Status dan Hak Anak Angkat, Anak Pungut, dan Anak Hasil Zina
TATSQIF ONLINE – Anak adalah anugerah terindah yang diberikan oleh Allah SWT kepada pasangan suami istri. Kehadiran seorang anak bukan hanya pelengkap dalam sebuah keluarga, tetapi juga amanah besar yang harus dijaga dan dididik sesuai dengan nilai-nilai yang mulia. Anak menjadi generasi penerus yang diharapkan melanjutkan keturunan dan nilai-nilai keluarga yang baik.
Namun, dalam realitasnya, ada banyak pasangan yang tidak dikaruniai anak karena berbagai faktor, baik fisik maupun psikologis. Dalam situasi seperti ini, salah satu solusi yang umum dilakukan adalah melalui adopsi atau pengangkatan anak.
Dalam perspektif hukum Islam, ada beberapa konsep yang berkaitan dengan anak angkat, anak pungut, dan anak hasil zina. Ketiga jenis anak ini memiliki status hukum dan pengaturan yang berbeda dalam Islam, yang bertujuan untuk melindungi hak-hak anak serta menegakkan keadilan dalam keluarga dan masyarakat. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut tentang konsep-konsep tersebut beserta dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis.
Definisi Anak Angkat, Anak Pungut, dan Anak Hasil Zina
1. Anak Angkat
Secara etimologis, “anak angkat” berasal dari bahasa Belanda “adoptie” atau “adoption” dalam bahasa Inggris, yang berarti mengangkat anak orang lain dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Dalam bahasa Arab, istilah yang digunakan adalah “tabanni” (التبني), yang secara harfiah berarti “mengambil seseorang sebagai anak.”
Anak angkat dalam hukum positif Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007. Definisi anak angkat adalah anak yang hak dan tanggung jawabnya dialihkan dari orang tua kandungnya kepada orang tua angkat melalui putusan pengadilan.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 171 huruf h menyatakan bahwa “anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.”
Islam membolehkan pengangkatan anak, namun tidak memperkenankan perubahan nasab atau pengakuan nasab bagi anak angkat. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 4-5:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ ۚ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ ۖ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ ۖ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
Artinya: “Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istri kalian yang kalian zihar itu sebagai ibu kalian, dan Dia juga tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian dengan mulut kalian sendiri; dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia memberi petunjuk ke jalan (yang benar).”
2. Anak Pungut
Anak pungut atau “laqiith” (لقيط) adalah anak yang ditemukan dalam keadaan terlantar dan tidak diketahui asal-usulnya. Dalam fiqih, anak pungut dianggap sebagai anak yang ditemukan tanpa nasab yang jelas. Menurut madzhab Hanafi, laqiith adalah seorang anak yang dibuang oleh keluarganya karena faktor ekonomi atau untuk menghindari aib.
Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menyatakan bahwa memungut anak seperti ini hukumnya wajib untuk menyelamatkan jiwa. Ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah sangat keras siksaan-Nya.”
Memungut dan merawat anak yang terlantar adalah bentuk tanggung jawab sosial dan merupakan perbuatan baik yang dianjurkan dalam Islam.
3. Anak Hasil Zina
Anak hasil zina adalah anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan yang sah. Menurut ajaran Islam, perbuatan zina adalah dosa besar, dan anak yang lahir dari hubungan zina tidak berhak dinasabkan kepada ayah biologisnya. Mereka hanya dinasabkan kepada ibunya. Rasulullah ﷺ bersabda:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
Artinya: “Anak itu milik tempat tidur (suami yang sah), sedangkan pezina hanya mendapatkan kerugian (tidak memiliki hak nasab),” (HR Bukhari dan Muslim).
Anak hasil zina memiliki hak untuk dihormati, dilindungi, dan mendapatkan perlakuan adil, meskipun status nasabnya tidak diakui oleh ayah biologisnya. Dalam masalah perwalian, anak hasil zina tidak bisa diwalikan oleh ayah biologisnya, tetapi melalui pengadilan atau pihak keluarga yang lain.
Perbedaan Anak Angkat, Anak Pungut, dan Anak Hasil Zina
1. Status Nasab
Anak Angkat: Tidak memiliki nasab dengan orang tua angkat. Nasab tetap kepada orang tua kandung.
Anak Pungut: Nasabnya tidak diketahui, sehingga hanya memiliki status sosial tanpa nasab.
Anak Hasil Zina: Nasab hanya ke ibu kandung, tidak kepada ayah biologis.
2. Hak Waris
Anak Angkat: Tidak memiliki hak waris dari orang tua angkat, kecuali diberikan melalui wasiat atau hibah.
Anak Pungut: Tidak memiliki hak waris kecuali ada penetapan dari pengadilan.
Anak Hasil Zina: Tidak memiliki hak waris dari ayah biologisnya, tetapi bisa mendapatkan warisan dari ibunya.
3. Perwalian dalam Pernikahan
Anak Angkat: Wali nikah adalah wali nasab, bukan orang tua angkat.
Anak Pungut: Wali nikahnya sesuai keputusan pengadilan.
Anak Hasil Zina: Tidak bisa diwalikan oleh ayah biologis; pengadilan akan menentukan wali nikah.
Kesimpulan
Islam menghargai dan melindungi setiap hak dan kehormatan anak, baik itu anak angkat, anak pungut, maupun anak hasil zina. Anak-anak ini berhak mendapatkan perlakuan yang baik, penuh kasih sayang, dan tidak boleh didiskriminasi. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) dan orang tuanyalah yang berperan dalam membentuk mereka.
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi,” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, perhatian terhadap anak-anak ini adalah bagian dari tanggung jawab sosial untuk menjaga martabat dan memberikan perlindungan kepada setiap individu tanpa terkecuali. Perlakuan yang adil terhadap anak-anak, apapun status mereka, merupakan implementasi dari ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Wallahua’lam.
Imam Ritonga (Mahasiwa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)