Memahami Takdir: Antara Iman, Usaha, dan Tanggung Jawab
TATSQIF ONLINE – Dalam kehidupan manusia, banyak peristiwa terjadi tanpa dapat diduga atau dikendalikan. Kelahiran, kematian, rezeki, bencana, dan ujian hidup merupakan contoh konkret yang sering kali dikaitkan dengan istilah “takdir.” Dalam Islam, meyakini adanya takdir merupakan rukun iman yang tidak boleh diabaikan. Namun, sebagian umat Islam masih salah memahami hakikat takdir, ada yang menggunakannya untuk membenarkan sikap malas, sementara yang lain mempertanyakannya karena tidak mampu menerima kenyataan pahit dalam hidup.
Padahal, pemahaman terhadap takdir dalam Islam sangat erat kaitannya dengan tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan dan kekuasaan Allah. Allah adalah Al-‘Alim (Maha Mengetahui) dan Al-Qadir (Maha Kuasa), yang menetapkan segala sesuatu sesuai dengan kehendak dan ilmu-Nya. Maka, memahami iman kepada takdir secara benar akan membentuk kepribadian Muslim yang seimbang antara keyakinan spiritual dan tanggung jawab moral dalam bertindak.
Definisi Qadha dan Qadar
Dalam terminologi akidah, qadha dan qadar memiliki makna yang saling melengkapi. Qadha berarti ketetapan Allah terhadap sesuatu sejak azali, sedangkan qadar berarti pelaksanaan ketetapan itu dalam kenyataan. Syekh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijri dalam kitab Mausu’ah al-Fiqh al-Islami menjelaskan bahwa qadha adalah keputusan Allah atas segala sesuatu secara umum, sementara qadar adalah perinciannya dalam waktu dan tempat tertentu.
Allah berfirman dalam Alquran Surah Al-Qamar 49:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
Ibnu Qudamah dalam Lum’atul I’tiqad menegaskan bahwa semua takdir telah ditulis oleh Allah dalam Lauhul Mahfuz, menunjukkan bahwa tidak ada satu pun kejadian di dunia ini yang luput dari ilmu dan kehendak-Nya.
Rukun Iman kepada Takdir
Para ulama menyebut bahwa iman kepada takdir mencakup empat tingkatan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
- Ilmu: Keyakinan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, baik yang telah, sedang, dan akan terjadi.
- Penulisan: Semua ketetapan Allah telah ditulis di Lauhul Mahfuz.
- Kehendak (Masya’ah): Tidak ada sesuatu yang terjadi kecuali dengan kehendak Allah.
- Penciptaan (Khalq): Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia.
Pemahaman keempat tingkatan ini penting agar seseorang tidak terjatuh pada paham Jabariyah yang menafikan kehendak manusia, ataupun Qadariyah yang mengingkari kekuasaan Allah.
Jenis-Jenis Takdir
Para ulama membedakan takdir menjadi dua jenis:
- Takdir Mubram: Ketentuan yang tidak bisa berubah, seperti ajal dan jenis kelamin.
- Takdir Muallaq: Takdir yang berkaitan dengan usaha dan doa manusia. Contohnya, keberhasilan seseorang tergantung pada usahanya dan takwa kepada Allah.
Dalam Fathul Majid karya Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, disebutkan bahwa takdir muallaq menunjukkan adanya hubungan antara sebab dan akibat dalam kehidupan manusia. Karena itu, usaha dan doa dapat memengaruhi takdir, selama hal tersebut sesuai dengan kehendak Allah.
Manusia dan Kehendak Bebas
Islam mengajarkan bahwa manusia diberi akal dan kehendak bebas. Allah berfirman dalam Alquran Surah At-Taubah ayat 105:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ
Artinya: “Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu.'”
Syekh Muhammad Shalih al-Utsaimin dalam Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah menjelaskan bahwa kehendak manusia diciptakan Allah, namun pilihan-pilihan itu tetap merupakan perbuatan manusia sendiri yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Maka, iman kepada takdir tidak menafikan tanggung jawab pribadi.
Hikmah Beriman kepada Takdir
Iman kepada qadha dan qadar menumbuhkan berbagai sikap positif:
- Ridha dan sabar dalam menerima musibah.
- Tawakal dan optimis dalam menjalani hidup.
- Tidak sombong ketika berhasil, dan tidak putus asa saat gagal.
- Semangat untuk berusaha, karena hasil diserahkan kepada Allah.
Syekh Abdurrahman As-Sa’di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman menyatakan bahwa siapa yang memahami takdir, ia akan hidup tenang karena tahu bahwa semua urusan sudah diatur oleh Zat Yang Maha Bijaksana.
