PoliticsSiyasah

Dosa atau Jihad, Hukum Bughat dan Demonstrasi dalam Islam

TATSQIF ONLINE – Perdebatan seputar relasi antara rakyat dan penguasa merupakan persoalan klasik yang senantiasa hadir dalam sejarah peradaban manusia. Dalam khazanah Islam, masalah ini tidak hanya dibahas secara moral, tetapi juga secara sistematis dalam fiqh siyasah. Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk taat kepada Allah, Rasul, dan pemimpin (ulil amri), sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), serta para pemegang kekuasaan di antara kamu.” (QS. al-Nisā’: 59)

Namun, ketaatan ini bukanlah ketaatan mutlak tanpa batas. Islam mengajarkan bahwa ketaatan tidak boleh menghilangkan keberanian moral untuk menolak kezaliman. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

Artinya: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.” (HR. Aḥmad)

Dengan demikian, prinsip dasar hubungan rakyat dan penguasa dalam Islam bukanlah ketaatan total (absolute obedience), melainkan ketaatan bersyarat (conditional obedience) — yaitu taat selama penguasa menegakkan keadilan dan tidak memerintahkan kemaksiatan. Bahkan Rasulullah ﷺ menjadikan resistensi terhadap kezaliman sebagai bentuk jihad tertinggi:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Artinya: “Jihad terbaik adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abū Dāwūd)

Hadis ini memberikan legitimasi spiritual terhadap kritik dan protes politik, bahkan menegaskan bahwa berdiam diri atas kezaliman bukanlah sikap seorang mukmin.

Bughat: Model Perlawanan Klasik dalam Fiqh

Dalam fiqh klasik, bentuk perlawanan terhadap penguasa sah yang paling sering dibahas adalah bughāt, yakni pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok kaum muslimin. Para ulama mendefinisikan bughat bukan sebagai kemurtadan, melainkan sebagai ekspresi politik radikal akibat ketidakpuasan terhadap kebijakan penguasa.

Ibn Qudāmah dalam al-Mughnī menyatakan bahwa bughāt adalah kaum muslimin yang keluar dari ketaatan kepada imam, meskipun mereka tetap berpegang pada Islam. Definisi ini selaras dengan pandangan al-Māwardī dalam al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah yang menekankan unsur kekuatan (syaukah) dan motivasi menuntut keadilan.

Dalil utama mengenai bughat terdapat dalam QS. al-Ḥujurāt ayat 9:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya: “Jika ada dua kelompok dari kaum mukminin berperang, damaikanlah keduanya. Jika salah satunya berbuat aniaya (baghy), maka perangilah hingga ia kembali kepada perintah Allah. Jika mereka telah kembali, damaikanlah keduanya dengan adil.”

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui realitas politik yang kompleks: konflik internal di antara umat bisa terjadi. Namun Islam juga memberikan panduan penyelesaiannya: bukan dengan menghabisi pemberontak, tetapi dengan mendamaikan mereka secara adil. Para fuqaha menegaskan bahwa bughat tidak boleh dihukumi kafir, tidak boleh diperangi untuk dihabisi, dan harta serta jiwa mereka tetap harus dijaga. Inilah prinsip proporsionalitas dalam fiqh bughat: kekerasan hanya sebagai upaya terakhir untuk menghentikan kezaliman, bukan sebagai alat dominasi rezim.

Demonstrasi: Fiqh Perlawanan dalam Format Modern

Pertanyaannya, bagaimana konsep bughat diterapkan dalam konteks negara modern yang menganut sistem demokrasi dan konstitusi? Jawabannya: bentuknya bergeser dari perlawanan bersenjata menjadi perlawanan sipil non-kekerasan, seperti demonstrasi. Dalam bahasa Arab kontemporer, demonstrasi disebut al-muẓāharah, dan banyak ulama kontemporer telah mengkaji hukumnya.

Yusuf al-Qaradāwī (1997) menegaskan bahwa demonstrasi adalah bentuk amar ma‘rūf nahi munkar kolektif yang dibolehkan, selama tidak menimbulkan kerusakan. Dalam beberapa fatwa Majma‘ al-Fiqh al-Islāmī, demonstrasi damai dianggap sebagai alat sah menuntut hak politik dan sosial. Dalilnya jelas: selama tidak mengandung kekerasan, tidak merusak harta publik, dan bertujuan menegakkan keadilan, maka demonstrasi termasuk dalam kategori jihād al-silmī (perlawanan damai).

Bahkan dalam konteks hukum positif Indonesia, demonstrasi diakui sebagai hak konstitusional warga negara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3. Dengan demikian, demonstrasi bukan bughat, tetapi bentuk al-nuṣḥ li al-ḥākim (nasihat kepada penguasa) secara publik.

Namun demikian, tidak semua ulama sepakat. Ulama salafi seperti al-Albānī (1999) menolak demonstrasi karena dianggap menyerupai fitnah dan berpotensi menimbulkan kekacauan. Mereka berargumen bahwa demonstrasi tidak dikenal pada masa salaf, sehingga tidak memiliki legitimasi syar‘i. Akan tetapi argumen ini dapat dijawab dengan kaidah fiqh al-‘ādah muḥakkamah (kebiasaan yang baik dapat menjadi hukum), serta prinsip al-wasā’il ta’khudhu ḥukm al-maqāṣid (cara mengikuti hukum tujuan). Jika tujuan demonstrasi adalah keadilan, maka sarana damai seperti aksi massa tidak bisa serta-merta diharamkan.

Bughat versus Demonstrasi: Dua Jalan, Satu Tujuan

Dalam sejarah Islam klasik, berbagai peristiwa bughat terjadi sebagai respons terhadap krisis legitimasi politik. Perang Shiffīn (657 M) antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah sering dijadikan rujukan utama. Ali sebagai khalifah sah harus menghadapi pemberontakan politik Mu’awiyah yang menolak baiat. Para ulama menyebut kelompok Mu’awiyah sebagai ahl al-baghy, namun Ali tetap memperlakukan mereka dengan hormat. Bahkan ketika terjadi pertempuran, Ali melarang pengikutnya mengambil rampasan perang atau menyiksa tawanan. Ini menunjukkan bahwa fiqh bughat memiliki nilai etik yang tinggi: perlawanan boleh dilakukan, tetapi martabat manusia tetap dijaga.

Sebaliknya dalam konteks modern, perlawanan rakyat lebih sering hadir dalam bentuk demonstrasi. Gerakan Reformasi 1998 di Indonesia adalah contoh bagaimana demonstrasi damai bisa melahirkan perubahan besar tanpa menggunakan senjata. Mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, menyampaikan aspirasi dengan orasi dan poster, dan akhirnya rezim Orde Baru tumbang. Dari perspektif fiqh, ini sejalan dengan kaidah idā ta‘āraḍat al-mafsadatāni ru‘iya a‘ẓamuhumā irtikāban wa asgharuhumā irtikāban (jika ada dua kerusakan, pilih yang lebih kecil). Demonstrasi memiliki risiko instabilitas sementara, tetapi kezaliman rezim jauh lebih besar mudaratnya.

Hal serupa juga terjadi dalam Arab Spring. Tunisia dan Mesir berhasil menggulingkan diktator melalui aksi damai massal. Namun di Libya dan Suriah, demonstrasi berubah menjadi perang saudara — dari muẓāharah menjadi bughat modern. Pelajaran pentingnya: fiqh perlawanan tidak hanya bicara hak melawan, tetapi juga tanggung jawab menjaga agar perlawanan tidak melahirkan kerusakan lebih besar.

Perbedaan antara bughat dan demonstrasi:

AspekBughat (Klasik)Demonstrasi (Modern)
SaranaSenjataOrasi, poster, long march
TujuanMengganti penguasaMengoreksi kebijakan
StatusDiatur fiqh klasikHasil ijtihad kontemporer
RisikoPerang saudaraInstabilitas sementara

Meskipun berbeda jalur, keduanya memiliki semangat yang sama: melawan kezaliman dan menegakkan keadilan. Dalam konteks sekarang, demonstrasi lebih dekat pada prinsip minimal mafsadah sehingga lebih diutamakan dibanding bughat.

Prinsip Fiqh Perlawanan: Melawan Tanpa Menghancurkan

Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam menawarkan jalan tengah perlawanan: tidak mengajarkan kepasrahan buta terhadap kezaliman, tetapi juga tidak mendorong kekerasan destruktif. Bughat adalah model klasik perlawanan bersenjata dalam konteks kekhalifahan absolut. Demonstrasi adalah model kontemporer perlawanan sipil dalam konteks negara bangsa modern. Keduanya memiliki legitimasi jika bertujuan menegakkan keadilan dan dilakukan dengan cara yang proporsional.

Fiqh Siyasah menawarkan rumusan jalan tengah:

  • Jika penguasa adil → wajib taat.
  • Jika penguasa zalim tetapi masih menjaga syariat → boleh dikritik dan dinasihati.
  • Jika penguasa zalim dan memaksa maksiat → wajib ditolak dengan kata-kata.
  • Jika kezaliman sistemik dan merusak → boleh melakukan perlawanan, namun prioritasnya damai.

Fiqh siyasah tidak hanya mengatur bagaimana taat, tetapi juga bagaimana melawan secara bermartabat. Fiqh perlawanan bukan fiqh pemberontakan, melainkan fiqh pengawalan moral terhadap kekuasaan. Karena itu, umat Islam idealnya menjadi warga negara yang taat terhadap hukum yang adil, tetapi berani bersuara terhadap kebijakan yang zalim. Inilah makna sejati dari sabda Nabi:

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ

“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia menasihatinya dan penguasa itu membunuhnya.” (HR. al-Ḥākim)

Hadis ini menunjukkan bahwa keberanian moral melawan kezaliman memiliki kedudukan setara dengan jihad fisik di medan perang. Maka umat Islam tidak cukup hanya menjadi ra‘āyah (rakyat), tetapi harus menjadi shuhadā’ (saksi kebenaran). Jika taat, maka taatlah dengan martabat. Jika melawan, maka lawanlah dengan akhlak.

Penutup

Fiqh siyasah Islam bukan hanya kumpulan hukum kering tentang penguasa dan rakyat, melainkan panduan etika peradaban. Ia tidak sekadar mengatur kapan rakyat harus taat, tetapi juga kapan mereka wajib bersuara. Bughat dalam fiqh klasik dan demonstrasi dalam konteks modern merupakan dua wajah dari satu realitas: bahwa Islam tidak pernah mematikan keberanian moral untuk menolak kezaliman. Namun keberanian itu harus berjalan seiring dengan kebijaksanaan, karena perlawanan tanpa etika hanya akan melahirkan kerusakan yang lebih besar.

Seorang muslim idealnya memiliki dua sikap sekaligus: rendah hati ketika taat, dan bermartabat ketika menolak. Ia tidak tunduk karena takut, tetapi tunduk karena sadar. Ia tidak melawan karena benci, tetapi melawan karena cinta pada keadilan. Dalam kerangka inilah fiqh perlawanan harus dipahami—bukan sebagai legitimasi pemberontakan semata, tetapi sebagai mekanisme koreksi ilahiah terhadap kekuasaan yang menyimpang dari amanah.

Pada akhirnya, umat Islam tidak dituntut untuk selalu menang dalam perlawanan, tetapi dituntut untuk tetap berdiri di pihak yang benar, entah dengan ketundukan yang ikhlas atau dengan resistensi yang bermartabat. Selama keadilan menjadi tujuannya dan kemaslahatan umat menjadi kompasnya, maka baik bughat maupun demonstrasi dapat menjadi ibadah. Karena dalam pandangan Islam, kekuasaan bukanlah tujuan; keadilanlah yang menjadi takhta tertinggi dari semua perjuangan. Wallahu’alam.

Irwan Syaiful Sati (Mahasiswa Prodi HTN UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif.com adalah media akademik yang digagas dan dikelola oleh Ibu Sylvia Kurnia Ritonga, Lc., M.Sy (Dosen UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) sejak awal tahun 2024. Website ini memuat kumpulan materi perkuliahan, rangkuman diskusi, serta hasil karya mahasiswa yang diperkaya melalui proses belajar di kelas. Kehadirannya tidak hanya membantu mahasiswa dalam memperdalam pemahaman, tetapi juga membuka akses bagi masyarakat luas untuk menikmati ilmu pengetahuan secara terbuka.

5 komentar pada “Dosa atau Jihad, Hukum Bughat dan Demonstrasi dalam Islam

  • Dodi al fajri

    Dalam fiqh, bagaimana posisi hukum terhadap pemberontakan yang muncul karena ketidakadilan pemerintah (bughat bi al-haqq)?

    Balas
  • Aminah Cendra Kasih Pardede

    Apa hukuman yang diberikan kepada orang yang dianggap bughat atau memberontak terhadap pemerintahan Islam?

    Balas
  • Wilda hasibuan

    Bagaimana pandangan fiqih klasik kontemporer terhadap demonstrasi sebagai bentuk perlawanan terutama terhadap sistem format modren yang di anggap tidak sesuai dengan nilai nilai islam

    Balas
  • Islam adalah agama yang cinta damai, pertanyaannya adalah apakah boleh melakukan demonstrasi yang menimbulkan kerusuhan bahkan sampai adanya korban jiwa ketika untuk membela kebenaran dan menegakkan keadilan?

    Balas
  • Pinta marito lubis

    1.Apa implikasi hukum Islam bagi mereka yg melakukan demonstrasi yg tidak sah ?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *