Transformasi Sistem Kewarisan: Dari Jahiliyah Hingga Islam
TATSQIF ONLINE – Peran penting masalah kewarisan dalam masyarakat tercermin pada regulasi pembagian harta setelah seseorang meninggal dunia. Pada zaman Jahiliyah, masyarakat Arab menerapkan tradisi patriarki yang merugikan perempuan dan anak-anak, dengan tidak memberikan hak waris bagi mereka.
Ajaran Islam kemudian mengubah pandangan ini dengan menegaskan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam pembagian warisan. Petunjuk mengenai hal ini ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam, yang menetapkan kesetaraan hak waris antara laki-laki dan perempuan, keberlakuan bagian tetap yang tidak bisa diubah lewat wasiat, serta mempertimbangkan hubungan keluarga dan perkawinan sebagai dasar dalam sistem kewarisan Islam.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (HKI) di Indonesia, harta warisan terdiri dari harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama, setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang, dan wasiat.
Dengan kata lain, harta warisan adalah harta yang siap dibagikan kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, kewarisan merupakan perkara yang sangat penting dan wajib dilaksanakan.
Sistem Kewarisan Pada Masa Pra Islam (Jahiliyah)
Muhammad Suhaili Sufyan dalam bukunya Fiqh Mawaris Praktis menjelaskan bahwa pada masa jahiliyah, pembagian harta warisan dilakukan dengan berpijak pada dua sistem, yaitu sistem keturunan dan sistem sebab.
Dalam sistem keturunan, seseorang dapat menerima bagian warisan berdasarkan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan dengan pewaris. Namun, ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu ahli waris harus laki-laki dewasa yang memiliki kekuatan untuk membela dan melindungi qabilah (persukuan), atau minimal mampu melindungi keluarganya sendiri.
Pada masa jahiliyah, aturan ketat dalam pembagian warisan ini memberikan dampak yang signifikan terutama pada anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan. Mereka sering kali terhalang untuk mendapatkan bagian warisan karena syarat-syarat tersebut.
Para ahli waris dalam masyarakat jahiliyah hanya terdiri dari beberapa golongan, yaitu anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan anak laki-laki paman. Selain itu, jika pewaris tidak memiliki anak laki-laki dewasa, maka saudara laki-lakinya berhak menerima bagian dari harta peninggalan. Namun, hal ini dengan catatan bahwa saudara tersebut juga mampu berperang membela suku.
Kewarisan juga terjadi melalui pengangkatan anak (tabanni) dan adanya janji ikatan prasetia di antara kedua belah pihak. Janji ini berupa upaya saling mendukung dan melindungi berdasarkan pada kesepakatan bersama untuk menjaga jiwa, tubuh, dan kehormatan sesama.
Tendensi untuk melakukan janji prasetia dan pengangkatan anak muncul karena adanya dorongan dan kemauan bersama untuk saling melindungi jiwa, tubuh, dan kehormatan, serta untuk menjaga dan mengembangkan kekayaan mereka.
Dalam konteks ini, kaum wanita dan anak anak dianggap tidak memenuhi syarat, karena janji tersebut akan sulit terwujud jika yang berkomitmen adalah anak-anak yang belum dewasa, terlebih lagi kaum wanita.
Moh. Muhibbudin dan rekan-rekannya dalam buku Hukum Kewarisan Islam, menjelaskan bahwa akhir dari janji ikatan prasetia adalah ketika salah satu pihak meninggal dunia. Pihak yang masih hidup memiliki hak untuk menerima bagian warisan dari mitra mereka sebesar 1/6 dari harta peninggalan. Sementara sisanya, setelah dikurangi 1/6, akan dibagikan kepada ahli waris yang lain.
Dapat disimpulkan, proses pewarisan pada masa jahiliyah dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu melalui hubungan kekerabatan, ikatan janji prasetia, dan pengangkatan anak. Semua proses ini dapat terealisasi dengan syarat bahwa mereka yang terlibat dalam proses tersebut haruslah lelaki dewasa yang memiliki kekuatan untuk berperang.
Baca Juga: Kewarisan Islam: Ketentuan, Manfaat, dan Asas-asas Pentingnya
Sistem Kewarisan pada Masa Awal Islam
Sistem pembagian warisan pada masa jahiliyah masih berlaku hingga turunnya ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa semua lelaki, termasuk yang belum dewasa, berhak mendapatkan bagian dari harta peninggalan (tirkah), termasuk harta orang tua dan kerabat terdekat.
Ayat tersebut juga menegaskan bahwa semua perempuan, tanpa terkecuali, berhak mendapatkan bagian warisan, baik itu sedikit atau banyak, dan tetap harus diwariskan. Hal ini termaktub dalam Alqur’an surah An-Nisa’ ayat 7 yang berbunyi:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا
Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Setelah turunnya ayat tersebut, kebiasaan-kebiasaan pembagian warisan jahiliyah, seperti tidak memberikan pusaka kepada perempuan dan anak-anak kecil, mulai terhapus. Pada awal Islam, Nabi Muhammad dan para sahabatnya telah menerapkan hukum kewarisan.
Sebagai contoh, saat Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah, penduduk Madinah menyambut mereka dengan penuh penghormatan. Nabi Muhammad dan rombongannya ditempatkan di rumah-rumah penduduk, diberi kebutuhan sehari-hari, dilindungi dari pengejaran kaum Quraisy, dan dibantu dalam menghadapi musuh. Dalam upaya memperkuat tali persaudaraan, Nabi Muhammad menjadikan kesetiaan orang-orang yang ikut hijrah sebagai dasar untuk saling mewarisi satu sama lain.
Dalam konteks tersebut, jika ada sahabat yang tidak memiliki wali atau ahli waris yang turut hijrah, maka harta yang ditinggalkannya akan diwarisi oleh wali yang ikut hijrah. Ahli waris yang tidak bersedia hijrah ke Madinah tidak memiliki hak waris atas harta tersebut. Namun, jika ada sahabat tanpa wali yang turut hijrah, harta peninggalannya dapat diwarisi oleh saudaranya dari penduduk Madinah yang menjadi wali karena adanya ikatan persaudaraan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada awal periode Islam, seseorang memiliki peluang untuk memperoleh warisan melalui keterkaitan kekeluargaan, pengangkatan anak, hijrah, dan ikatan persaudaraan.
Sistem Kewarisan pada Masa Islam
Dalam bukunya al-Fiqhul Manhaji, Dr. Musthafa Al-Khin memberikan penjelasan ringkas mengenai empat hal utama yang menentukan bagaimana seseorang dapat menerima bagian dari harta warisan.
Pertama, sistem warisan melalui nasab atau kekerabatan, di mana hubungan keluarga seperti kedua orang tua, saudara laki-laki atau perempuan, dan anak-anak dari saudara, termasuk cucu-cucu, dapat menjadi ahli waris.
Kedua, pernikahan yang sah juga memainkan peran penting dalam sistem warisan Islam. Meskipun belum terjadi persetubuhan antara suami dan istri, dengan adanya ikatan perkawinan yang sah, keduanya memiliki hak untuk mewarisi satu sama lain. Dalam kasus perceraian dengan talak raj’i, kematian salah satu pasangan dalam masa iddah talak raj’i tersebut memungkinkan pasangan yang masih hidup mewarisi harta yang ditinggalkan. Namun, pernikahan yang rusak atau tidak sah, seperti tanpa wali atau saksi, serta nikah mut’ah, tidak memberikan hak untuk saling mewarisi.
Ketiga, pembebasan budak juga menjadi faktor dalam sistem warisan. Seorang tuan yang memerdekakan budaknya dapat menerima warisan dari harta budak yang telah meninggal. Namun, seorang budak yang telah dimerdekakan tidak memiliki hak untuk menerima warisan dari tuannya.
Keempat, jika seorang Muslim meninggal tanpa memiliki ahli waris yang memenuhi syarat, harta warisannya akan diserahkan kepada baitul maal untuk kemaslahatan umat Islam. Dalam konteks ini, seseorang yang tidak memiliki salah satu dari tiga sebab sebelumnya tidak memenuhi syarat untuk menerima warisan dari orang yang meninggal dunia.
Wallahu A’lam
Oleh Hanif Raina Nur Siregar (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan)
-
Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.
Lihat semua pos Lecturer
Apa yang membedakan sistem ke warisan pda zaman jahiliyah dengan zaman masuknya islam ?
Sistem warisan pada zaman Jahiliyah didasarkan pada tradisi lokal yang di mana anak laki-laki mewarisi harta secara mayoritas. Sedangkan di zaman Islam, sistem warisan diatur oleh hukum syariah yang memberikan hak warisan yang lebih jelas dan adil kepada anggota keluarga, termasuk perempuan dan anak-anak. Islam memperkenalkan prinsip pembagian warisan yang merata dan adil antara kelompok keluarga yang berbeda.
Sistem warisan pada zaman Jahiliya didasarkan pada tradisi lokal dan bias gender yang kuat, di mana anak laki-laki mewarisi harta secara mayoritas. Sedangkan di zaman Islam, sistem warisan diatur oleh hukum syariah yang memberikan hak warisan yang lebih jelas dan adil kepada anggota keluarga, termasuk perempuan dan anak-anak. Islam memperkenalkan prinsip pembagian warisan yang merata dan adil antara kelompok keluarga yang berbeda.
Apa yang menjadi hikmah di balik aturan sebab waris dalam Islam ?
Hikmah di balik aturan sebab waris dalam islam ialah untuk menjaga keadilan dalam pembagian harta warisan. Aturan-aturan yang jelas dan adil memastikan bahwa setiap ahli waris mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan agama.
Bagaimana pandangan Islam terhadap sebab waris dan bagaimana sistem waris dalam Islam berbeda dengan praktik yang ada sebelumnya?
Dalam Islam, sistem waris didasarkan pada hukum syariah yang diatur dengan rinci dalam Al-Quran dan hadis. Konsep sebab waris dalam Islam menekankan pada keadilan dan pembagian yang proporsional antara ahli waris, tidak memandang jenis kelamin atau posisi sosial. Sistem waris Islam memberikan hak-hak waris yang jelas dan setara bagi seluruh anggota keluarga.
Perbedaan utama antara sistem waris Islam dengan praktik sebelumnya ialah :
Dalam Islam, baik anak laki-laki maupun perempuan memiliki hak waris yang sama, meskipun proporsinya bisa berbeda sesuai dengan konteks spesifik,
Sistem waris Islam menekankan prinsip keadilan dalam pembagian warisan, yang memperhitungkan kebutuhan dan kewajiban masing-masing ahli waris, Islam memberikan pedoman yang jelas dalam pembagian warisan, termasuk pembagian kepada keluarga yang lebih luas seperti orang tua, anak-anak, suami, istri, dan kerabat lainnya, Sistem waris Islam diatur oleh hukum syariah yang merupakan bagian integral dari ajaran agama, sementara dalam praktik sebelumnya, pembagian waris sering kali didasarkan pada kebiasaan atau tradisi lokal yang dapat bervariasi.
Dengan demikian, sistem waris dalam Islam mengubah paradigma pembagian warisan dari yang didasarkan pada faktor-faktor sosial seperti jenis kelamin atau status sosial, menjadi yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan ketetapan agama.
Bagaimana konsep sebab waris dalam masyarakat Jahiliyah sebelum kedatangan Islam?
Dalam masyarakat Jahiliyah sebelum kedatangan Islam, konsep sebab waris cenderung berpusat pada garis keturunan laki-laki. Anak laki-laki memiliki hak waris yang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Di beberapa kasus, warisan juga dapat dibagi antara beberapa anak laki-laki sesuai dengan posisi mereka dalam hierarki keluarga atau suku. Anak perempuan sering kali mendapatkan bagian yang lebih kecil atau bahkan diabaikan sama sekali dalam pembagian warisan.
masha allah, semangat terus
Berapakah bagian tuan dari harta warisan budak yang di merdekakannya ??
Bagian tuan dari harta warisan budak yang dimerdekakannya yaitu tuannya akan menjadi ashabah binafsi yaitu jika tidak ada anak laki laki dari seorang budak maka harta warisan yang ditinggalkan budak akan dialihkan kepada si tuan.
Apa yang mendasari perubahan pembagian warisan dari masa jahiliyyah ?
Perubahan nya yaitu datangnya islam dengan syariat yang baru dengan landasan ayat al -qur’an
masyallah tabarakallah
Coba saudari jelaskan Apakah pembagian harta warisan dalam hukum Islam dapat dilakukan secara kekeluargaan?
Dapat di lakukan secara kekeluargaan yaitu harus dilakukan dengan cara yang adil, sehingga setiap ahli waris tanpa ada paksaan dan dengan cara mufakat dapat menentukan bagiannya masing-masing secara suka rela.
Sepengetahuan saya kan anak perempuan di zaman jahiliyah itu kan di anggap aib, jadi pertanyaannya apakah warisan untuk anak perempuan di zaman jahiliyah itu di tiadakan?
Warisan untuk anak perempuan di zaman jahiliyah tidak di tiadakan tetapi anak perempuan di anggap kurang bernilai atau dianggap sebagai beban finansial daripada anak laki laki oleh karna itu warisan cenderung di utamakan untuk anak laki laki mendapat bagian yang lebih besar daripada anak perempuan
Bagaimana status hak waris seseorang anak atau putri nya yg telah berpindah agama islam atau murtad???
Status hak waris seseorang anak atau putrinya yang telah berpindah agama islam atau murtad ialah tidak mendapatkan hak waris
Artikel ini sangat bermanfaat, Sukses selaluu