Aqidah & AkhlakFiqh & Ushul Fiqh

Niat: Menentukan Keabsahan dan Tujuan Setiap Tindakan

TATSQIF ONLINE Niat adalah keinginan atau kehendak yang berasal dari hati untuk melakukan suatu tindakan. Niat menjadi penentu dari tindakan yang dilakukan.

Menurut kesepakatan ulama, jika seseorang telah memiliki niat di dalam hatinya, maka niat tersebut dianggap sah meskipun tidak diucapkan secara lisan. Setiap orang yang melakukan suatu tindakan pasti telah memiliki niat.

Sebagai contoh, ketika seseorang diberikan minuman dan dia ingin meminumnya, maka itu sudah termasuk sebagai niat. Tidak mungkin suatu tindakan dilakukan tanpa adanya niat sebelumnya.

Secara bahasa, niat adalah al-qashd, yang artinya keinginan. Sementara secara istilah syar’i, niat didefinisikan sebagai azam atau tekad untuk mengerjakan suatu ibadah dengan ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Letak niat berada di dalam batin atau hati. 

Imam Nawawi  mengatakan, niat adalah bermaksud untuk melakukan sesuatu dan bertekad bulat untuk mengerjakannya.

Sementara menurut Imam Al-Khathabi, niat adalah bermaksud untuk mengerjakan sesuatu dengan hati dan menjatuhkan pilihan untuk melakukan hal tersebut.

BACA JUGA: Cara Mudah Menjemput Rezeki, Nomor 3 Paling Ampuh

Niat yang benar menandakan ikhlasnya suatu amal, semata-mata untuk mengharap ridho Allah SWT. Untuk memahami urgensi niat dalam kehidupan sehari-hari, beberapa ulama telah menyampaikan pokok-pokok penting mengenai hal tersebut.

Pertama, Yahya bin Abi Katsir menekankan pentingnya memahami niat, karena niat mencapai sisi Allah lebih awal daripada amalan itu sendiri. Kedua, Mutharrif bin Abdullah menyatakan bahwa kualitas hati berkorelasi dengan kualitas amalan, dan kebaikan amalan tergantung pada kebaikan niat. Terakhir, Sufyan Ats-Tsauri menyampaikan bahwa persoalan niat adalah yang paling sulit untuk diatasi, karena niat senantiasa berfluktuasi dalam dirinya.

Dalam kitab Arba’in Nawawiyah disebutkan sebuah hadis:

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Artinya: “Dari Amirul Mukminin Abu Hafsin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya semua amal tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. Maka, barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju,” (HR Bukhari dan Muslim).

Allah SWT memerintahkan hambanya untuk memiliki niat yg lurus. Ikhlas mengerjakan suatu ibadah merupakan kunci diterimanya suatu amal. Allah berfirman dalam Alquran surat Al-Bayyinah ayat 5 yang berbunyi:

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ 

Artinya: “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).”

Pertama, suatu amal ibadah dibedakan berdasarkan niatnya. Apakah akan berniat mengerjakan ibadah wajib atau ibadah sunnah.

Kedua, membedakan tujuan dalam mengerjakan amal perbuatan. Apabila mengerjakan suatu perbuatan yang secara dzohir terlihat mengejar dunia, namun niatnya benar karena mencari ridho Allah SWT,  itu akan mendatangkan pahala. Sebaliknya, apabila mengerjakan amalan akhirat,  tetapi niatnya salah, maka tidak mendapatkan apa-apa. 

Ketiga, niat menjadikan suatu amalan yang mubah menjadi bernilai. Perbuatan yang disertai niat akan mendapatkan pahala, meskipun pada akhirnya belum mampu dikerjakan karena terhalang suatu hal.

Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai apakah niat harus dilafalkan secara lisan atau cukup dengan niat di dalam hati. Pendapat mayoritas ulama adalah bahwa niat seharusnya ada di dalam hati saja, dan tidak harus dilafalkan secara lisan.

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa niat harus dilafalkan untuk memperkuat kekokohan dan kejelasan niat. Mereka berargumen bahwa dengan mengucapkan niat secara lisan, seseorang dapat lebih memfokuskan perhatian dan memastikan kesadaran penuh terhadap tindakan ibadah yang akan dilakukan.

Pentingnya menjaga niat yang tulus dalam setiap perbuatan memang ditekankan dalam ajaran Islam. Jika niat seseorang mulai terpengaruh atau berbelok, maka disarankan untuk memperbaharui (tajdid) kembali niat tersebut agar tetap lurus dan ikhlas. Dengan menjaga niat yang benar, setiap amalan akan menjadi lebih bermakna dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Wallahu A’lam
Oleh Uswatun Jayanah

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk