Politik Pencitraan, Begini Seharusnya dalam Islam
TATSQIF ONLINE – Politik pencitraan berkembang seiring dengan penerapan sistem demokrasi di sebuah negara. Para politisi menggunakan strategi ini untuk mempengaruhi opini masyarakat, dan menciptakan citra yang ideal bagi diri mereka di mata publik.
Opini publik terbentuk melalui citra politik, yang muncul sebagai hasil dari komunikasi politik baik secara kognitif maupun afektif. Praktik politik pencitraan dapat menghasilkan, membangun, mengelola, dan memperkuat citra politik seorang kandidat atau partai.
Jon Simons menegaskan bahwa fragmentasi politik pencitraan yang terlihat pada elit politik Indonesia, memiliki keterkaitan erat dengan konsep yang ia sampaikan.
Simons menuliskan dalam jurnalnya yang berjudul The Power Of Politic Image, bahwa dalam politik demokratis modern, aspek pencitraan menjadi fokus utama; saat orang-orang memberikan prioritas lebih tinggi pada penampilan daripada substansi, dan menilai kepribadian lebih tinggi daripada kebijakan.
Keterkaitan Politik Pencitraan dengan Prinsip Komunikasi dalam Islam
Dalam berbagai literatur mengenai komunikasi Islam, terdapat enam jenis gaya komunikasi (Qaulan) yang merupakan kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yaitu: qaulan sadida, qaulan baligha, qaulan ma’rufa, qaulan karima, qaulan layyina, dan qaulan maysura. Para politikus dapat menjadikan keenam prinsip ini sebagai landasan saat mereka ingin menjalankan politik pencitraan.
Pertama, qaulan sadida (komunikasi yang benar dan jujur). Pencitraan dalam konteks terminologi ini harus memprioritaskan nilai kejujuran dan kebenaran. Isi yang disampaikan harus konsisten dengan tindakan yang dilakukan. Dalam perspektif Islam, komunikasi harus dilakukan dengan cara yang benar, sesuai fakta, dan bebas dari unsur rekayasa atau manipulasi.
Kebenaran dan kejujuran menjadi dasar filosofis komunikasi politik Islam, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Alquran surah Al-Ahzab ayat 70-71 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam mencontohkan dalam membentuk citra positif terhadap Abu Bakar dan sahabat lainnya atas dasar ketakwaan, bahwa opini yang dibangun harus berakar pada kebenaran, dan tidak boleh mencakup fitnah, serta kebohongan.
Kedua, qaulan ma’rufan (komunikasi yang baik). Dalam berkomunikasi, penting untuk berbicara dengan santun dan baik agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Allah berfirman dalam Alquran surat An-Nisa’ ayat 8 sebagai berikut:
وَاِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ اُولُوا الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنُ فَارْزُقُوْهُمْ مِّنْهُ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا
Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Ayat ini mengindikasikan kebutuhan untuk memilih qaulan ma’rufa, yang berarti menggunakan kalimat-kalimat yang baik sesuai dengan norma-norma dalam masing-masing masyarakat. Ayat ini menekankan agar pesan tersampaikan dengan bahasa yang sesuai dengan adat dan kebiasaan yang baik di tengah masyarakat.
BACA JUGA: Tarim di Lembah Hadramaut: Kota Ilmu yang Penuh Berkah
Ketiga, qaulan layyina (komunikasi yang lemah lembut). Seorang politikus harus menyampaikan pencitraan dirinya dengan lemah lembut dan tidak kasar, sehingga dapat menyentuh hati masyarakat luas untuk memilihnya. Allah berfirman dalam Alquran surat Thaha ayat 44 berikut ini:
فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى
Artinya: “Berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”
Keempat, qaulan baligha (komunikasi yang kuat, tajam, dan efektif). Menurut Al-Qurtubi dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, bahwa qaulan baligha adalah bentuk perkataan atau penjelasan yang memberikan kesan mendalam. Allah SWT berfirman dalam Alquran surat An-Nisa’ ayat 63:
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يَعْلَمُ اللّٰهُ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَّهُمْ فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَوْلًا ۢ بَلِيْغًا
Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.“
Kelima, qaulan maysura (Komunikasi yang sederhana dan melegakan). Ibnu Katsir menginterpretasikan qaulan maysura sebagai ucapan yang pantas dan janji yang menyenangkan. Ucapan tersebut selalu memberikan harapan positif kepada pihak yang dijanjikan. Allah SWT berfirman dalam Alquran surat Al-Isra’ ayat 28 sebagai berikut:
وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ٱبْتِغَآءَ رَحْمَةٍ مِّن رَّبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُل لَّهُمْ قَوْلًا مَّيْسُورًا
Artinya: “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.”
Keenam, qaulan karima (komunikasi yang mulia). Ungkapan ini menunjukkan ucapan yang lembut yang mengandung pengagungan dan penghormatan kepada lawan bicara. Ungkapan qaulan karima hanya muncul satu kali dalam Al-Quran, yaitu dalam surat Al-Isra ayat 23:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Wallahu A’lam
Oleh: Tengku Zaky Fathurrahman (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan)
-
Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.
Lihat semua pos Lecturer