Takdir dan Doa
Banyak hadits menunjukkan bahwa doa dapat mengubah takdir. Nabi SAW bersabda:
لا يردُّ القضاءَ إلَّا الدُّعاءُ ، ولا يزيدُ في العمرِ إلَّا البرُّ
Artinya: “Tidak ada yang dapat menolak ketetapan (qadha) selain doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur selain kebaikan,” (HR. Tirmidzi)
Imam Ibnul Qayyim dalam al-Jawab al-Kafi menjelaskan bahwa takdir tidak bertentangan dengan sebab, dan doa adalah salah satu sebab terbesar yang Allah tetapkan untuk mencapai kebaikan atau menolak keburukan.
Takdir dalam Kehidupan Nabi dan Sahabat
Kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menjadi contoh terbaik dalam menyikapi takdir. Dalam Perang Uhud, mereka merenungi kekalahan sebagai akibat dari pelanggaran perintah Nabi, bukan menyalahkan takdir semata. Dalam Perang Badar, mereka tetap berjuang meski jumlah musuh lebih banyak, menunjukkan bahwa ikhtiar dan tawakal harus berjalan seimbang.
Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah menuturkan bahwa kemenangan dalam Perang Badar adalah hasil dari kesungguhan, strategi, dan pertolongan Allah yang sesuai dengan hikmah-Nya.
Takdir dan Tanggung Jawab Moral
Islam menekankan pentingnya tanggung jawab pribadi. Allah berfirman dalam Alquran Surah Az-Zalzalah ayat 7–8:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Artinya: “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, akan melihatnya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah, akan melihatnya.”
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa menyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan sesuatu kecuali setelah memberikan kemampuan kepada manusia. Maka, tidak ada alasan untuk berbuat salah dengan dalih takdir.
Relevansi Takdir dalam Konteks Modern
Dalam dunia modern yang penuh ketidakpastian, iman kepada takdir memberi kekuatan psikologis. Seorang Muslim yang memahami takdir tidak mudah stres atau depresi, karena ia yakin Allah mengatur segalanya dengan penuh hikmah.
Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam Al-Iman bil-Qadha wal-Qadar menegaskan bahwa iman kepada takdir adalah sumber ketenangan dan kebangkitan spiritual dalam menghadapi perubahan zaman.
Kesimpulan
Iman kepada qadha dan qadar merupakan pokok ajaran tauhid yang menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi atas ilmu, kehendak, dan kekuasaan Allah. Takdir terbagi menjadi yang tetap (mubram) dan yang dapat berubah melalui usaha dan doa (muallaq). Islam menekankan bahwa manusia tetap memiliki kehendak bebas dan tanggung jawab atas perbuatannya, sehingga tidak dibenarkan menjadikan takdir sebagai alasan untuk bermalas-malasan atau berbuat salah.
Pemahaman yang benar terhadap takdir akan menumbuhkan sikap sabar, tawakal, dan optimis dalam menghadapi ujian hidup, serta mendorong manusia untuk terus berusaha dan berdoa seraya menyerahkan hasilnya kepada Allah yang Maha Bijaksana. Wallahua’lam.
Salma Damayanti (Mahasiswa Prodi Teknologi Informasi UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Apakah yang harus kita lakukan jika takdir yang ditetapkan Allah tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan? Jelaskan bagaimana cara kita menerima takdir tersebut!
Jika takdir sudah ditentukan oleh Allah, sejauh mana usaha manusia bisa memengaruhi hasil akhirnya, tanpa melawan kehendak-Nya ?
ada yang mengatakan bahwa jodoh dan itu sudah di tentukan oleh Allah SWT dari sebelum kita di lahirkan ke dunia, sehingga kita tidak perlu mencari nya karna jodoh pasti akan datang sendiri, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa jodoh itu harus diusahakan jika kita tidak mengusahakannya kita tidak akan berjodoh dengan nya.
menurut pemateri pernyataan yang manakah yang lebih relevan?
Seseorang yang diagnosis sakit parah tetapi akhirnya sembuh berkat pengobatan dan doa yang dipanjatkan
Bagaimana contoh nyata dari kehidupan nabi muhammad saw menunjukkan penerimaan terhadap takdir tanpa kehilangan semangat juang?
Sejauh mana peran doa dalam mengubah takdir? Apakah semua takdir bisa berubah melalui doa dan usaha?
Banyak orang sukses mengatakan “hasil tidak akan mengkhianati usaha.” Bagaimana pandangan Islam menanggapi pernyataan ini dalam konteks takdir?