Ketentuan Waris Saat Meninggal Bersamaan dalam Islam, Simak
TATSQIF ONLINE – Ilmu faraidh atau ilmu pembagian warisan dalam Islam merupakan salah satu cabang penting dalam fiqh yang mengatur harta peninggalan seseorang setelah wafat. Ketentuan-ketentuannya bersifat pasti, rinci, dan adil karena bersumber langsung dari Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ ulama. Namun, dalam praktiknya, sering muncul kasus-kasus kompleks yang menuntut kajian mendalam.
Salah satunya adalah ketika dua orang atau lebih yang memiliki hubungan kewarisan meninggal dunia dalam waktu bersamaan, seperti dalam kecelakaan, bencana alam, atau kebakaran. Dalam terminologi fiqh, hal ini dikenal dengan istilah taʿāruḍ fī al-maut (pertentangan dalam penentuan kematian). Kasus ini menjadi tantangan tersendiri karena urutan kematian sangat menentukan hak pewarisan.
Ketentuan Pewarisan dalam Kematian Bersamaan
Para ulama sepakat bahwa jika dua orang atau lebih yang saling mewarisi meninggal dalam waktu yang bersamaan dan tidak diketahui secara pasti siapa yang wafat terlebih dahulu, maka tidak berlaku saling mewarisi di antara mereka. Artinya, masing-masing dianggap meninggal sendiri-sendiri tanpa mewarisi satu sama lain.
Dasar Hukum
1. Kaedah Fiqhiyah:
اليقين لا يزول بالشك
Artinya: “Keyakinan tidak hilang karena keraguan.”
Dalam kasus ini, karena tidak ada kepastian siapa yang wafat lebih dahulu, maka tidak dapat ditetapkan saling mewarisi. Kaidah ini menjadi dasar utama dalam menetapkan ketidakberlakuan warisan antar mereka.
2. Dalil Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ
Artinya: “Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu…”
Ayat ini memberikan isyarat penting bahwa pewarisan harus didasarkan pada hubungan yang jelas dan urutan kematian yang pasti. Jika salah satu pihak tidak dapat dibuktikan mendahului, maka hak waris tidak bisa berlaku.
3. Ijma’ Ulama:
Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menyatakan bahwa jika tidak diketahui urutan kematian antara dua orang yang saling mewarisi, maka tidak berlaku saling waris. Mereka mendasarkan pendapat ini pada prinsip ihtiyath (kehati-hatian) dalam menetapkan hak-hak yang berkonsekuensi hukum besar seperti warisan.
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni menjelaskan bahwa jika dua orang meninggal dalam waktu bersamaan dan tidak diketahui siapa yang lebih dahulu wafat, maka tidak ada hak waris di antara mereka dan harta masing-masing diberikan kepada ahli warisnya sendiri. Hal ini ditegaskan pula oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ yang menyebutkan bahwa dalam kasus seperti itu, hukum waris tidak berlaku secara timbal balik.
Contoh Kasus dan Penyelesaian
Seorang ayah dan anak laki-lakinya meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat. Tidak ada saksi yang mengetahui siapa yang meninggal lebih dahulu.
Keduanya tidak saling mewarisi. Harta si ayah dibagikan kepada ahli waris ayah, sedangkan harta si anak dibagikan kepada ahli waris anak. Jika keduanya memiliki harta bersama (misalnya antara suami dan istri), maka harta tersebut dibagi dua, masing-masing bagian menjadi milik pribadi, lalu bagian tersebut dibagikan kepada ahli warisnya masing-masing sesuai ketentuan faraidh.
Dalil Tambahan dari Atsar
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: من مات مع غيره في هدم أو غرق أو حرق ولم يُدرَ من مات أولاً فلا يتوارثان
Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Barang siapa meninggal bersama orang lain dalam peristiwa runtuhan, tenggelam, atau kebakaran, dan tidak diketahui siapa yang wafat lebih dahulu, maka keduanya tidak saling mewarisi.”
Atsar ini diriwayatkan dalam berbagai kitab fiqh waris klasik, seperti yang dijelaskan dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, di mana beliau menyebutkan bahwa pewarisan antar dua orang yang wafat bersamaan tidak dapat diberlakukan karena ketidakpastian urutan kematian.
Pandangan Madzhab
- Mazhab Syafi’i: Menegaskan bahwa tidak berlaku saling mewarisi antara dua orang yang wafat bersamaan. Ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’.
- Mazhab Maliki: Sama dengan mazhab Syafi’i, berdasarkan prinsip kehati-hatian dan kaedah al-ashlu baqa’u ma kana ‘ala ma kana (asalnya tetap sebagaimana adanya).
- Mazhab Hanbali: Sebagaimana dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, mereka sepakat bahwa warisan tidak berlaku jika tidak diketahui siapa yang wafat lebih dahulu.
- Mazhab Hanafi: Ada perbedaan pendapat, sebagian ulama Hanafiyah memperbolehkan untuk memperkirakan urutan kematian dengan indikasi atau bukti medis jika tersedia, namun tetap prinsip umumnya adalah tidak saling mewarisi jika tidak ada bukti kuat.
Kesimpulan
Dalam fiqh mawaris, kejelasan waktu dan urutan kematian sangat menentukan sah atau tidaknya hak waris. Ketika terjadi kematian bersamaan dan tidak diketahui siapa yang wafat lebih dahulu, maka tidak berlaku saling mewarisi. Harta warisan masing-masing dibagikan kepada ahli warisnya secara independen.
Prinsip ini menunjukkan kehati-hatian dalam Islam dalam menjaga keadilan hak milik dan memastikan tidak ada harta yang jatuh ke tangan yang tidak berhak. Penyelesaian seperti ini sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kehati-hatian yang diajarkan dalam syariat Islam, serta menjadi bentuk perlindungan terhadap hak-hak ahli waris yang sah. Wallahua’lam.
Maura Manalu (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Bagaimana ketentuan dalam pembagian waris dalam Islam jika dua atau lebih yang memiliki hubungan ahli waris meninggal dunia secara bersamaan, seperti dalam kecelakaan atau hal lain , dan tidak diketahui siapa yang wafat lebih dahulu? Bagaimana Cara membagi warisanya
Bagaimana analisis fikih terhadap ketentuan waris dalam kasus kematian bersamaan (taʿārud al-mawt) menurut hukum Islam, dan bagaimana implikasinya terhadap keabsahan saling mewarisi di antara para korban yang tidak dapat dipastikan urutan wafatnya?
Bagaimana hukum waris Islam mengatur pembagian harta jika dua atau lebih ahli waris meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan?