Pembunuhan Tidak Sengaja dalam Islam: Pemahaman dan Hukum
TATSQIF ONLINE – Islam menempatkan nilai kehidupan sebagai hal yang sangat sakral, sehingga tindakan pembunuhan adalah pelanggaran serius. قتل خطأ atau pembunuhan tidak sengaja, menjadi isu penting dalam kajian hukum Islam.
Tindakan ini muncul tanpa niat jahat, sering kali akibat kelalaian atau kecelakaan, yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Meskipun pelaku tidak bermaksud jahat, dampak dari tindakan tersebut tetap berat, mempengaruhi keluarga korban dan pelaku.
Dalam ajaran Islam, pembunuhan yang tidak disengaja membawa konsekuensi hukum yang jelas, sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an dan Hadis. Memahami قتل خطأ membantu umat Muslim mengenali hukuman yang mungkin diterima pelaku dan menyadari pentingnya menjaga nyawa.
Untuk menggali lebih dalam mengenai topik ini, kita akan mengkaji karya Dr. Nawal Binti Sa’id Badgis yang berjudul Fiqh al-Jinayat wal Hudud. Buku ini merupakan referensi utama dalam mata kuliah Qiraatul Kutub di Program Studi Hukum Pidana Islam (HPI).
Teks Asli dalam Buku
قتل خطأ * التّعريف: القتل الخطأ مركّب من كلمتين هما: قتل، وخطأ. والقتل الخطأ عند الفقهاء هو ما وقع دون قصد الفعل والشّخص، أو دون قصد أحدهما. ما يترتّب على القتل الخطأ: يترتّب على القتل الخطأ ما يلي
أ – وجوب الدّية والكفّارة: اتّفق الفقهاء على أنّ من قتل مؤمناً خطأً فعليه الدّية والكفّارة، لقوله تعالى: {وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَن يَصَّدَّقُواْ}. ويجري هذا الحكم على الكافر المعاهد، لقوله تعالى: {وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً}. قال الماورديّ: قدّم في قتل المسلم الكفّارة على الدّية، وفي الكافر الدّية، لأنّ المسلم يرى تقديم حقّ اللّه تعالى على نفسه، والكافر يرى تقديم حقّ نفسه على حقّ اللّه تعالى. كما اتّفقوا على عدم وجوب شيء في قتل كافر لا عهد له
ب – وجوب الكفّارة فقط: ذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ المؤمن الّذي يقتل في بلاد الكفّار أو في حروبهم على أنّه من الكفّار، فعلى قاتله الكفّارة فقط، لقوله تعالى: {فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ}. قال ابن قدامة: لا يوجب قصاصاً، لأنّه لم يقصد قتل مسلم، فأشبه ما لو ظنّه صيداً فبان آدميّاً، إلاّ أنّ هذا لا تجب فيه دية، إنّما تجب الكفّارة. روي هذا عن ابن عبّاس رضي الله عنهما، وبه قال عطاء ومجاهد وعكرمة وقتادة والأوزاعيّ والثّوريّ وأبو ثور
وفي قول عند المالكيّة ورواية عن أحمد أنّ فيه الدّية والكفّارة، لقوله تعالى: {وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ}. وقال الشّافعيّة: إذا قتل إنساناً يظنّه على حال فكان بخلافه، كما إذا قتل مسلماً ظنّ كفره، لأنّه رآه يعظّم آلهتهم، أو كان عليه زيّ الكفّار في دار الحرب، لا قصاص عليه جزماً للعذر الظّاهر، وكذا لا دية في الأظهر، لأنّه أسقط حرمة نفسه بمقامه في دار الحرب الّتي هي دار الإباحة، ومقابل الأظهر تجب الدّية، لأنّها تثبت مع الشّبهة. أمّا الكفّارة فتجب جزماً، لقوله تعالى: {فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ}
Teks dengan Tambahan Harakat
قَتْلٌ خَطَأٌ * التَّعْرِيفُ: القَتْلُ الخَطَأُ مُرَكَّبٌ مِن كَلِمَتَيْنِ هُمَا: قَتْلٌ، وَخَطَأٌ. وَالقَتْلُ الخَطَأُ عِندَ الفُقَهَاءِ هُوَ مَا وَقَعَ دُونَ قَصْدِ الفِعْلِ وَالشَّخْصِ، أَوْ دُونَ قَصْدِ أَحَدِهِمَا. مَا يَتَرَتَّبُ عَلَى القَتْلِ الخَطَأِ: يَتَرَتَّبُ عَلَى القَتْلِ الخَطَأِ مَا يَلي
أ – وُجُوبُ الدِّيَةِ وَالكَفَّارَةِ: اتَّفَقَ الفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَعَلَيْهِ الدِّيَةُ وَالكَفَّارَةُ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَئًا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَن يَصَّدَّقُوا}. وَيَجْرِي هَذَا الحُكْمُ عَلَى الكَافِرِ المُعَاهَدِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً}. قَالَ المَاوَرْدِيُّ: قَدَّمَ فِي قَتْلِ المُسْلِمِ الكَفَّارَةَ عَلَى الدِّيَةِ، وَفِي الكَافِرِ الدِّيَةَ، لِأَنَّ المُسْلِمَ يَرَى تَقْدِيمَ حَقِّ اللّٰهِ تَعَالَى عَلَى نَفْسِهِ، وَالكَافِرُ يَرَى تَقْدِيمَ حَقِّ نَفْسِهِ عَلَى حَقِّ اللّٰهِ تَعَالَى. كَمَا اتَّفَقُوا عَلَى عَدَمِ وُجُوبِ شَيْءٍ فِي قَتْلِ كَافِرٍ لَا عَهْدَ لَهُ.
ب – وُجُوبُ الكَفَّارَةِ فَقَط: ذَهَبَ جُمْهُورُ الفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ المُؤْمِنَ الَّذِي يَقْتُلُ فِي بِلَادِ الكَافِرِينَ أَوْ فِي حُرُوبِهِمْ عَلَى أَنَّهُ مِنَ الكَافِرِينَ، فَعَلَى قَاتِلِهِ الكَفَّارَةُ فَقَط، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ}. قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ: لَا يُوْجِبُ قَصَاصًا، لِأَنَّهُ لَمْ يَقْصِدْ قَتْلَ مُسْلِمٍ، فَأَشْبَهَ مَا لَوْ ظَنَّهُ صَيْدًا فَبَانَ آدَمِيًّا، إِلَّا أَنَّ هَذَا لَا تَجِبُ فِيهِ دِيَةٌ، إِنَّمَا تَجِبُ الكَفَّارَةُ. رُويَ هَذَا عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا، وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ وَمُجَاهِدٌ وَعِكْرِمَةُ وَقَتَادَةُ وَالأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ
وَفِي قَوْلٍ عِندَ الْمَالِكِيَّةِ وَرِوَايَةٍ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّ فِيهِ الدِّيَةَ وَالكَفَّارَةَ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَئًا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ}. وَقَالَ الشَّافِعِيَّةُ: إِذَا قَتَلَ إِنْسَانًا يَظُنُّهُ عَلَى حَالٍ فَكَانَ بِخِلَافِهِ، كَمَا إِذَا قَتَلَ مُسْلِمًا ظَنَّ كُفْرَهُ، لِأَنَّهُ رَآهُ يُعَظِّمُ آلِهَتَهُمْ، أَوْ كَانَ عَلَيْهِ زِيُّ الكَافِرِينَ فِي دَارِ الحَرْبِ، لَا قَصَاصَ عَلَيْهِ جَزْمًا لِلْعُذْرِ الظَّاهِرِ، وَكَمَا لَا دِيَةَ فِي الأَظْهَرِ، لِأَنَّهُ أَسْقَطَ حُرْمَةَ نَفْسِهِ بِمَقَامِهِ فِي دَارِ الحَرْبِ الَّتِي هِيَ دَارُ الإِبَاحَةِ، وَمُقَابَلُ الأَظْهَرِ تَجِبُ الدِّيَةُ، لِأَنَّهَا تَثْبُتُ مَعَ الشُّبْهَةِ. أَمَّا الكَفَّارَةُ فَتَجِبُ جَزْمًا، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ}
Terjemahan Teks
Pembunuhan yang Tidak Disengaja
Definisi: Pembunuhan tidak sengaja terdiri dari dua kata, yaitu: pembunuhan dan tidak sengaja. Pembunuhan tidak sengaja menurut para ulama adalah pembunuhan yang terjadi tanpa niat melakukan tindakan tersebut atau tanpa niat terhadap orang yang dibunuh, atau tanpa niat terhadap salah satu dari keduanya.
Akibat dari pembunuhan tidak sengaja adalah sebagai berikut:
A – Kewajiban Diyat dan Kaffarah:
Para ulama sepakat bahwa siapa pun yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja, maka dia wajib membayar diyat (tebusan) dan kaffarah (tebusan jiwa), berdasarkan firman Allah: {Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan tidak sengaja, maka dia wajib memerdekakan seorang budak mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali jika mereka merelakannya}. Hukum ini juga berlaku bagi orang kafir yang terikat perjanjian, berdasarkan firman Allah: {Dan jika dia termasuk dari suatu kaum yang ada perjanjian di antara kamu dan mereka, maka diyat diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan seorang budak mukmin}. Al-Mawardi mengatakan: Dalam kasus pembunuhan seorang Muslim, kaffarah didahulukan atas diyat, sedangkan dalam kasus pembunuhan orang kafir, diyat didahulukan, karena seorang Muslim menganggap pentingnya hak Allah dibandingkan hak dirinya, sedangkan orang kafir menganggap hak dirinya lebih utama daripada hak Allah. Para ulama juga sepakat bahwa tidak ada kewajiban apa pun dalam kasus pembunuhan seorang kafir yang tidak memiliki perjanjian.
B – Kewajiban Kaffarah Saja:
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa seorang mukmin yang terbunuh di negeri kafir atau dalam peperangan mereka, yang dianggap kafir, maka pembunuhnya hanya diwajibkan untuk membayar kaffarah, berdasarkan firman Allah: {Jika dia termasuk dari suatu kaum yang menjadi musuh kamu dan dia seorang mukmin, maka wajib memerdekakan seorang budak mukmin}. Ibn Qudamah berkata: Ini tidak mengharuskan qisas (balasan setimpal), karena dia tidak berniat membunuh seorang Muslim, sebagaimana jika dia mengira bahwa dia sedang membunuh binatang buruan, namun ternyata dia membunuh seorang manusia. Namun, dalam hal ini tidak ada kewajiban diyat, melainkan hanya kaffarah yang wajib, dan ini diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a., serta diikuti oleh Atha’, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, Al-Awza’i, Al-Thawri, dan Abu Thawr.
Dalam pendapat di kalangan Malikiyah dan riwayat dari Ahmad, ada yang berpendapat bahwa dalam kasus ini berlaku diyat dan kaffarah, berdasarkan firman Allah: {Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan tidak sengaja, maka dia wajib memerdekakan seorang budak mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya}. Dan para Syafi’iyah mengatakan: Jika seseorang membunuh orang lain yang dia anggap dalam keadaan tertentu tetapi ternyata sebaliknya, seperti jika dia membunuh seorang Muslim dengan mengira bahwa dia adalah orang kafir, karena dia melihatnya menghormati berhala-berhala mereka, atau dia mengenakan pakaian kafir di tanah perang, maka tidak ada qisas baginya secara tegas karena adanya alasan yang jelas. Dan juga tidak ada diyat dalam pandangan yang lebih jelas, karena dia mengabaikan kehormatan dirinya dengan posisinya di tanah perang yang merupakan darurat. Dalam pandangan yang berlawanan, diyat tetap berlaku, karena ia berlaku meskipun ada keraguan. Sedangkan kaffarah wajib tanpa ragu, berdasarkan firman Allah: {Jika dia termasuk dari suatu kaum yang menjadi musuh kamu dan dia seorang mukmin, maka wajib memerdekakan seorang budak mukmin}.
Penjelasan Isi Teks
Teks ini menjelaskan tentang hukum pembunuhan tidak sengaja dalam Islam. Pembunuhan yang tidak disengaja (قَتْلٌ خَطَأٌ) adalah ketika seseorang membunuh orang lain tanpa niat atau tanpa menyadari apa yang dilakukan. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa ada konsekuensi tertentu yang harus dihadapi oleh pembunuh.
1. Kewajiban Diyat dan Kaffarah:
Jika pembunuhan tidak sengaja terjadi pada seorang Muslim, pelakunya wajib membayar diyat dan melakukan kaffarah. Ini bertujuan untuk memberikan keadilan kepada keluarga korban dan menghapuskan dosa pelaku. Hukum ini juga berlaku untuk orang kafir yang terikat perjanjian dengan umat Islam.
2. Kewajiban Kaffarah Saja:
Jika seorang Muslim terbunuh di negeri kafir atau dalam konteks peperangan, pelakunya hanya wajib membayar kaffarah. Ini mencerminkan pandangan bahwa niat pembunuhan sangat penting dalam penentuan hukuman.
Berbagai pendapat muncul mengenai diyat dalam kasus ini, dengan beberapa ulama menyatakan bahwa tidak ada diyat yang wajib, sedangkan yang lain menegaskan bahwa diyat tetap berlaku dalam beberapa kondisi.
3. Perbedaan Pendapat:
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai penanganan pembunuhan tidak sengaja, terutama dalam konteks identitas dan niat. Hal ini menunjukkan kompleksitas hukum Islam dan perlunya pemahaman yang mendalam terhadap konteks dan niat di balik tindakan.
Kosa Kata Pilihan
الزجر (al-zajr) – Peringatan atau teguran keras. الخطأ الفادح (al-khata’ al-fādih) – Kesalahan besar. المسؤولية (al-mas’ūliyya) – Tanggung jawab. الحدود (al-ḥudūd) – Batasan (dalam konteks hukum). الاجتهاد (al-ijtihād) – Usaha keras (dalam menginterpretasi hukum). المعاذير (al-ma’ādhīr) – Alasan atau pembelaan. الحجة (al-ḥujja) – Bukti atau argumen. الأدلة (al-adillah) – Bukti atau dalil. التحقيق (al-taḥqīq) – Penyidikan atau investigasi. التعزير (al-ta’zīr) – Sanksi atau hukuman yang tidak terukur.
Kaidah Bahasa Arab: Jumlah Idhafah
Idhafah adalah penggabungan dua isim atau lebih dengan tujuan mengkhususkan makna. Kata pertama disebut mudaaf (مضاف) dan kata kedua disebut mudaaf ilaih (مضاف إليه). Mudaaf ilaih selalu ber’irab jar, sedangkan ‘irab mudaaf tergantung pada posisinya dalam kalimat.
Contoh:
كِتَابُ زَيْدٍ (Kitābu Zayd) – “Buku Zayd”
كِتَابُ الْفِقْهِ (Kitābu al-Fiqh) – “Buku Fiqh”
Syarat Mudaaf:
1. Tidak ada alif lam: Keberadaan alif lam dianggap sama dengan na’at man’ut.
2. Membuang tanwin: Mudaaf tidak boleh memiliki tanwin, karena tanwin menunjukkan nakirah, sementara mudaaf adalah ma’rifah. Contoh: كِتَابٌ زَيْدٌ menjadi كِتَابُ زَيْدٍ
3. Membuang nun: Harus menghilangkan nun pada akhir isim mutsanna dan jamak mudzakkar salim ketika diidhafahkan. Contoh: مُدَرِّسَانِ اللُّغَةِ menjadi مُدَرِّسَا اللُّغَةِ
Makna Idhafah:
Tahshish: Mengkhususkan, bila mudaaf ilaih berupa isim nakirah. Contoh: كَتَابُ رَجُلٍ – “Buku seorang lelaki”.
Ta’rif: Menjelaskan, bila mudaaf ilaih berupa isim ma’rifah. Contoh: كِتَابُ مُحَمَّدٍ – “Buku Muhammad”.
Takhfif: Meringankan bacaan, bila iḍāfah lafzhiyah. Contoh: ضَارِبُ زَيْدٍ lebih ringan daripada ضَارِبُ زيدًا.
Contoh-contoh Idhafah dari Teks
حَقِّ اللّٰهِ
Mudhaf: حَقِّ (haqq) – “hak”. Mudhaf ilaih: اللّٰهِ (Allah) – “Allah”
وُجُوبُ الدِّيَةِ
Mudhaf: وُجُوبُ (wujūb) – “keharusan”. Mudhaf ilaih: الدِّيَةِ (al-diyah) – “diyat”.
فِي قَتْلِ المُسْلِمِ
Mudhaf: قَتْلِ (qatl) – “pembunuhan”. Mudhaf ilaih: المُسْلِمِ (al-muslim) – “yang muslim”. Wallahua’lam.
Ayub Harahap (Mahasiwa Prodi HPI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) dan Sylvia Kurnia Ritonga (Dosen Pengampu Mata Kuliah Qira’atul Kutub HPI)
Apakah semua kata benda dapat menjadi mudhaf dalam jumlah idhafah , atau ada kata-kata tertentu yang tidak bisa digunakan?
tidak semua kata benda bisa menjadi mudhaf dalam konstruksi jumlah idhafah (frasa genitif). Meskipun kebanyakan kata benda bisa menjadi mudhaf, ada beberapa pengecualian, yaitu kata-kata yang tidak bisa digunakan sebagai mudhaf. Berikut beberapa aturan mengenai hal ini:
1. Kata-kata yang ditentukan oleh “Alif-Lam” (ال): Jika sebuah kata benda sudah ditentukan oleh Alif-Lam, maka kata tersebut tidak bisa menjadi mudhaf. Misalnya, “kitab” (buku) bisa menjadi mudhaf, tetapi “al-kitab” (buku itu) tidak bisa, karena sudah definitif.
2. Kata benda yang bersifat mubham (tidak jelas): Kata ganti seperti “hadza” (ini), “tilka” (itu), atau kata-kata mubham lainnya, tidak bisa digunakan sebagai mudhaf karena mereka tidak bisa memiliki keterkaitan genitif.
3. Kata kerja: Kata kerja dalam bahasa Arab tidak bisa digunakan sebagai mudhaf, karena mudhaf harus berupa kata benda.
4. Beberapa jenis isim yang memiliki sifat ma’rifah tertentu: Kata benda ma’rifah (definitif) seperti “ismi” (namaku), atau kata yang sudah dalam keadaan idhafah, tidak bisa lagi digunakan sebagai mudhaf untuk idhafah lainnya.
Izin bertanya kepada pemakalah..
Di dalam makna idhafah,coba pemakalah buat contoh lain dari tahshish dan tunjukkan dimana isim nakirahnya,dan contoh dari ta’rif dan tunjukkan yang mana disitu isim ma’rifahnya dan jelaskan maksud dari takhfif meringankan bacaan bila idhafah lafziyah?
coba jelaskan lebih rinci tentang makna idhafah Takhfif
Coba pemakalah jelaskan kembali tentang mudhof mudhofun ilaih beserta contohnya
izin bertanya kepada saudara, Bagaimana perubahan bentuk kata dalam jumlah idhafah jika digunakan dalam konteks tertentu?
Bagaimana cara membentuk iḍāfah?
Coba saudara jelaskan kembali tentang contoh jumlah idhafah karna saya kurang faham
فِي قَتْلِ المُسْلِمِ jelaskan mengapa dia bisa mudhaf?
Mengapa mudhaf tidak boleh memiliki alif lam atau tanwin dalam jumlah idhafah ?