Perdagangan Karbon: Mendorong Ekonomi Rendah Karbon, Simak
TATSQIF ONLINE – Perdagangan karbon adalah mekanisme pasar yang memungkinkan negara, perusahaan, atau lembaga untuk memperjualbelikan izin emisi gas rumah kaca (GRK). Sistem ini bertujuan untuk menurunkan emisi dengan memberikan kuota tertentu bagi setiap pelaku usaha. Apabila suatu perusahaan berhasil menekan emisinya lebih rendah dari batas yang ditentukan, sisa kuota tersebut dapat dijual kepada pihak lain. Sebagai instrumen ekonomi, perdagangan karbon diharapkan mendorong efisiensi energi dan investasi dalam teknologi ramah lingkungan.
Namun, meskipun perdagangan karbon menawarkan solusi terhadap krisis iklim, penerapannya menimbulkan berbagai pertanyaan tentang efektivitasnya dalam mendukung pembangunan berkelanjutan tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, perspektif masailul fiqhiyyah atau fiqh kontemporer sangat penting untuk memastikan bahwa mekanisme ini tidak hanya mendatangkan keuntungan ekonomi, tetapi juga selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam fiqh kontemporer, prinsip-prinsip seperti keadilan, kemaslahatan, dan tanggung jawab sosial harus diutamakan dalam penerapan sistem perdagangan karbon.
Konsep Dasar Perdagangan Karbon dalam Perspektif Fiqh Kontemporer
1. Prinsip Keadilan (al-‘Adalah)
Prinsip keadilan (al-‘adalah) dalam fiqh mengatur bahwa setiap tindakan ekonomi harus menjamin kesetaraan hak bagi semua pihak. Dalam konteks perdagangan karbon, ini berarti bahwa sistem ini tidak boleh memberi keuntungan yang tidak adil kepada negara atau perusahaan yang memiliki kekuatan ekonomi besar, sementara negara atau perusahaan yang lebih kecil atau berkembang merasa dirugikan. Konsep ini selaras dengan tujuan perdagangan karbon, yang bertujuan mengurangi emisi secara adil tanpa membebani satu pihak lebih dari yang lainnya.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an dalam Surah An-Nisa ayat 58:
إِنَّ اللَّـهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan jika kalian menghukum antara sesama manusia, hendaklah kalian menghukum dengan adil.”
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya keadilan dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam praktik ekonomi. Oleh karena itu, prinsip keadilan dalam perdagangan karbon tidak hanya memastikan bahwa kuota emisi dibagikan secara proporsional tetapi juga bahwa sisa kuota yang dijual tetap menguntungkan dan tidak mengeksploitasi negara-negara berkembang.
2. Prinsip Kemaslahatan (al-Maslahah)
Dalam fiqh kontemporer, kemaslahatan (maslahah) adalah prinsip utama yang menekankan pada pencapaian manfaat terbesar bagi masyarakat luas. Salah satu tujuan utama dari perdagangan karbon adalah untuk mengurangi emisi yang merugikan bumi dan manusia. Dengan demikian, sistem perdagangan karbon harus membawa manfaat bagi seluruh umat manusia dan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 195:
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّـهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan belanjakanlah harta di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Perdagangan karbon yang mengarah pada pengurangan emisi gas rumah kaca merupakan maslahah bagi seluruh umat manusia, yang dapat mengurangi dampak bencana alam dan krisis lingkungan. Penggunaan hasil dari penjualan kredit karbon juga harus diarahkan untuk kemaslahatan umum, seperti pembiayaan energi terbarukan dan konservasi alam, yang mendukung kesejahteraan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
3. Prinsip Tanggung Jawab Sosial (Takaful Ijtima’i)
Prinsip tanggung jawab sosial (takaful ijtima’i) dalam fiqh kontemporer menekankan bahwa setiap individu dan entitas dalam masyarakat memiliki kewajiban untuk saling membantu dan bekerja sama demi kemaslahatan umat. Dalam konteks perdagangan karbon, perusahaan dan negara yang lebih kaya yang dapat mengurangi emisi secara lebih efisien memiliki kewajiban untuk membantu negara-negara atau perusahaan-perusahaan yang lebih miskin dalam mencapai pengurangan emisi mereka.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ لَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيَوْمِ الآخِرِ فَلَا يُؤْذِي جَارَهُ
Artinya:“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan pentingnya solidaritas dalam Islam. Dalam hal ini, perdagangan karbon bisa dipandang sebagai mekanisme untuk mendorong perusahaan dan negara maju membantu negara-negara berkembang, sehingga prinsip tanggung jawab sosial dapat diwujudkan dalam implementasi mekanisme pasar ini.
