Kedudukan Warisan Anak Angkat dan Anak Zina Menurut Islam
TATSQIF ONLINE – Hukum waris dalam Islam merupakan bagian penting dari syariat yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang setelah wafat kepada ahli waris yang sah. Ketentuan ini bersumber dari Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama, serta dirancang untuk menjaga keadilan dan kesinambungan hak dalam keluarga. Namun, dalam praktik kehidupan sosial, muncul pertanyaan mengenai status anak angkat dan anak zina dalam hukum waris Islam.
Keduanya sering kali terlibat dalam dinamika keluarga, namun memiliki status nasab yang berbeda dari anak kandung dalam pandangan syariat. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana Islam memandang warisan bagi anak angkat dan anak zina, serta bagaimana solusi alternatif yang sesuai syariat dapat diterapkan dalam rangka memenuhi nilai kasih sayang, tanggung jawab, dan keadilan.
Pengertian Anak Angkat dan Anak Zina
Secara etimologis, “anak angkat” berasal dari bahasa Belanda “adoptie” atau “adoption” dalam bahasa Inggris, yang berarti mengangkat anak orang lain dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Dalam bahasa Arab, istilah yang digunakan adalah tabanni (التبني), yang berarti mengambil seseorang sebagai anak.
Sementara itu, anak zina adalah anak yang lahir dari perbuatan zina, yaitu hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan di luar pernikahan yang sah. Menurut Amir Syarifuddin dalam buku Hukum Kewarisan Islam halaman 148, anak zina adalah anak yang lahir dari suatu perbuatan zina, meskipun lahir dalam suatu perkawinan yang sah secara negara, tetapi tetap tidak sah secara syar’i.
Adapun menurut Wahbah az-Zuhaili dalam Ahkamul Mawaris fi al-Fiqh al-Islami, anak zina adalah anak yang lahir bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar’i, atau buah dari hubungan haram antara laki-laki dan perempuan.
BACA JUGA: Status dan Hak Anak Angkat, Anak Pungut, dan Anak Hasil Zina
Status Hukum Anak Angkat dalam Warisan
Islam memperbolehkan pengangkatan anak dengan syarat tidak mengubah status nasabnya. Anak angkat tidak boleh dinasabkan kepada orang tua angkatnya karena nasab merupakan ketetapan syariat yang tidak dapat diubah oleh manusia. Firman Allah dalam Surah Al-Ahzab ayat 4 menjadi dasar utama:
مَا جَعَلَ اللّٰهُ لِرَجُلٍ مِّنْ قَلْبَيْنِ فِيْ جَوْفِهٖ ۚوَمَا جَعَلَ اَزْوَاجَكُمُ الّٰـِٕۤيْ تُظٰهِرُوْنَ مِنْهُنَّ اُمَّهٰتِكُمْ ۚوَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ
Artinya: “Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”
Berdasarkan ayat tersebut, anak angkat tidak berhak menjadi ahli waris karena tidak memiliki hubungan nasab. Namun, dalam konteks hukum Islam di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam mengakomodasi hal ini melalui ketentuan wasiat wajibah. Dalam Pasal 209 ayat (2) KHI dinyatakan bahwa anak angkat dapat memperoleh wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan jika tidak mendapatkan wasiat secara khusus dari orang tua angkatnya.
Majelis Ulama Indonesia juga memberikan fatwa bahwa anak angkat tidak dapat mewarisi secara langsung dari orang tua angkatnya, tetapi dapat diberikan hak melalui wasiat wajibah sesuai ketentuan hukum.
Status Hukum Anak Zina dalam Warisan
Dalam syariat Islam, anak zina hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Sabda Rasulullah ﷺ yang berikut ini menjadi dasar hukum utama:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
Artinya: “Anak itu milik pemilik ranjang (suami yang sah), dan bagi pezina hanya batu (kerugian).” (HR Bukhari dan Muslim).
Pendapat mayoritas ulama, termasuk Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i, menyatakan bahwa anak zina tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, tetapi dengan ibunya. Oleh karena itu, ia hanya bisa mewarisi dari ibunya dan kerabat ibunya, tidak dari ayahnya.
Imam Ahmad bin Hanbal juga memiliki pandangan serupa, yakni anak zina tetap berhak mewarisi dari ibunya karena dianggap sebagai ahli waris (ashabah). Adapun menurut Imam Ibn Hazm, anak zina tidak memiliki hak waris dari ayahnya karena tidak ada hubungan nasab syar’i.
Diperkuat pula dengan hadis Nabi berikut ini:
أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا، لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرِثُ
Artinya: “Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan tidak diwarisi.” (HR Tirmidzi).
Solusi Alternatif dalam Bingkai Syariat
Meskipun anak angkat dan anak zina tidak memiliki hak waris secara langsung karena tidak adanya hubungan nasab, Islam tetap memberikan ruang untuk keadilan dan kasih sayang melalui alternatif yang dibenarkan syariat.
- Hibah: Orang tua angkat atau ayah biologis dapat memberikan harta kepada anak angkat atau anak zina ketika masih hidup sebagai bentuk kasih sayang dan tanggung jawab. Ini berlaku sah selama dilakukan saat pemberi masih hidup dan dilakukan tanpa paksaan.
- Wasiat Wajibah: Anak angkat dapat menerima bagian melalui wasiat wajibah, maksimal 1/3 dari harta peninggalan, sebagaimana diatur dalam KHI dan telah dipraktikkan dalam hukum positif di Indonesia.
- Pengakuan Nafkah: Meskipun anak zina tidak berhak waris dari ayah biologisnya, jika ayah tersebut mengakui dan ingin memberikan hak ekonomi seperti nafkah, hal ini dibolehkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan hukum waris Islam.
Solusi-solusi ini menunjukkan bahwa Islam tidak menutup pintu kasih sayang, selama tidak melanggar prinsip syariat dan keadilan dalam pembagian warisan.
Kesimpulan
Dalam hukum waris Islam, anak angkat dan anak zina memiliki status yang berbeda dari anak kandung. Anak angkat tidak mewarisi dari orang tua angkat karena tidak ada hubungan nasab. Sementara anak zina hanya dapat mewarisi dari ibunya, bukan dari ayah biologisnya. Namun, Islam menyediakan solusi alternatif yang adil melalui hibah dan wasiat wajibah, sehingga hak-hak sosial dan kasih sayang tetap dapat terwujud tanpa mengorbankan ketentuan syariat. Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan ketegasan hukum Islam, tetapi juga kelembutan ajaran dalam menyantuni anak-anak dalam situasi sosial yang kompleks. Wallahua’lam.
Nurfadilah Simatupang (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Dalam konstruksi hukum waris Islam, sejauh mana legitimasi status anak angkat dan anak zina memengaruhi hak warisnya, dan bagaimana ulama kontemporer menafsirkan posisi keduanya dalam sistem nasab dan distribusi harta peninggalan?
Dalam konstruksi hukum waris Islam, sejauh mana legitimasi status anak angkat dan anak zina memengaruhi hak warisnya, dan bagaimana ulama kontemporer menafsirkan posisi keduanya dalam sistem nasab dan distribusi harta peninggalan?
Pertanyaan tersebut menanyakan sejauh mana status anak angkat dan anak hasil zina memengaruhi hak waris mereka dalam hukum waris Islam, serta bagaimana pandangan ulama kontemporer terhadap posisi keduanya dalam sistem nasab dan distribusi harta peninggalan.
Tentu sangat mempengaruhi karena hak waris sangat dipengaruhi oleh nasab, sementara itu anak angkat dan anak zina dalam syariat Islam tidak dapat dinasabkan kepada orang tua angkatnya, sesuai dengan Qur’an surah al-ahzab ayat 5. Begitu juga dengan anak zina secara syariat tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya..hanya kepada ibunya saja..sesuai dengan hadis Rasulullah SAW
Namun, anak angkat dapat memperoleh bagian dari harta orang tua angkat melalui **wasiat wajibah**, yaitu pemberian harta dari orang tua angkat yang tidak melebihi sepertiga dari total harta warisan.
Anak hasil zina dalam hukum waris Islam tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, sehingga tidak berhak menerima warisan dari ayah tersebut. Namun, negara dapat mewajibkan ayah biologis untuk memberikan nafkah dan wasiat wajibah kepada anak tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menegaskan bahwa anak hasil zina tidak memiliki hak waris dari ayah biologisnya, tetapi ayah tersebut tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup anak tersebut.
Ulama kontemporer menafsirkan posisi anak angkat dan anak hasil zina dengan pendekatan yang mempertimbangkan prinsip-prinsip syariat dan konteks sosial. Mereka menekankan pentingnya niat baik dalam pengangkatan anak dan perlunya dokumentasi hukum yang jelas. Mereka juga mendorong agar masyarakat memahami bahwa meskipun anak angkat dan anak hasil zina tidak memiliki hak waris secara otomatis, mereka tetap berhak atas kasih sayang dan perhatian dari orang tua angkat atau ayah biologisnya.
Pertanyaan tersebut menanyakan sejauh mana status anak angkat dan anak hasil zina memengaruhi hak waris mereka dalam hukum waris Islam, serta bagaimana pandangan ulama kontemporer terhadap posisi keduanya dalam sistem nasab dan distribusi harta peninggalan.
Tentu sangat mempengaruhi karena hak waris sangat dipengaruhi oleh nasab, sementara itu anak angkat dan anak zina dalam syariat Islam tidak dapat dinasabkan kepada orang tua angkatnya, sesuai dengan Qur’an surah al-ahzab ayat 5. Begitu juga dengan anak zina secara syariat tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya..hanya kepada ibunya saja..sesuai dengan hadis Rasulullah SAW
Namun, anak angkat dapat memperoleh bagian dari harta orang tua angkat melalui wasiat wajibah yaitu pemberian harta dari orang tua angkat yang tidak melebihi sepertiga dari total harta warisan.
Anak hasil zina dalam hukum waris Islam tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, sehingga tidak berhak menerima warisan dari ayah tersebut. Namun, negara dapat mewajibkan ayah biologis untuk memberikan nafkah dan wasiat wajibah kepada anak tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menegaskan bahwa anak hasil zina tidak memiliki hak waris dari ayah biologisnya, tetapi ayah tersebut tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup anak tersebut.
Ulama kontemporer menafsirkan posisi anak angkat dan anak hasil zina dengan pendekatan yang mempertimbangkan prinsip-prinsip syariat dan konteks sosial. Mereka menekankan pentingnya niat baik dalam pengangkatan anak dan perlunya dokumentasi hukum yang jelas. Mereka juga mendorong agar masyarakat memahami bahwa meskipun anak angkat dan anak hasil zina tidak memiliki hak waris secara otomatis, mereka tetap berhak atas kasih sayang dan perhatian dari orang tua angkat atau ayah biologisnya.
Dalam hal seorang anak zina telah diakui dan dibesarkan oleh ayah biologisnya, apakah itu mengubah hak warisnya menurut syariat?
Dalam hukum waris Islam, pengakuan seorang ayah biologis terhadap anak hasil zina tidak mengubah status nasab anak tersebut. Anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya, bukan dengan ayah biologisnya. Meskipun ayah biologis mengakui dan membesarkan anak tersebut, secara syariat Islam, anak tersebut tetap tidak memiliki hak waris dari ayah biologisnya.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 11 Tahun 2012 menegaskan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya. Meskipun ayah biologis mengakui anak tersebut, hukum Islam tidak mengakui hubungan nasab tersebut karena pernikahan yang sah merupakan syarat mutlak untuk terbentuknya ikatan nasab secara syar’i .([Santri Pos Media][2], [Badilag][3], [Era Madani][4])
Namun, dalam konteks sosial dan moral, Islam mendorong ayah biologis untuk bertanggung jawab terhadap anak hasil zina dengan cara yang sesuai dengan syariat. Misalnya, memberikan nafkah dan pendidikan yang layak, serta mendukung kesejahteraan anak tersebut tanpa mengklaim hubungan nasab yang tidak sah. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam untuk menjaga martabat dan hak-hak anak, serta mencegah percampuran nasab yang tidak sah.
Bagaimana cara Islam menjaga keadilan dalam pembagian warisan kepada anak-anak yang memiliki status hukum berbeda?