Unsur Mazhab: Menyelami Keberagaman Pemikiran dalam Syariat
TATSQIF ONLINE – Dalam kehidupan beragama, umat Islam sering berhadapan dengan perbedaan pendapat dan pemahaman yang muncul di berbagai aspek. Tidak hanya dalam konteks teologi, tetapi juga dalam penerapan syariat.
Bahkan, dalam satu agama yang sama, perbedaan ini adalah sesuatu yang alami dan tidak terhindarkan. Inilah yang kemudain masyhur sebagai mazhab; sebuah aliran pemikiran atau metode dalam memahami hukum Islam. Sebagai wujud nyata dari dinamika intelektual Islam, mazhab hadir untuk menjawab tantangan-tantangan fiqh yang muncul dari beragam konteks sosial, geografis, dan kultural.
Keberadaan mazhab tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam, justru memperlihatkan betapa kaya dan fleksibelnya agama ini dalam merespon perubahan zaman. Namun, umat Muslim perlu memahami bahwa perbedaan ini bukan alasan untuk saling menyalahkan.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah Ali Imran ayat 190:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Artinya: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pada pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.”
Ayat ini mengajarkan pentingnya penggunaan akal dan pemikiran mendalam dalam memahami tanda-tanda kebesaran Allah, termasuk dalam memahami syariat-Nya. Keberagaman mazhab mencerminkan proses pemikiran yang sehat, sebagaimana Allah mendorong manusia untuk menggunakan akalnya dalam mencari kebenaran.
Unsur-Unsur Mazhab
Mazhab dalam Islam merujuk pada dua unsur utama: thariqah al-istinbath (metode penggalian hukum) dan thariqah al-istidlal (pendapat hukum yang dihasilkan). Mazhab-mazhab ini terbagi ke dalam dua kelompok besar, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah dan Syiah. Di dalam Ahlussunnah, kita mengenal empat mazhab utama: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sementara di kalangan Syiah, yang menonjol adalah Zaidiyah dan Imamiyah.
Kedua unsur ini menentukan bagaimana sebuah mazhab memahami teks-teks keagamaan dan menerapkannya dalam konteks kehidupan nyata. Untuk memahami lebih jauh tentang unsur-unsur mazhab ini, mari kita telaah secara lebih mendetail.
Pengertian Istinbath Hukum
Istinbath hukum adalah proses menetapkan hukum syariat dari sumber-sumber utama Islam, yakni al-Qur’an dan hadis. Secara etimologis, istinbath berasal dari kata Arab استنباط yang berarti “menemukan” atau “menggali.” Dalam pengertian syar’i, istinbath merupakan usaha seorang mujtahid untuk menggali hukum Islam yang tidak tercantum secara eksplisit dalam nash (teks).
Ahmad Warson Munawwir dalam Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, menjelaskan bahwa istilah ini merujuk pada proses intelektual di mana seorang mujtahid menelaah teks-teks agama secara mendalam untuk menemukan hukum baru. Proses ini adalah inti dari ijtihad, yang mana seorang mujtahid mengandalkan kemampuan akal dan pemahaman mendalam terhadap nash.
Sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah Al-Hasyr ayat 2:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya: “Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.”
Menurut Abdul Rahman Dahlan dalam bukunya Ushul Fiqh, metode istinbath mencakup berbagai teknik seperti qiyas (analogi), istihsan (preferensi hukum), dan istishab (presumsi keberlanjutan hukum). Misalnya, dalam situasi di mana al-Qur’an atau hadis tidak memberikan jawaban yang jelas, mujtahid menggunakan qiyas untuk menetapkan hukum dengan menganalogikan situasi tersebut dengan hukum lain yang sudah ada.
Thariqah al-Istinbath: Metode Penggalian Hukum
Setiap mazhab memiliki pendekatan yang unik dalam melakukan istinbath. Para imam mazhab, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, mengembangkan metodologi yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an dan hadis. Perbedaan ini bukanlah suatu perpecahan, melainkan sebuah keindahan dalam keberagaman pemikiran Islam.
Imam Hanafi, misalnya, terkenal dengan penggunaan qiyas yang lebih luas. Ia banyak mengandalkan analogi ketika berhadapan dengan masalah-masalah yang tidak ada teks eksplisitnya dalam al-Qur’an atau hadis. Sementara itu, Imam Malik lebih sering mengacu pada praktik masyarakat Madinah sebagai sumber hukum. Baginya, praktik masyarakat Madinah adalah cerminan paling murni dari syariat Islam karena mereka hidup di bawah bimbingan Nabi Muhammad SAW.
Di sisi lain, Imam Syafi’i lebih condong pada pendekatan tekstual dengan berpegang teguh pada nash. Dalam bukunya Al-Umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa setiap hukum harus bersandar pada teks yang jelas, baik dari al-Qur’an maupun hadis. Pendekatan Imam Ahmad bin Hanbal juga sangat literal, terutama dalam penggunaan hadis. Beliau menekankan pentingnya mengikuti hadis-hadis yang shahih, bahkan jika hadis tersebut bertentangan dengan qiyas atau pendapat ulama lain.
Thariqah al-Istidlal: Pendapat Hukum
Pendapat hukum atau thariqah al-istidlal adalah hasil akhir dari proses istinbath. Ini adalah kesimpulan yang diambil setelah seorang mujtahid melakukan penelaahan mendalam terhadap dalil-dalil syariat. Proses ini melibatkan pengumpulan dalil, analisis terhadap keabsahan dalil, serta kritik terhadap kekuatan dan kelemahan pendapat fuqaha lainnya.
Imron Rosyadi dalam jurnalnya Tarjih Sebagai Metode: Perspektif Ushul Fiqh, menyebutkan bahwa tarjih adalah salah satu teknik penting dalam istidlal. Tarjih adalah proses memilih pendapat yang paling kuat di antara beberapa pendapat yang bertentangan. Tarjih dilakukan dengan menilai dalil-dalil yang digunakan, baik dari al-Qur’an, hadis, ijma’, maupun qiyas.
Misalnya, dalam konteks penentuan zakat, Imam Syafi’i dan Imam Hanafi memiliki perbedaan pendapat. Imam Syafi’i mewajibkan zakat atas segala jenis harta, termasuk emas dan perak, berdasarkan firman Allah dalam Alquran Surah At-Taubah ayat 103:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”
Namun, Imam Hanafi lebih membatasi kewajiban zakat hanya pada harta tertentu, seperti hasil pertanian, berdasarkan qiyas terhadap jenis harta yang diwajibkan zakatnya pada masa Rasulullah SAW.
Ijtihad dan Relevansinya dalam Mazhab
Ijtihad adalah elemen kunci dalam mazhab. Ia merujuk pada upaya seorang mujtahid dalam menggali dan menemukan hukum baru yang tidak terurai secara eksplisit dalam teks al-Qur’an atau hadis. Pentingnya ijtihad tidak dapat diabaikan karena ia memberikan fleksibilitas dalam hukum Islam, terutama dalam merespon masalah-masalah kontemporer.
Hadis Nabi SAW berikut ini menekankan pentingnya ijtihad:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
Artinya: “Apabila seorang hakim berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila ia berijtihad dan keliru, maka ia mendapat satu pahala,” (HR Abu Dawud).
Ijtihad menjaga hukum Islam tetap relevan dengan zaman yang terus berubah, serta memastikan bahwa syariat dapat terimplementasikan dalam berbagai konteks sosial dan budaya yang berbeda.
Kesimpulan
Mazhab dalam Islam bukan sekadar perbedaan pendapat, tetapi sebuah manifestasi dari kekayaan intelektual umat Islam dalam menggali dan memahami hukum-hukum syariat. Unsur-unsur seperti istinbath, istidlal, dan ijtihad memberikan kita panduan yang jelas dalam menghadapi masalah-masalah hukum.
Dengan memahami unsur-unsur ini, umat Muslim diajak untuk melihat bahwa perbedaan dalam mazhab adalah sebuah kekayaan yang memperkaya khazanah Islam, bukan sesuatu yang harus diperdebatkan secara sempit. Wallahua’lam.
Apakah usul al fiqh merupakan metode utama penemuan hukum syariat dan bagaimana ijtihad digambarkan dalam ilmu usul fiqh?
Coba pemakalah jelaskan bagaimana cara umat Islam dapat memahami dan menghargai diversitas fiqih tanpa terjebak dalam fanatisme terhadap satu mazhab tertentu?
Mengapa perbedaan metode ijtihad menjadi salah satu unsur utama dalam keberangaman Mazhab?
Thariqah al istidlal yaitu hasil dari proses istibath. Lalu bagaimana pendapat atau pandangan para ulama tentang istidlal dengan dalil yang berkaitan dengan hadis dhoif atau hadis ahad?
Bagaimana sikap kita sebagai orang awam yg tidak paham tentang ijtihad atau pun tentang unsur-unsur yg berbeda pendapat dalam menyelami keberagaman pemikiran dalam syariat Islam ?
Apakah seorang muslim di wajibkan untuk bermazhab, dan apakah boleh jika seorang muslim tidak memiliki mazhab