4. Prinsip Larangan Eksploitasi dan Ketidakadilan
Fiqh kontemporer sangat menekankan prinsip untuk menghindari eksploitasi dan ketidakadilan dalam semua transaksi, termasuk dalam perdagangan karbon. Dalam sistem perdagangan karbon, potensi manipulasi pasar dan eksploitasi perusahaan atau negara-negara dengan kekuatan ekonomi besar dapat terjadi jika tidak ada pengawasan yang memadai.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 279:
فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ
Artinya: “Jika kalian tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya mengumumkan perang terhadap kalian.”
Ayat ini mengingatkan umat Islam untuk menjauhi praktik riba dan segala bentuk ketidakadilan dalam transaksi ekonomi. Perdagangan karbon yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang sudah kaya dan tidak mengurangi emisi secara efektif harus dihindari. Oleh karena itu, sistem perdagangan karbon harus dilengkapi dengan regulasi yang ketat untuk memastikan bahwa transaksi ini berjalan dengan adil dan menguntungkan seluruh umat.
Tantangan dan Peluang Implementasi Perdagangan Karbon dalam Sistem Ekonomi Modern
- Tantangan Regulasi dan Kelembagaan
Perdagangan karbon membutuhkan regulasi yang jelas dan lembaga pengawas yang kuat untuk memastikan mekanisme ini berjalan dengan baik. Dalam fiqh kontemporer, pengawasan yang transparan dan penegakan hukum yang tegas menjadi sangat penting untuk mencegah manipulasi dan ketidakadilan.
- Partisipasi Masyarakat dan Pelaku Usaha
Masyarakat dan pelaku usaha harus memiliki kesadaran yang cukup terhadap pentingnya pengurangan emisi dan penerapan perdagangan karbon. Pendidikan tentang tanggung jawab sosial dan kesadaran lingkungan sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan sistem ini.
Kesimpulan
Perdagangan karbon dalam perspektif masailul fiqhiyyah (fiqh kontemporer) adalah instrumen yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam, termasuk keadilan (‘adl), kemaslahatan (maslahah), dan tanggung jawab sosial (takaful ijtima’i). Dengan menggunakan prinsip-prinsip ini, perdagangan karbon dapat menjadi alat yang efektif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, mendorong inovasi teknologi hijau, dan mendukung pembangunan berkelanjutan tanpa mengorbankan keadilan sosial. Namun, keberhasilan implementasi perdagangan karbon bergantung pada regulasi yang jelas, pengawasan yang transparan, serta partisipasi aktif dari masyarakat dan pelaku usaha. Wallahu’alam.
Zilpia Mawaddah (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Referensi
Zulkifli, M., Prasetyo, B., & Wijaya, C. (2023). Potensi dan Optimalisasi Zakat Sebagai Instrumen Fiskal dalam Perekonomian Indonesia. Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, 13(2), 112-128.
Al-Qardawi, Y. (2022). Fiqh al-Zakat: A Contemporary Approach to Islamic Taxation. Dar alShorouq.
Spash, C. (2010). The Economics of Carbon Trading: A Critical Approach. Routledge.
Rahman, A., & Hassan, K. (2023). Principles of Islamic Taxation and Their Application in Contemporary Economic Systems. Review of Islamic Economics, 27(2), 15-34.
Mengapa perdagangan karbon dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca?
Bagaimana perdagangan karbon dapat digunakan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan transisi yang adil ke ekonomi rendah karbon di negara berkembang?
Bagaimana konsep maqashid syariah dapat digunakan untuk menilai keabsahan perdagangan karbon dalam perspektif ekonomi Islam?