Fiqh & Ushul Fiqh

Hukum Multi Akad dan Penerapannya dalam Ekonomi Syariah

TATSQIF ONLINE – Perkembangan sistem keuangan dan perbankan syariah mendorong lahirnya berbagai bentuk produk transaksi baru yang berlandaskan prinsip syariah. Salah satu fenomena yang banyak muncul dalam produk keuangan tersebut adalah penggunaan multi akad, yakni penggabungan dua atau lebih akad dalam satu rangkaian transaksi.

Dalam praktiknya, multi akad bertujuan memfasilitasi kebutuhan ekonomi yang kompleks dan tidak selalu dapat diselesaikan dengan satu akad tunggal. Namun, penggabungan ini juga menimbulkan pertanyaan dalam fikih muamalah: apakah hukum multi akad dalam Islam? Dan bagaimana aplikasinya dalam konteks kontemporer?

Pengertian Multi Akad dalam Fikih Muamalah

Multi akad dapat diartikan sebagai suatu transaksi yang melibatkan dua akad atau lebih yang saling berhubungan dan dilaksanakan dalam satu kesatuan kontrak. Contoh sederhananya adalah transaksi murabahah bil wakalah, di mana pihak bank menunjuk nasabah sebagai wakil untuk membeli barang, lalu menjual barang tersebut kembali kepada nasabah dengan keuntungan tertentu. Maka dalam satu rangkaian, terdapat dua akad: wakalah dan murabahah.

Ulama sepakat bahwa setiap akad dalam Islam harus memenuhi syarat dan rukun tertentu serta menghindari unsur gharar (ketidakjelasan), riba (bunga), dan zalim (kezaliman). Multi akad menjadi rumit karena berpotensi menyatukan dua jenis akad yang memiliki hukum berbeda, bahkan bisa saling bertentangan. Oleh karena itu, penting untuk menelaah secara cermat bagaimana pandangan para ulama terhadap praktik ini.

Pandangan Ulama Klasik tentang Multi Akad

Mayoritas ulama klasik melarang penggabungan dua akad dalam satu transaksi jika akad tersebut saling terkait dan menyebabkan ketidakjelasan. Mereka merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW:

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَن، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Artinya: “Tidak halal menggabungkan antara pinjaman dan jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu jual beli, tidak boleh mengambil keuntungan dari sesuatu yang belum dijamin, dan tidak boleh menjual barang yang belum kamu miliki.” (HR. Abu Dawud)

Hadis ini dijadikan dasar oleh jumhur ulama seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan sebagian ulama Hanbali, yang menyatakan bahwa menggabungkan dua akad yang saling tergantung dapat menimbulkan unsur gharar dan potensi eksploitasi terhadap salah satu pihak. Imam Al-Syafi’i dalam al-Umm menjelaskan bahwa akad yang tergabung dapat menimbulkan syarat yang batil jika salah satunya berperan sebagai syarat sah bagi yang lain, padahal tidak seharusnya demikian (Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm).

Contoh praktik yang dilarang misalnya: seseorang menjual rumah dengan harga tertentu, namun disyaratkan pembeli juga harus meminjamkan uang dalam jumlah tertentu kepada penjual. Akad seperti ini tidak hanya memunculkan ketimpangan dalam transaksi, tetapi juga mendekati unsur riba karena pinjaman menjadi sarana meraih keuntungan.

Pandangan Ulama Kontemporer: Pendekatan Solutif

Sebagian besar ulama kontemporer memandang praktik multi akad tidak serta-merta haram, selama dilakukan secara terstruktur dan memenuhi prinsip-prinsip syariah. Di antara lembaga yang mengkaji dan mengatur persoalan ini adalah Majma’ al-Fiqh al-Islami dan Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

DSN-MUI dalam beberapa fatwanya membolehkan multi akad dengan beberapa syarat, di antaranya:

  1. Setiap akad harus memiliki kejelasan dari segi objek, pihak, serta waktu pelaksanaannya.
  2. Tidak ada unsur eksploitasi (zulm), riba, atau gharar yang berlebihan.
  3. Tujuan akad adalah halal dan bermanfaat bagi para pihak yang bertransaksi.
  4. Pelaksanaannya dilakukan secara transparan dan profesional.

Dalam Fatwa DSN-MUI No. 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Musyarakah Mutanaqisah, disebutkan bahwa penggabungan akad syirkah dan ijarah diperbolehkan dengan skema yang benar dan sesuai syariah. Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam merespons tantangan ekonomi modern selama tetap dalam koridor prinsip-prinsip Islam (DSN-MUI, Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2021).

