Peradilan Islam dan Syarat-Syarat Pengangkatan Hakim, Simak
TATSQIF ONLINE – Peradilan Islam hadir sebagai implementasi nyata dari prinsip-prinsip agama Islam yang bertujuan melindungi hak-hak umat manusia. Sistem peradilan ini berasaskan pada Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’, yang mencerminkan komitmen terhadap keadilan.
Dalam praktiknya, hakim memainkan peran sentral sebagai penentu kepastian hukum dalam suatu perkara, sehingga untuk menjadi seorang hakim harus memenuhi kriteria khusus untuk memastikan keadilan yang merata bagi semua lapisan masyarakat.
Pengertian Peradilan
Peradilan, atau biasa disebut qadha (قضاء) dalam bahasa Arab, yang kalimat jamaknya adalah aqdiyah (أقضية), secara bahasa berarti penetapan dan pelaksanaan sesuatu.
Kata qadha juga memiliki arti lain, seperti ciptaan dan wahyu. Namun, menurut syara’, peradilan atau qadha berarti menyelesaikan konflik antara dua orang atau lebih dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala.
Menurut Wahbah Zuhaili, qadha adalah tindakan memutuskan perselisihan yang terjadi dan mengakhiri konflik dengan menetapkan hukum syariah bagi pihak-pihak yang bersengketa.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa peradilan adalah suatu sistem yang digunakan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara dua orang atau lebih dengan cara yang sesuai dengan hukum Allah SWT.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Ma’idah ayat 47 berikut ini:
وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah.”
Dan juga firman Allah SWT dalam surah Al-Ma’idah ayat 42 :
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ
Artinya: “Maka putuskanlah dengan adil.”
Peradilan membutuhkan seorang hakim atau qadhi, yaitu orang yang menyelesaikan persengketaan dan menetapkan suatu hukum atas masalah tersebut berdasarkan syariat.
Hal ini yang membedakan antara putusan hakim atau qadhi dengan putusan mufti. Hukum yang ditetapkan oleh seorang hakim atau qadhi wajib dilaksanakan atau bersifat lazim (mengikat).
Peradilan juga sering disebut sebagai hukum, karena di dalamnya terdapat hikmah yang mewajibkan penempatan sesuatu pada tempatnya. Hukum ini bertujuan mencegah orang yang zalim dari tindakan kezalimannya.
BACA JUGA: Politik Uang dalam Perspektif Hukum Islam, Jangan Sampai Terjebak
Hukum Peradilan dan Pengangkatan Hakim
Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, hukum peradilan merupakan fardhu kifayah. Sebabnya, pengadilan merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, yang merupakan dua tugas yang termasuk dalam kategori fardhu kifayah.
Sementara, pengangkatan seseorang sebagai hakim menjadi fardhu kifayah di wilayah yang jaraknya dapat ditempuh dalam sehari (musafatul adwa), dan disana terdapat beberapa orang yang juga memenuhi persyaratan sebagai hakim.
Penunjukan seseorang yang memenuhi persyaratan sebagai qadhi atau hakim dapat menjadi fardhu ‘ain, jika di wilayah tersebut tidak ada lagi yang layak untuk menjabat sebagai hakim.
Dalam hal ini, orang tersebut memiliki kewajiban untuk meminta diangkat sebagai hakim, terutama jika tidak ada orang lain yang memenuhi syarat untuk menempati posisi tersebut.
Jika ada beberapa orang yang memenuhi kriteria, tapi salah satu di antaranya lebih pantas, lalu pemimpin menunjuk yang lain, bagaimana hukumnya?
Dalam madzhab Syafi’i, orang tersebut boleh menerima jabatan hakim. Namun, pendapat lain menilai makruh hukumnya menerima jabatan sebagai hakim jika masih ada orang yang lebih pantas.
Kriteria Hakim atau Qadhi
Hadirnya lembaga peradilan Islam bertujuan menegakkan kebenaran dan keadilan. Manusia berpotensi melakukan kezaliman, sehingga keberadaan peradilan dan hakim sangat diperlukan untuk membela hak orang yang terzalimi.
Kedudukan sebagai hakim atau qadhi memiliki peran sentral dalam penetapan hukum, penyelesaian sengketa, dan pemberian keadilan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, para ulama telah menetapkan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi bagi mereka yang ingin menempati posisi tersebut.
1. Muslim
Menurut ajaran Al-Qur’an, seseorang yang tidak beriman (kafir) tidak pantas menjadi pemimpin atau mengatur urusan orang Islam. Ketentuan ini sesuai penjelasan Allah SWT dalam surat An-Nisa’ Ayat 141 sebagai berikut:
وَلَن يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لِلۡكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ سَبِيلًا
Artinya: “Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang yang beriman.”
Tujuan dari peradilan adalah untuk memutuskan persengketaan, sementara orang kafir dianggap tidak memahami atau tidak terikat dengan prinsip-prinsip tersebut.
Oleh karena itu, menurut pemikiran Imam al-Mawardi dan ar-Ruwayaini, pengangkatan hakim dari kalangan ahli dzimmah (komunitas non Muslim yang hidup di bawah perlindungan dan jaminan kaum Muslim setelah melakukan kesepakatan) bertujuan agar mereka menjadi pemimpin dalam urusan-urusan mereka sendiri.
Mereka memiliki wewenang dalam mengatur urusan internal komunitas mereka sendiri dan tidak wajib mengikuti hukum Islam secara ketat.
2. Mukallaf (Baligh dan Berakal Sehat)
Menurut Imam al-Mawardi, memiliki akal yang cukup untuk menerima taklif (kewajiban agama) saja tidaklah cukup. Seorang hakim juga harus memiliki pemikiran yang sehat, kecerdasan yang baik, dan memadai. Dia harus menjauhkan diri dari sifat pelupa dan lalai, agar dapat memahami permasalahan dengan jelas dan mampu menyelesaikan perselisihan dengan bijaksana.
3. Merdeka
Hal ini dikarenakan karena keterbatasan seorang budak dalam kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri, maka menjadi kurang pantas untuk memberikan tanggung jawab perwalian atau pengaturan kepada orang lain.
BACA JUGA: Politik Pencitraan, Begini Seharusnya dalam Islam
4. Laki-Laki
Menurut mayoritas ulama dari Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali, salah satu syarat untuk menjadi qadhi atau hakim adalah laki-laki. Pendapat ini menyatakan bahwa tidak sah kepemimpinan seorang perempuan dalam peradilan.
Argumen mereka berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an dan hadis. Mengutip ayat Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 34 berikut ini:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
Artinya: “Laki-laki itu pelindung bagi perempuan.”
Dalil tersebut menekankan bahwa laki-laki merupakan pelindung bagi perempuan, maka kepemimpinan perempuan dalam peradilan tidak sesuai dengan tatanan yang dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam juga bersabda dalam hadisnya:
عن أبي بكرة نفيع بن الحارث: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأه)
Artinya: “Dari Abi bakr nafii’ ibn al-Harits; nabi SAW pernah bersabda; “Ttidak akan beruntung suatu qaum yang mengangkat perempuan sebagai pengatur urusan mereka,” (HR Bukhari).
Hadis ini menyarankan untuk tidak memberikan kepemimpinan kepada perempuan dalam mengatur urusan suatu masyarakat.
Terdapat beragam penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an dan hadis di atas, dan tidak semua ulama sepakat dengan pandangan bahwa perempuan tidak bisa memimpin dalam peradilan.
Beberapa ulama menginterpretasikan ayat dan hadis tersebut dalam konteks yang lebih luas, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan gender dalam Islam.
5. Adil
Tidak boleh mengangkat seorang yang fasik sebagai hakim karena perkataannya tidak dapat dipercaya. Allah SWT telah menetapkan persyaratan keadilan dalam hukum, bahkan pada tingkat yang paling rendah sekalipun.
Hal ini seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an surah Al-Ma’idah ayat 95 berikut ini:
يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ
Artinya: “Menghukumi dengannya orang yang memiliki sifat adil dari kalian.”
6. Memiliki Pendengaran yang Baik
Seorang qadhi harus memiliki pendengaran yang baik agar bisa membedakan pengakuan (iqrar), dan penyangkalan (inkar) dari penggugat atau tergugat.
7. Memiliki Penglihatan yang Baik
Seseorang yang buta tidak boleh diangkat menjadi seorang qadhi atau hakim, karena dia tidak mampu membedakan antara pendakwa dan terdakwa. Namun, ada pengecualian untuk orang yang buta yang dapat melihat dengan jelas saat siang hari, dan mampu membedakan antara satu hal dengan yang lain.
Demikian pula, orang yang mengalami kebutaan pada sebelah matanya, tetapi dapat melihat dengan jelas menggunakan mata yang lain termasuk dalam pengecualian tersebut.
8. Bisa Berbicara
Seorang yang bisu tidak boleh menjadi hakim, meskipun orang lain dapat memahami isyaratnya. Sebabnya adalah ketidakmampuannya untuk melaksanakan dan mensahkan suatu hukum.
9. Memiliki Kemampuan dalam Mengemban Tugas
Dengan persyaratan ini, seseorang yang sering lalai, mengalami kecacatan dalam berfikir akibat faktor usia seperti pikun, atau karena faktor-faktor lainnya, tidak dapat diangkat sebagai seorang hakim.
Hal ini dikarenakan ketidakmampuannya untuk mengurusi perkara dan menyelesaikan persengketaan yang menjadi tugas seorang hakim.
10. Mujtahid
Seseorang yang tidak mampu berijtihad, meskipun ia hafal dan menguasai semua ijtihad serta permasalahannya dalam madzhab imamnya, tidak dapat ditunjuk sebagai hakim.
Persyaratan-persyaratan mujtahid, seperti penjelasan Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj, termasuk di antaranya dapat memahami hal-hal yang berkaitan dengan hukum dari Al-Quran dan Sunnah, serta memahami ayat dan hadis yang memiliki makna umum (‘aam) dan khusus (khas), yang bersifat global (mujmal) dan yang bersifat terang dan jelas (mubayyan), serta mengetahui nasikh mansukh.
Selain itu, seorang hakim juga harus memahami ilmu hadis seperti mutawatir dan ahad, muttashil (sanad bersambung) dan mursal, serta mengetahui keadaan periwayat hadis (haal ar-ruwah). Ia juga harus memiliki keahlian dalam ilmu bahasa (lughah), dan mengetahui ijma’ para sahabat dan para mujtahid sebelumnya.
Wallahu A’lam Bisshawab
Oleh Muhammad Hafiz Sunny Batubara (Mahasiswa Universitas Al-Ahgaff, Yaman)
-
Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.
Lihat semua pos Lecturer