Fiqh & Ushul Fiqh

Ushul Fiqh, Ruang Lingkup Kajian, dan Sejarah Perkembangannya

TATSQIF ONLINE – Islam adalah agama yang memiliki sistem hukum paling lengkap, mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia, baik yang bersifat individual maupun sosial. Kehidupan manusia senantiasa bergerak dinamis, melahirkan berbagai persoalan baru yang tidak selalu disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadis. Misalnya, bagaimana status hukum transaksi melalui aplikasi digital, kedudukan bayi tabung, hukum transplantasi organ, hingga masalah ekonomi digital berbasis blockchain. Semua ini tidak ditemukan secara langsung dalam teks wahyu, tetapi Islam memiliki perangkat metodologis untuk menjawab persoalan tersebut.

Di sinilah Ushul Fiqh mengambil peran penting. Ia bukan sekadar cabang ilmu dalam khazanah Islam, tetapi metodologi hukum yang menjembatani teks wahyu dengan realitas sosial. Ushul Fiqh memastikan bahwa hukum Islam tetap relevan dalam setiap zaman tanpa kehilangan landasan normatifnya. Dengan mempelajari Ushul Fiqh, seorang muslim memahami bagaimana hukum digali, mengapa ulama berbeda pendapat, dan bagaimana syariat Islam tetap hadir sebagai solusi atas problem kontemporer.

Definisi Ushul Fiqh

Dari sisi bahasa, kata ushul (أصول) berarti dasar atau fondasi, sementara kata fiqh (فقه) berarti pemahaman yang mendalam. Maka, Ushul Fiqh secara etimologis adalah fondasi bagi pemahaman. Dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan kata fiqh untuk menggambarkan pemahaman yang dalam, sebagaimana dalam firman-Nya:

فَمَا لِ هَـٰٓؤُلَآءِ ٱلْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًۭا

Artinya: “Maka mengapa orang-orang itu (tidak mau mengerti), hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (QS. An-Nisa: 78).

Secara istilah, ulama memiliki definisi yang variatif. Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa menjelaskan bahwa Ushul Fiqh adalah ilmu tentang dalil-dalil syar’i secara global, cara menggunakannya, serta keadaan orang yang berijtihad. Imam al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam menekankan bahwa Ushul Fiqh adalah ilmu tentang kaidah yang membawa pada penetapan hukum syar’i. Abdul Wahhab Khallaf dalam ‘Ilmu Ushul al-Fiqh menyebutkan Ushul Fiqh sebagai ilmu yang menjelaskan kaidah-kaidah metodologis untuk mengetahui hukum syar’i yang bersifat praktis dari dalil yang terperinci.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat dipahami bahwa Ushul Fiqh adalah metodologi hukum Islam yang berfungsi sebagai alat untuk menggali hukum dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan hadis, dengan kaidah-kaidah tertentu.

Tujuan Mempelajari Ushul Fiqh

Ushul Fiqh dipelajari bukan semata-mata untuk kebutuhan akademis, melainkan untuk menjaga keberlangsungan hukum Islam agar selalu hidup dan relevan. Abdul Wahhab Khallaf menegaskan bahwa tujuan utama ilmu ini antara lain:

  1. Menemukan hukum dari dalil. Dengan Ushul Fiqh, seorang faqih mampu membedakan ayat yang bersifat umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, serta mengetahui hukum-hukum yang nasikh dan mansukh.
  2. Memahami agama secara mendalam. Allah berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 122 bahwa sebagian umat Islam harus memperdalam pengetahuan agama. Ini menegaskan pentingnya fiqh dan Ushul Fiqh sebagai pondasi keilmuan.
  3. Menjaga fleksibilitas syariat. Ushul Fiqh membuat hukum Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman. Tanpa metodologi ini, hukum Islam akan dianggap kaku dan tertinggal.
  4. Membentuk pribadi mujtahid. Ilmu ini melatih seseorang untuk berpikir kritis, mandiri, dan objektif dalam menggali hukum, bukan sekadar taqlid pada pendapat ulama terdahulu.