Dalil-Dalil Al-Qur’an tentang Keadilan dan Jauhnya Riba

Salah satu prinsip dasar dalam transaksi Islam adalah keadilan dan penghindaran dari praktik riba. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 130)

Ayat ini menunjukkan larangan keras terhadap segala bentuk tambahan yang tidak sah dalam transaksi, termasuk jika penggabungan akad menyebabkan unsur riba secara tidak langsung.

Contoh Penerapan Multi Akad dalam Keuangan Syariah

Berikut adalah beberapa contoh penerapan multi akad dalam produk keuangan syariah modern:

1. Murabahah bil Wakalah

    Dalam pembiayaan konsumen, bank menunjuk nasabah sebagai wakil untuk membeli barang (akad wakalah), lalu barang tersebut dijual kembali kepada nasabah dengan harga plus margin (akad murabahah). Penggabungan ini diperbolehkan karena akad dilakukan dalam dua tahap yang jelas.

    2. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik

      Merupakan kombinasi antara akad sewa (ijarah) dan jual beli (tamlik). Misalnya, seseorang menyewa mobil dari perusahaan, lalu setelah masa sewa selesai dan pembayaran lunas, mobil menjadi milik penyewa. Dalam pelaksanaannya, harus dipisahkan antara akad ijarah dan akad jual belinya.

      3. Produk Kartu Pembiayaan Syariah

        Beberapa bank syariah mengeluarkan kartu pembiayaan yang menggabungkan akad kafalah (penjaminan), qardh (pinjaman), dan ijarah (jasa). Kartu ini memberi fleksibilitas kepada nasabah, dan selama struktur akadnya jelas serta tidak melibatkan bunga atau denda riba, maka diperbolehkan.

        4. Musyarakah Mutanaqisah

          Digunakan dalam kepemilikan bersama seperti pembelian rumah. Bank dan nasabah bekerja sama memiliki aset (musyarakah), dan nasabah membayar sewa sekaligus membeli porsi kepemilikan bank secara bertahap. Ini gabungan antara akad syirkah dan ijarah.

          Tantangan dan Solusi dalam Praktik Multi Akad

          Tantangan terbesar dalam pelaksanaan multi akad adalah kejelasan akad dan pemisahan hak-hak setiap pihak. Jika tidak hati-hati, penggabungan akad bisa menyebabkan syarat-syarat batil, ketidakjelasan hak dan kewajiban, serta unsur penipuan.

          Solusinya adalah menerapkan prinsip transparansi, akad bertingkat (tandzim tartibi), dan pemisahan kontrak secara administratif. Banyak lembaga keuangan syariah kini menggunakan pendekatan ini untuk menjaga kepatuhan syariah sekaligus fleksibilitas layanan.

          Kesimpulan

          Multi akad merupakan kebutuhan riil dalam transaksi keuangan modern. Meski dalam fikih klasik terdapat larangan terhadap penggabungan dua akad, ulama kontemporer membuka ruang kebolehan selama memenuhi prinsip kejelasan, keadilan, dan bebas dari riba serta gharar. Dalam praktiknya, multi akad dapat menjadi instrumen penting untuk menjawab tantangan ekonomi masa kini, selama disusun dengan struktur yang sesuai syariat.

          Dengan memahami prinsip dasar dan contoh penerapannya, pelaku ekonomi syariah dapat menggunakan multi akad sebagai jalan inovasi yang tetap berlandaskan pada ajaran Islam. Sebagaimana sabda Nabi SAW:

          إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

          Artinya: “Sesungguhnya jual beli itu dilakukan atas dasar kerelaan antara dua pihak.” (HR. Ibnu Majah)

          Transaksi ekonomi dalam Islam bukan hanya soal keuntungan duniawi, tetapi juga berkaitan erat dengan nilai-nilai spiritual dan keadilan sosial. Oleh karena itu, dalam menerapkan multi akad, diperlukan pemahaman fikih yang mendalam, kejujuran, serta tanggung jawab syar’i demi menciptakan sistem ekonomi yang berdaya saing dan tetap berada di jalan yang diridhai Allah. Wallahua’lam.

          Yuni Syahfitri Nasution (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

          4 komentar pada “Hukum Multi Akad dan Penerapannya dalam Ekonomi Syariah

          • Bagaimana multi akad mempengaruhi hak dan kewajiban para pihak?

            Balas
          • Bagaimana hukum multi akad dalam transaksi syariah

            Balas
          • Bagaimana cara membedakan antara multi akad yang dibolehkan dan yang dilarang dalam praktik? Apakah pemisahan administratif cukup untuk menjamin kehalalan sebuah produk?

            Balas
          • Muhammad Ridho Munthe

            Bagaimana menurut pemakalah mengenai praktik pelaksanaan multi akad dalam kehidupan sehari-hari, apakah sudah sesuai dengan ketentuan? Dan jika belum, apa yang menjadi penyebab tersebut!

            Balas

          Tinggalkan Balasan

          Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *