, terutama di era modern, pandangan ini mulai dipengaruhi oleh konteks sosial dan hukum negara. Beberapa ulama kontemporer sekarang menganjurkan pendekatan yang lebih fleksibel, mempertimbangkan aspek seperti pendidikan anak dan pelaksanaan ajaran agama dalam keluarga.

      Balas
  • Diana Dinda Harahap

    Bagaimana menurut penulis tentang seseorang yang rela berpindah keyakinan (agama) demi menikahi seseorang yang dicintai???

    Balas
    • Siti Apriani Hasibuan

      Apakah hukum Islam dan hukum di Indonesia sejalan terkait dengan pernikahan beda agama?

      Balas
      • Di Indonesia, peraturan pernikahan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini mengatur bahwa pernikahan harus dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, dan pernikahan beda agama umumnya tidak diakui secara sah oleh negara. Oleh karena itu, pasangan yang berbeda agama harus memilih salah satu agama untuk dinyatakan dalam dokumen pernikahan atau menikah di luar negeri di negara yang mengizinkan pernikahan beda agama.

        Balas
    • Seseorang yang rela berpindah agama demi menikahi orang yang dicintai harus mempertimbangkan keputusan ini dengan sangat hati-hati. Berpindah agama adalah langkah besar yang mempengaruhi keyakinan pribadi dan kehidupan sehari-hari. Keputusan ini sebaiknya diambil bukan hanya berdasarkan cinta semata, tetapi harus disertai pemahaman yang mendalam tentang agama baru dan keyakinan yang kuat. Komunikasi terbuka dan evaluasi jangka panjang mengenai dampak keputusan tersebut pada hubungan dan kehidupan pribadi juga sangat penting.

      Balas
  • Putri Ruhqhaiyyah

    Penjelasan mengenai ketentuan hukum dalam pernikahan beda agama sangat informatif. Namun, bagaimana aplikasi hukum ini berperan dalam konteks sosial dan budaya saat ini?

    Balas
  • Yulan Agustina

    Bagaimana cara terbaik untuk mengatasi perbedaan keyakinan dalam pernikahan beda agama?

    Balas
  • Misronida Harahap

    Bagaimana pandangan islam tentang keturunan yang dihasilkan dari beda agama?

    Balas
  • Ilmi Amaliah Nasution

    Artikel yg sangat bermanfaat bagi pembaca

    Balas
  • Nabila rispa izzzaty

    Apa konsekuensi hukum dalam islam jika pasangan menikah beda agama?

    Balas
  • Yulia sari

    Jelaskan menurut pemateri bagaimana nasab seorang anak dari pernikahan beda agama?apakah menurut nasab ayah atau ibunya??

    Balas
    • Secara hukum Islam, mengikuti nasab ibunya, karena sedari awal pernikahan beda agama tidak diakui keabsahannya. Bagi yang melanggar aturan ini, dikategorikan zina dengan segala dampak hukumnya.

      Balas
  • Jubaidah Apriani Tambunan

    apa saja faktor yang mendasari terjadinya pernikahan beda agama?

    Balas
    • Pernikahan beda agama sering kali didorong oleh cinta dan kedekatan pribadi antara individu dari latar belakang agama berbeda. Faktor lain termasuk keterbukaan dan toleransi dalam masyarakat modern, lingkungan sosial yang multikultural, perubahan sosial dan budaya, serta kesamaan nilai dan tujuan hidup yang dianggap lebih penting daripada perbedaan agama.

      Balas
  • Masdewi Nasution

    Artikel yg sangat bermanfaat bagi pelajar

    Balas
  • Saripah Ritonga

    Mengapa sebagian ulama memakruhkan pria menikahi wanita ahli kitab, Apa alasan nya??

    Balas
    • Sebagian ulama memakruhkan pria Muslim menikahi wanita Ahli Kitab karena kekhawatiran bahwa pernikahan ini dapat mempengaruhi pelaksanaan ajaran Islam dan menyebabkan konflik dalam praktik ibadah serta pendidikan anak. Ada juga pandangan historis dan kultural yang menunjukkan bahwa pernikahan lintas agama sering menimbulkan tantangan. Beberapa madzhab memiliki interpretasi ketat untuk menjaga keutuhan ajaran agama Islam. Meskipun begitu, banyak ulama tetap mengizinkan pernikahan ini dengan syarat tertentu, asalkan pasangan dapat mengatasi perbedaan agama dengan baik.

      Balas
  • Hidayat Nur Wahid Hsb

    Apakah masih boleh kita menikahi ahli kitab?

    Balas
    • Dalam Islam, pernikahan dengan wanita Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani) diperbolehkan dengan syarat wanita tersebut harus muhsanat atau menjaga kehormatan. Meskipun wanita Ahli Kitab dianggap kafir dan musyrik, mereka mendapatkan kekhususan karena pernah menerima kitab yang benar.

      Namun, dalam konteks tertentu, seperti di Indonesia di mana proses kristenisasi semakin meningkat, pernikahan ini dapat menimbulkan mudarat lebih besar dan berpotensi merusak agama. Oleh karena itu, para ulama mengharamkan pernikahan dengan wanita Ahli Kitab dalam kondisi tertentu dengan menggunakan kaidah “menangkal mafsadah harus didahulukan daripada mendapatkan maslahat.”

      Hal ini tidak mengubah substansi hukum syariat tetapi mempertimbangkan kondisi sosial dan keberagamaan untuk melindungi agama. Perubahan fatwa ini sah dan boleh karena hukum syariat menilai maslahat dan mafsadah sesuai dengan keadaan zaman, tempat, dan konteks sosial.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk