Ta’arudh Adillah dalam Ushul Fiqh: Konflik Dalil dan Solusinya
TATSQIF ONLINE – Syariat Islam dibangun di atas dalil-dalil yang berasal dari wahyu ilahi, yaitu Al-Qur’an dan hadis, yang menjadi pedoman hukum bagi umat manusia. Namun, dalam proses memahami dan menerapkan dalil-dalil ini, terkadang ditemukan kesan adanya pertentangan antara satu dalil dengan yang lain.
Fenomena ini dikenal dalam ushul fiqh sebagai ta’arudh adillah (konflik dalil). Kajian tentang ta’arudh adillah sangat penting untuk memastikan bahwa hukum syariat dapat diterapkan secara konsisten tanpa mengabaikan tujuan utama syariat, yaitu menjaga kemaslahatan umat.
Allah telah menegaskan bahwa Al-Qur’an sebagai wahyu-Nya tidak mungkin mengandung pertentangan. Firman-Nya:
ولَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Artinya: Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya (QS An-Nisa: 82).
Hadis Rasulullah ﷺ juga menegaskan bahwa agama Islam telah sempurna, sehingga tidak ada pertentangan di antara ajarannya. Oleh karena itu, konflik yang tampak dalam dalil hanyalah pada permukaan dan dapat diselesaikan dengan metode ilmiah.
Pengertian Ta’arudh Adillah
Secara bahasa, ta’arudh berasal dari kata ‘aradha (عارض) yang berarti “berhadap-hadapan” atau “berlawanan”, sedangkan adillah adalah bentuk jamak dari dalil, yang berarti bukti atau petunjuk hukum. Dalam istilah ushul fiqh, ta’arudh adillah adalah situasi di mana dua dalil syariat tampak saling bertentangan dalam menetapkan hukum suatu masalah.
Imam Al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul menjelaskan bahwa ta’arudh adillah sebenarnya hanyalah konflik yang tampak di permukaan. Hakikatnya, hukum Allah tidak mungkin bertentangan, dan pertentangan yang terlihat adalah akibat keterbatasan pemahaman manusia. Oleh karena itu, ulama telah merumuskan metode-metode khusus untuk menyelesaikan konflik ini.
Prinsip-Prinsip Penyelesaian Ta’arudh
Para ulama ushul fiqh menetapkan empat metode utama dalam menyelesaikan ta’arudh adillah. Metode ini disebut thuruq al-jam’ wa at-tarjih (metode harmonisasi dan pemilihan).
1. Al-Jam’ (Harmonisasi)
Langkah pertama adalah al-jam’, yaitu mengharmonisasikan kedua dalil agar keduanya dapat diterapkan tanpa saling menafikan. Pendekatan ini paling diutamakan karena prinsip dasar syariat adalah integrasi, bukan kontradiksi.
Contoh harmonisasi dapat dilihat dalam dalil tentang larangan mendekati salat saat mabuk:
ولا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى
Artinya: Janganlah kamu mendekati salat sedang kamu dalam keadaan mabuk (QS An-Nisa: 43).
Namun, hadis Rasulullah ﷺ menyatakan:
كلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Artinya: Setiap yang memabukkan adalah haram (HR Muslim).
Kedua dalil ini diharmonisasikan dengan memahami bahwa ayat Al-Qur’an turun sebelum khamr diharamkan secara total, sedangkan hadis menjelaskan hukum akhir. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara keduanya.
2. At-Tarjih (Memilih Dalil yang Lebih Kuat)
Jika harmonisasi tidak memungkinkan, langkah berikutnya adalah at-tarjih, yaitu memilih salah satu dalil yang lebih kuat berdasarkan kriteria tertentu, seperti keabsahan sanad, konteks yang lebih spesifik, atau kesesuaian dengan maqashid syariah (tujuan syariat).
Contoh tarjih terlihat dalam perbedaan hadis tentang zakat hasil pertanian. Hadis pertama menyatakan:
لا زَكَاةَ فِي مَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ
Artinya: Tidak ada zakat pada hasil pertanian yang kurang dari lima wasaq (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis lain menyebutkan:
فِي كُلِّ مَا أَنْبَتَتِ الْأَرْضُ زَكَاةٌ
Artinya: Pada setiap hasil bumi ada zakat (HR Abu Dawud).
Ulama memilih hadis pertama karena sanadnya lebih sahih dan memberikan rincian yang jelas tentang batas nisab zakat.
3. An-Naskh (Penghapusan Hukum)
Jika kedua dalil benar-benar bertentangan dan tidak dapat diharmonisasikan, maka langkah berikutnya adalah memeriksa apakah salah satu dalil telah di-naskh (dihapus hukumnya) oleh dalil lain yang datang kemudian.
Misalnya, pada awal Islam, hukum salat malam diwajibkan berdasarkan firman Allah:
يا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya: Wahai orang yang berselimut, bangunlah (untuk salat) di malam hari kecuali sedikit darinya (QS Al-Muzzammil: 1-2).
Namun, kewajiban ini dihapus oleh ayat lain:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
Artinya: Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an (QS Al-Muzzammil: 20).
4. At-Tawaqquf (Menangguhkan Penilaian)
Jika ketiga metode sebelumnya tidak memungkinkan, ulama dapat menangguhkan penilaian hingga ditemukan dalil tambahan atau penjelasan yang lebih rinci.
Dalil-Dalil tentang Penyelesaian Ta’arudh
Prinsip-prinsip penyelesaian ta’arudh didasarkan pada ayat Al-Qur’an dan hadis, di antaranya:
1. Firman Allah:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya (QS An-Nisa: 59).
Ayat ini menegaskan pentingnya mematuhi setiap dalil yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
2. Sabda Rasulullah ﷺ:
إذا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
Artinya: Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala. Jika ia berijtihad dan salah, ia tetap mendapat satu pahala (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa ijtihad dalam menyelesaikan konflik dalil adalah bagian dari usaha yang bernilai pahala.
Contoh Praktis Ta’arudh Adillah
1. Salat Isya di Awal atau Akhir Waktu
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ
Artinya: Seandainya aku tidak memberatkan umatku, aku akan memerintahkan mereka mengakhirkan salat Isya hingga sepertiga malam (HR Muslim).
Namun, ada hadis lain yang menunjukkan bahwa beliau juga kadang salat Isya di awal waktu. Para ulama mengharmonisasikan dalil-dalil ini dengan memberikan kelonggaran bagi umat Islam untuk memilih waktu salat Isya sesuai dengan kondisi mereka.
2. Puasa Arafah bagi Jamaah Haji
Puasa Arafah sangat dianjurkan bagi umat Islam yang tidak sedang berhaji. Namun, bagi jamaah haji, Rasulullah ﷺ tidak melakukannya. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan hukum berdasarkan kondisi pelakunya.
Kesimpulan
Kajian tentang ta’arudh adillah menunjukkan bahwa hukum syariat yang bersumber dari Allah adalah harmonis dan tidak bertentangan. Jika ada kesan pertentangan, hal itu terjadi karena keterbatasan manusia dalam memahami dalil. Dengan metode penyelesaian yang telah dirumuskan ulama, seperti al-jam’, at-tarjih, an-naskh, dan at-tawaqquf, umat Islam dapat menyelesaikan konflik dalil dengan tetap menjaga prinsip maqashid sariah (tujuan syariat).
Proses penyelesaian ta’arudh adillah bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga mencerminkan kedalaman ilmu dan hikmah dalam syariat Islam. Setiap dalil syariat memiliki tempat dan fungsinya masing-masing dalam membangun kehidupan umat yang adil dan maslahat. Oleh karena itu, umat Islam, terutama para ahli hukum dan ulama, perlu mempelajari ilmu ushul fiqh dengan serius untuk memastikan bahwa syariat diterapkan secara tepat dan relevan dengan kebutuhan zaman.
Melalui pendekatan ini, hukum Islam tetap mampu memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi umat manusia tanpa menimbulkan kebingungan atau keraguan. Dengan memahami konsep ta’arudh adillah, umat Islam dapat meyakini bahwa syariat Allah adalah petunjuk hidup yang sempurna dan tanpa cela. Wallahua’lam.
Fatimah Hannum & Atika Lestari Rambe (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Bagaimana pendekatan ulama kontemporer dalam menghadapi ta’arudh adillah di era modern ini? Jelaskan dengan contoh kasus yang relevan
Apa saja sebab terjadinya konflik antara dalil-dalil syar’i?
Bagaimana konflik dalil dapat memengaruhi pemahaman hukum Islam di kalangan masyarakat awam?
Kapan metode al-nasakh digunakan dalam menyelesaikan Ta’arudh al-Adillah?
Kapan metode al-nasakh digunakan dalam menyelesaikan Ta’arudh al-Adillah?
Bagaimana prinsip maslahat (kemaslahatan umum) dan maqasid al-shariah (tujuan syariat) digunakan dalam mengatasi ta’arudh ?
Bagaimana pandangan islam terhadap hukum ta’arud adillah dan juga bagaimana cara penerapannya dalam kehidupan seseorang?
Bagaimana peran ijtihad dalam penyelesaian Ta’arudh Adillah?
Bagaimana urutan yang benar dalam menyelesaikan kasus ta’arudh al-Adillah
Apa solusi yang diberikan ushul fiqih ketika dia dalil yang shahih bertentangan secara langsung?
Bagaimana cara menentukan dalil yang lebih kuat dalam kasus ta’arudh al-adillah?
Coba pemakalah berikan contoh kasus ta’arudh?
Jabarkan
Bagaimana konsep ta’arudh al-adillah menurut ulama Syafi’iyah
Bagaimana ulama-ulama fiqh menyelesaikan ta’arudh adillah antara hadis yang lebih sahih dan hadis yang lebih lemah?
Apa perbedaan antara Ta’arudh adilah dengan ikhtilaf dalam Ushul fiqh?
Kenapa dalam nash hadis terjadi ta’arudh al-adillah?
Mengapa penting untuk memahami prinsip maqashid syariah dalam menyelesaikan konflik antara dua dalil?
Bagaimana ulama fiqih menyikapi keberadaan berbagai dalil yang Tampak kontra dalam penetapan hukum Islam?
Sebutkan dan jelaskan beberapa contoh konflik dalil yang umum terjadi dalam praktik hukum Islam?
Apa perbedaan antara Ta’arudh adilah dengan ikhtilaf dalam Ushul fiqh?
Apakah seorang yang sudah mukallaf termasuk orang yang sudah baliqh?