Ruang Lingkup Kajian Ushul Fiqh

Kajian Ushul Fiqh sangat luas. Di antaranya:

  1. Dalil hukum syar’i. Dalil utama meliputi Al-Qur’an dan hadis. Dalil sekunder seperti ijma’ dan qiyas. Adapun dalil pelengkap seperti istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘urf, dan sadd al-dzari’ah.
  2. Ijtihad dan mujtahid. Ushul Fiqh membahas syarat seorang mujtahid, seperti penguasaan bahasa Arab, ilmu tafsir, hadis, kaidah fiqh, dan maqashid al-syari’ah.
  3. Pembahasan hukum syara’. Termasuk hukum taklifi (wajib, sunnah, mubah, makruh, haram) dan hukum wadh’i (sebab, syarat, mani’, rukhsah, azimah).
  4. Metode penalaran hukum. Ada tiga pendekatan utama: bayani (tekstual), ta’lili (rasional), dan istislahi (maslahat).
  5. Cara menyelesaikan pertentangan dalil. Metode yang dipakai adalah al-jam’u wa al-taufiq (kompromi), tarjih (memilih yang lebih kuat), dan nasikh-mansukh.

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

Perkembangan Ushul Fiqh melewati beberapa fase penting:

  1. Masa Nabi Muhammad SAW. Pada masa ini, hukum langsung dijelaskan oleh Nabi. Tidak ada disiplin Ushul Fiqh secara formal.
  2. Masa Sahabat. Para sahabat menggunakan Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Umar bin Khattab terkenal dengan ijtihadnya yang kontekstual, seperti menunda zakat bagi muallaf ketika Islam sudah kuat.
  3. Masa Tabi’in. Pertumbuhan wilayah Islam menimbulkan persoalan baru, melahirkan perbedaan metode antara ahl al-hadits di Madinah dan ahl al-ra’yi di Kufah.
  4. Masa Pembukuan Awal. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mulai merumuskan prinsip-prinsip metodologis meski belum sistematis.
  5. Masa Imam al-Syafi’i. Karya beliau, al-Risalah, menjadi kitab pertama Ushul Fiqh yang menguraikan kedudukan Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas.
  6. Masa Pengembangan. Lahir dua corak: manhaj mutakallimin (teoritis) dan manhaj fuqaha (praktis). Tajuddin al-Subki kemudian memadukan keduanya dalam Jam’ul Jawami’.
  7. Masa Keemasan. Ulama seperti al-Ghazali, al-Amidi, dan al-Syathibi memperkaya metodologi Ushul Fiqh. Al-Syathibi menonjol dengan konsep maqashid al-syari’ah.
  8. Masa Modern. Ushul Fiqh dikembangkan untuk menjawab isu-isu kontemporer seperti HAM, teknologi digital, hingga rekayasa genetika.

Relevansi Ushul Fiqh di Era Modern

Dalam konteks modern, Ushul Fiqh tidak kehilangan relevansinya. Beberapa contoh aplikasinya adalah:

  • Zakat Digital. Aplikasi zakat berbasis teknologi dipahami sebagai sarana untuk menjalankan perintah Allah dalam QS. At-Taubah: 103.
  • Fintech Syariah. Ushul Fiqh menjadi alat verifikasi agar transaksi modern tetap sejalan dengan QS. Al-Baqarah: 275 yang melarang riba.
  • Bioetika Islam. Dalam persoalan medis seperti donor organ atau bayi tabung, Ushul Fiqh memastikan bahwa prinsip menjaga jiwa dalam maqashid syariah tetap diutamakan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nisa: 29.

Kesimpulan

Ushul Fiqh adalah ilmu yang membahas kaidah metodologis untuk menggali hukum syariat dari sumbernya. Ia memiliki tujuan besar: menjaga keluwesan hukum Islam, membentuk mujtahid, dan memastikan syariat tetap relevan. Sejarah Ushul Fiqh menunjukkan bagaimana metodologi ini berkembang dari masa Nabi, sahabat, tabi’in, hingga ulama klasik dan modern. Kini, Ushul Fiqh hadir sebagai solusi untuk menjawab persoalan baru, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun bioetika.

Dengan demikian, Ushul Fiqh bukan hanya ilmu warisan klasik, tetapi fondasi metodologis yang memastikan hukum Islam tetap hidup dan dapat menuntun umat sepanjang zaman.

Lutpiah Sapitri Panjaitan (NIM 2420100192 Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Referensi

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: PT Syaamil, 2005.

Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.

Al-Amidi, Sayfuddin. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.

Al-Syathibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.

Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Qalam, 1994.

Qaththan, Manna’ al-. Tārīkh al-Tashrī‘ al-Islāmī. Kairo: Maktabah Wahbah, 1990.

Zuhaili, Wahbah al-. Ushul al-Fiqh al-Islāmī. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008.

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif.com adalah media akademik yang digagas dan dikelola oleh Ibu Sylvia Kurnia Ritonga, Lc., M.Sy (Dosen UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) sejak awal tahun 2024. Website ini memuat kumpulan materi perkuliahan, rangkuman diskusi, serta hasil karya mahasiswa yang diperkaya melalui proses belajar di kelas. Kehadirannya tidak hanya membantu mahasiswa dalam memperdalam pemahaman, tetapi juga membuka akses bagi masyarakat luas untuk menikmati ilmu pengetahuan secara terbuka.

10 komentar pada “Ushul Fiqh, Ruang Lingkup Kajian, dan Sejarah Perkembangannya

  • Syakira Annisa Salsabila

    Bagaimana cara Ushul fiqih membantu dan menyelesaikan masalah hukum Islam di era modern sekarang ?

    Balas
    • Sylvia K. Ritonga

      Uṣūl fiqh berperan sangat penting dalam menyelesaikan masalah hukum Islam di era modern, karena ia memberikan kerangka metodologis untuk menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah, lalu menerapkannya pada persoalan baru yang tidak ada secara eksplisit dalam nash. Di zaman sekarang muncul banyak problem kontemporer seperti transaksi digital, bank syariah, bayi tabung, donor organ, hingga isu lingkungan hidup. Semua ini tidak ditemukan secara langsung dalam teks al-Qur’an atau hadis, tetapi dengan kaidah uṣūl fiqh, ulama bisa menentukan hukumnya dengan tetap berlandaskan syariat.

      Melalui uṣūl fiqh, digunakan prinsip-prinsip seperti qiyās (analogi hukum), istihsān (memilih hukum yang lebih maslahat), maṣlaḥah mursalah (kemaslahatan umum yang tidak bertentangan dengan syariat), dan maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan-tujuan syariat). Misalnya, transaksi jual beli online bisa ditetapkan hukumnya sah karena illat dan rukunnya sesuai dengan jual beli dalam nash; penggunaan teknologi medis seperti bayi tabung dibolehkan dengan syarat menjaga nasab yang jelas; sementara larangan merusak lingkungan ditegaskan dengan prinsip menjaga kemaslahatan manusia dan bumi.

      Dengan cara ini, uṣūl fiqh membantu menjaga agar hukum Islam tetap relevan, fleksibel, dan kontekstual tanpa kehilangan pijakan pada sumber aslinya. Ia membuat hukum Islam mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, tetapi tetap konsisten dengan nilai-nilai keadilan, kemaslahatan, dan rahmat yang menjadi inti syariat.

      Balas
  • Hasni fadilah

    Mengapa ushul fiqih menjadi cabang ilmu yang penting dalam syari’at islam?

    Balas
    • Sylvia K. Ritonga

      Uṣūl fiqh menjadi cabang ilmu yang penting dalam syariat Islam karena ia adalah pondasi metodologi untuk memahami, menggali, dan menetapkan hukum-hukum syar‘i dari al-Qur’an dan sunnah. Tanpa uṣūl fiqh, umat Islam bisa salah dalam menafsirkan dalil atau mengambil hukum hanya berdasarkan hawa nafsu. Melalui uṣūl fiqh, ulama memiliki pedoman yang jelas bagaimana memahami lafaz umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, nasikh dan mansukh, serta bagaimana menggunakan dalil ijma‘, qiyās, dan metode ijtihad lainnya.

      Kepentingannya juga terlihat karena persoalan kehidupan manusia selalu berkembang, sementara jumlah nash terbatas. Dengan uṣūl fiqh, hukum Islam bisa menjawab masalah baru seperti transaksi digital, ekonomi modern, teknologi kesehatan, atau persoalan sosial kontemporer, namun tetap berpegang pada prinsip syariat. Selain itu, uṣūl fiqh menjaga agar hukum Islam tidak berubah-ubah mengikuti keinginan manusia, melainkan selalu terikat dengan maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

      Dengan demikian, uṣūl fiqh adalah cabang ilmu yang memastikan hukum Islam diterapkan secara ilmiah, konsisten, dan relevan di setiap zaman, sehingga syariat tetap menjadi petunjuk yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia.

      Balas
  • Isma Miftahul Zannah

    4. Bagaimana hubungan antara Ushul Fiqh dan ijtihad?

    Balas
    • Mhd Ridoan

      Apakah sah jual online dengan klik check out tanpa ijab Qabul?

      Balas
      • Sylvia K. Ritonga

        Ya, jual beli online dengan klik checkout tetap sah menurut syariat selama terpenuhi rukun dan syarat jual beli. Dalam fiqih, akad jual beli tidak harus dengan lafaz lisan “ijab qabul” seperti di pasar tradisional. Cukup ada kerelaan kedua belah pihak (tarāḍin), jelas barang dan harganya, serta tidak ada unsur penipuan. Allah ﷻ berfirman:

        > يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
        “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. an-Nisā’ [4]: 29).

        Dalam konteks jual beli online, ijab qabul bisa terwujud dengan cara modern: penjual menampilkan barang di aplikasi/website sebagai bentuk ijab (penawaran), lalu pembeli menekan tombol checkout atau bayar sebagai bentuk qabul (penerimaan). Selama syaratnya terpenuhi — barang jelas, harga jelas, pembayaran sah, dan tidak ada tipu daya — maka transaksi itu dihukumi sah dalam Islam.

        Balas
    • Sylvia K. Ritonga

      Hubungan antara uṣūl fiqh dan ijtihād sangat erat, bahkan bisa dikatakan tidak bisa dipisahkan. Uṣūl fiqh adalah metodologi atau seperangkat kaidah untuk memahami nash (al-Qur’an dan sunnah), sedangkan ijtihād adalah aktivitas intelektual yang dilakukan seorang mujtahid untuk menggali hukum dari nash dengan menggunakan kaidah uṣūl fiqh.

      Tanpa uṣūl fiqh, ijtihād akan berjalan tanpa arah, sebab tidak ada standar bagaimana memahami lafaz umum, khusus, mutlak, muqayyad, atau bagaimana menempatkan qiyās, ijmā‘, dan dalil-dalil lain. Sebaliknya, tanpa ijtihād, uṣūl fiqh hanya menjadi teori yang tidak dimanfaatkan dalam menjawab persoalan umat. Misalnya, ketika muncul masalah baru seperti transaksi digital, bayi tabung, atau hukum terkait lingkungan, para ulama menggunakan kaidah uṣūl fiqh (seperti qiyās, maṣlaḥah mursalah, dan maqāṣid al-syarī‘ah) untuk berijtihād menetapkan hukumnya.

      Dengan demikian, uṣūl fiqh adalah “alat”, sedangkan ijtihād adalah “praktik penggunaannya”. Keduanya saling melengkapi: uṣūl fiqh memastikan ijtihād berjalan sesuai kaidah syar‘i, sedangkan ijtihād membuat uṣūl fiqh hidup dan relevan dalam menghadapi perubahan zaman.

      Balas
  • Bagaimana ushul fiqih menjaga ke ountetikannya di era jaman sekarang dan mengaplikasi kan ya di dalam kehidupan

    Balas
    • Sylvia K. Ritonga

      Uṣūl fiqh menjaga keotentikannya di era sekarang dengan cara tetap berpegang pada sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan sunnah, serta kaidah-kaidah istinbāṭ (penggalian hukum) yang telah dirumuskan para ulama klasik. Prinsip-prinsip dasar seperti memahami lafaz umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, nasikh dan mansukh, serta penggunaan dalil ijma‘ dan qiyās tidak pernah berubah. Justru inilah yang membuat uṣūl fiqh selalu otentik, karena ia mengakar pada wahyu, bukan pada budaya atau pemikiran manusia semata. Bedanya, di era modern ini, ulama menggunakan perangkat uṣūl fiqh untuk menjawab persoalan baru, sehingga syariat tetap relevan tanpa kehilangan pijakan aslinya.

      Dalam pengaplikasiannya, uṣūl fiqh tampak nyata pada fatwa-fatwa kontemporer. Misalnya, transaksi digital dianalogikan dengan akad jual beli klasik melalui kaidah qiyās; penggunaan teknologi medis seperti bayi tabung diatur dengan mempertimbangkan maqāṣid al-syarī‘ah agar nasab tetap terjaga; bahkan masalah lingkungan hidup dihubungkan dengan larangan merusak bumi dalam al-Qur’an. Di tingkat individu, uṣūl fiqh bisa diaplikasikan dengan memahami bahwa setiap tindakan harus mengandung maslahat dan menghindari mafsadat, sesuai kaidah “jalbul maṣāliḥ wa dar’ul mafāsid” (mengambil kebaikan dan menolak kerusakan).

      Dengan demikian, uṣūl fiqh tetap otentik karena berlandaskan wahyu, dan tetap aplikatif karena membuka ruang ijtihād untuk masalah-masalah baru. Inilah yang membuat hukum Islam selalu hidup, dinamis, dan sesuai kebutuhan zaman, tanpa kehilangan jati dirinya.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *