Siyasah

Politik Uang dalam Perspektif Hukum Islam, Jangan Sampai Terjebak

TATSQIF ONLINEStudi menunjukkan bahwa praktik politik uang marak terjadi dalam pemilihan umum di Indonesia, baik di tingkat nasional dan lokal. Politik uang adalah pemberian uang atau materi kepada pemilih untuk mempengaruhi pilihannya dalam pemilu.

Praktik politik uang dapat merusak demokrasi karena hilangnya kebebasan pemilih dan mendorong perilaku korupsi. Kandidat yang mengeluarkan biaya besar untuk kampanye, setelah terpilih cenderung menyalahgunakan jabatan atau wewenang, dan melakukan korupsi untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Pada dasarnya, politik uang atau transaksi jual beli suara merupakan tindakan membeli kedaulatan rakyat. Ketika rakyat menerima uang, sejatinya mereka menyerahkan hak kedaulatan mereka sebagai jaminan untuk jangka waktu tertentu.

Dalam perspektif hukum Islam, praktik politik uang merupakan perbuatan yang haram. Tindakan tersebut masuk dalam kategori risywah (suap), yakni memberikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud agar orang tersebut melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.

Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 23 Tahun 2000, risywah atau suap adalah pemberian seseorang kepada orang lain, terutama kepada pejabat, dengan niat untuk memuluskan suatu tindakan yang tidak benar menurut syariat atau membatalkan perbuatan yang seharusnya benar.

Allah subhanahu wa ta’ala melarang hamba-Nya memanfaatkan atau mengonsumsi harta risywah, karena sama saja dengan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Larangan tersebut tertuang dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 188 berikut ini:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Rasulullah shallalahu alaihi wasallam melaknat pelaku risywah dan semua yang terlibat di dalamnya, sesuai hadis berikut ini:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

Artinya: “Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Laknat Allah kepada pemberi suap dan penerima suap,” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا

Artinya: “Dari Tsauban, dia berkata, “Rasulullah SAW melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya, yaitu orang yang menghubungkan keduanya,” (HR Ahmad).

Kutukan ini mencerminkan kecaman dari Allah SWT dan rasul-Nya. Pihak yang terlibat dalam praktek risywah akan mendapatkan siksa dan kemurkaan dari Allah SWT. Menurut penjelasan dari dalil-dalil yang ada, para ulama sepakat akan keharaman risywah.

BACA JUGA: Jejak Mujaddid dan Ulama dalam Dakwah Islam di Tarim

Merujuk pada kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, yang menjelaskan beberapa bentuk suap dan hukumnya sebagai berikut:

Pertama, haram memberikan suap kepada hakim. Demikian juga, haram menerima suap oleh hakim, bahkan jika keputusannya benar. Hal ini karena memberikan keputusan yang benar sudah menjadi kewajiban bagi seorang hakim.

Kedua, haram memberikan suap untuk meraih jabatan, seperti jabatan kepala desa, bupati, gubernur, presiden, anggota legislatif, atau jabatan lainnya. Haram hukumnya bagi pemberi suap dan juga bagi penerima suap.

Dalam memperoleh jabatan atau kekuasaan harus berdasarkan kualifikasi, integritas, dan kapabilitas. Bukan dengan cara-cara yang tidak etis seperti memberikan atau menerima suap.

Ketiga, boleh memberikan sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh hak atau menolak ketidakadilan. Risywah atau suap adalah pemberian yang bertujuan membatalkan kebenaran atau melakukan kebatilan.

Ada perbedaan dalam konteks ini, yaitu kebolehan memberikan sesuatu untuk memperoleh hak atau melawan ketidakadilan. Pemberi risywah tidak berdosa, tetapi penerima risywah tetap berdosa karena menerima sesuatu yang bukan haknya.

Wallahu A’lam
Oleh Sylvia Kurnia Ritonga (Dosen Fiqh Kontemporer)

  • Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

    Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

    Lihat semua pos Lecturer

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk