Al-Qur'an & HadisFiqh & Ushul Fiqh

Metode Penjelasan Hukum dan Jenis Hukum dalam Al-Qur’an

TATSQIF ONLINE – Al-Qur’an merupakan kitab suci yang mengandung petunjuk hidup paling sempurna bagi umat manusia. Ia bukan hanya bacaan ritual yang dilantunkan dalam shalat atau dibaca untuk memperoleh pahala, tetapi juga sumber hukum yang menyeluruh, yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ḥablum minallāh) dan dengan sesama (ḥablum minannās).

Dalam tradisi ushul fikih, Al-Qur’an ditempatkan sebagai sumber hukum yang pertama dan tertinggi (al-maṣdar al-awwal). Seluruh bentuk hukum Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah, muamalah, jinayah, maupun akhlak, berpangkal dari Al-Qur’an. Sunnah Nabi Saw., ijma‘, dan qiyas hanyalah penjelas, penguat, atau perpanjangan dari prinsip-prinsip yang sudah ada dalam Al-Qur’an (al-Zuhaili, 2002: 41).

Allah Swt. berfirman:

اِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعٰلَمِيْنَۙ (٨٧) لِمَنْ شَآءَ مِنْكُمْ اَنْ يَّسْتَقِيْمَ (٨٨)

Artinya: “Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam, yaitu bagi siapa di antara kamu yang berkehendak menempuh jalan yang lurus” (QS. at-Takwīr [81]: 87–88).

Ayat ini menunjukkan universalitas Al-Qur’an. Sebagai peringatan sekaligus petunjuk, Al-Qur’an mengandung hukum-hukum yang bisa diaplikasikan sepanjang zaman. Untuk memahami hukum-hukum tersebut, kita perlu melihat bagaimana Al-Qur’an menjelaskannya dan apa saja kategori hukum yang dikandungnya.

Metode Penjelasan Hukum dalam Al-Qur’an

1. Penjelasan dengan Perintah (Amr) yang Tegas

Perintah dalam Al-Qur’an seringkali digunakan untuk menunjukkan kewajiban. Misalnya, perintah mendirikan shalat malam yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya:

يٰٓاَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (١) قُمِ الَّيْلَ اِلَّا قَلِيْلًا (٢)

Artinya: “Hai orang yang berselimut, bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sedikit daripadanya” (QS. al-Muzzammil [73]: 1–2).

Ayat ini menjadi dasar hukum shalat tahajjud yang pada awalnya wajib, kemudian hukumnya menjadi sunnah. Di sini terlihat bagaimana perintah Allah menjadi rujukan penetapan hukum sekaligus menunjukkan fleksibilitas syariat.

2. Penjelasan dengan Larangan (Nahy) yang Mengikat

Larangan dalam Al-Qur’an pada umumnya bermakna haram, kecuali jika ada indikasi lain. Contoh jelas terdapat dalam larangan meminum khamar:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (٩٠)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung” (QS. al-Māidah [5]: 90).

Ayat ini menjadi dasar larangan minuman keras dan perjudian, dua fenomena sosial yang hingga kini tetap relevan untuk ditangani.

3. Penjelasan Melalui Prinsip Umum (‘Ām)

Al-Qur’an banyak menegaskan hukum dengan lafaz umum yang berlaku luas. Misalnya prinsip menjaga hak hidup manusia:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar” (QS. al-Isrā’ [17]: 33).

Ayat ini memberikan prinsip umum tentang larangan membunuh, yang kemudian dijabarkan lebih rinci dalam hukum qisas dan diyat.

4. Penjelasan dengan Rincian Khusus (Khāṣ)

Ada pula hukum yang dijelaskan dengan rincian sangat spesifik. Misalnya mengenai aturan talak:

وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ سَرِّحُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ

Artinya: “Apabila kamu menceraikan istri-istrimu lalu sampai pada masa idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik” (QS. al-Baqarah [2]: 231).

Ayat ini menunjukkan ketegasan Al-Qur’an dalam mengatur prosedur perceraian, agar tidak menimbulkan penzaliman terhadap pihak perempuan.

5. Penjelasan melalui Kisah dan Ibrah

Kisah dalam Al-Qur’an tidak hanya berfungsi sebagai narasi moral, tetapi juga sebagai penetapan hukum. Contohnya adalah kisah Nabi Yusuf yang menolak perbuatan zina:

قَالَ مَعَاذَ اللّٰهِۖ اِنَّهٗ رَبِّيْٓ اَحْسَنَ مَثْوَايَۚ اِنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الظّٰلِمُوْنَ

Artinya: “Yusuf berkata: ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh Tuhanku telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung’” (QS. Yusuf [12]: 23).

Kisah ini menegaskan larangan zina dan pentingnya menjaga kehormatan, yang kemudian melahirkan hukum hudud terhadap perbuatan zina.

6. Penjelasan dengan Hikmah Hukum

Al-Qur’an sering menyebut tujuan hukum agar manusia memahami maknanya. Misalnya tentang perintah zakat:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. at-Tawbah [9]: 103).

Ayat ini tidak hanya memerintahkan zakat, tetapi juga menyebut hikmahnya, yaitu membersihkan dan menyucikan jiwa.

7. Penjelasan dengan Mafhūm (Implikasi)

Kadang hukum tidak disebut secara langsung, tetapi dapat dipahami dari implikasi teks. Misalnya, perintah berwudhu sebelum shalat dalam QS. al-Māidah [5]: 6, mengandung mafhūm bahwa orang yang tidak berwudhu shalatnya tidak sah.

Jenis-Jenis Hukum dalam Al-Qur’an

1. Hukum Ibadah

Al-Qur’an memuat hukum ibadah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Contoh: kewajiban berzikir dan mengingat Allah:

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ

Artianya: “Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu; bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari-Ku” (QS. al-Baqarah [2]: 152).

Hukum ini menegaskan bahwa zikir adalah kewajiban spiritual yang memperkuat ikatan dengan Allah.

2. Hukum Muamalah

Ayat-ayat muamalah mengatur interaksi sosial dan ekonomi. Misalnya, larangan menipu dalam timbangan:

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَ (١) الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَ (٢) وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَ (٣)

Artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (QS. al-Muṭaffifīn [83]: 1–3).

Ayat ini menjadi dasar hukum larangan praktik kecurangan dalam transaksi.

3. Hukum Jinayah (Pidana)

Al-Qur’an menegaskan hukum pidana untuk menjaga keamanan dan keadilan. Contoh: hukuman bagi pezina:

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍۖ

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera” (QS. an-Nūr [24]: 2).

4. Hukum Keluarga

Al-Qur’an mengatur pernikahan, perceraian, dan nafkah. Misalnya, perintah menyusui anak:

وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِۚ

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh” (QS. al-Baqarah [2]: 233).

Ayat ini menunjukkan kewajiban moral dan biologis seorang ibu terhadap anaknya.

5. Hukum Akhlak

Al-Qur’an juga mengatur etika sosial. Misalnya, perintah berkata baik:

وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا

Artinya: “Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia” (QS. al-Baqarah [2]: 83).

Ayat ini menjadi dasar etika komunikasi dalam Islam.

Kesimpulan

Al-Qur’an menjelaskan hukum dengan metode yang sangat variatif: perintah, larangan, lafaz umum, rincian khusus, kisah, penjelasan hikmah, hingga mafhūm implikatif. Keanekaragaman metode ini menunjukkan fleksibilitas Al-Qur’an dalam mengatur kehidupan manusia, baik dalam hal ibadah, muamalah, jinayah, keluarga, maupun akhlak.

Dengan memahami metode penjelasan hukum ini, umat Islam dapat menggali prinsip-prinsip syariat yang abadi sekaligus relevan sepanjang zaman. Al-Qur’an adalah cahaya yang tidak pernah redup, yang membimbing manusia menuju kehidupan yang adil, bermartabat, dan berakhlak mulia.

Esa Kartika (NIM 20250927 Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)


Referensi

  • Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. al-Risālah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986.
  • Al-Ghazali, Abu Hamid. al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Kairo: Maktabah al-Jundi, 1997.
  • Al-Qurtubi, Abu Abdillah. al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.
  • Ibn Katsir, Ismail. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998.
  • Wahbah al-Zuhaili. Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr, 2002.
  • Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2019.

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif.com adalah media akademik yang digagas dan dikelola oleh Ibu Sylvia Kurnia Ritonga, Lc., M.Sy (Dosen UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) sejak awal tahun 2024. Website ini memuat kumpulan materi perkuliahan, rangkuman diskusi, serta hasil karya mahasiswa yang diperkaya melalui proses belajar di kelas. Kehadirannya tidak hanya membantu mahasiswa dalam memperdalam pemahaman, tetapi juga membuka akses bagi masyarakat luas untuk menikmati ilmu pengetahuan secara terbuka.

7 komentar pada “Metode Penjelasan Hukum dan Jenis Hukum dalam Al-Qur’an

  • Halimatussa'diah nasution

    Bagaimana hukum hukum ibadah seperti shalat,zakat puasa dan haji di atur dalam al quran

    Balas
    • Sylvia K. Ritonga

      Hukum-hukum ibadah pokok dalam Islam seperti shalat, zakat, puasa, dan haji semuanya ditegaskan dalam al-Qur’an sebagai kewajiban bagi orang-orang beriman. Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk mendirikan shalat, misalnya dalam firman Allah ﴿وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ﴾ (al-Baqarah: 43), namun rincian jumlah rakaat, bacaan, dan tata cara pelaksanaannya dijelaskan melalui sunnah Nabi ﷺ. Demikian pula zakat, perintahnya jelas dalam al-Qur’an, bahkan Allah merinci siapa saja golongan yang berhak menerimanya dalam QS. at-Taubah: 60, tetapi ketentuan kadar zakat, nisab, dan haul dijelaskan melalui sunnah. Adapun puasa Ramadhan diatur lebih detail dalam al-Qur’an, seperti dalam QS. al-Baqarah: 183–185 yang menyebutkan waktu berpuasa dari terbit fajar hingga malam, adanya rukhsah bagi orang sakit dan musafir, serta fidyah bagi yang tidak mampu, sementara sunnah melengkapi dengan penjelasan tentang niat, sahur, berbuka, dan hal-hal yang membatalkan puasa. Haji pun ditegaskan kewajibannya dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah ﴿وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًۭا﴾ (Āli ‘Imrān: 97), dengan sejumlah aturan yang juga disebutkan seperti larangan rafats, fusuq, dan jidal, tetapi tata cara manasik secara rinci seperti ihram, tawaf, sa’i, wukuf, dan tahallul dipraktikkan dan diajarkan oleh Nabi ﷺ. Dengan demikian, al-Qur’an menetapkan hukum-hukum ibadah tersebut secara global sebagai kewajiban, sedangkan sunnah Nabi ﷺ berfungsi melengkapi dan menjelaskan teknis pelaksanaannya secara rinci agar umat Islam dapat beribadah dengan benar sesuai tuntunan syariat.

      Balas
  • Latifah Aini

    Bagaimana Al Qur’an menjelaskan hukum hukum terkait keluarga, seperti pernikahan dan warisan?

    Balas
    • Sylvia K. Ritonga

      Al-Qur’an memberikan perhatian yang besar terhadap hukum-hukum keluarga, karena keluarga merupakan fondasi utama dalam kehidupan manusia. Dalam hal pernikahan, al-Qur’an menegaskan bahwa pernikahan adalah ikatan yang sah antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Allah berfirman, ﴿وَمِنْ ءَايَـٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةًۭ وَرَحْمَةًۭ﴾ (ar-Rūm: 21), yang menunjukkan bahwa pernikahan adalah jalan untuk memperoleh ketenangan jiwa dan kasih sayang. Al-Qur’an juga mengatur hukum mahar sebagai hak istri (QS. an-Nisā’: 4), menentukan siapa saja yang haram dinikahi (QS. an-Nisā’: 22–23), serta memberikan arahan tentang poligami dengan syarat keadilan (QS. an-Nisā’: 3). Bahkan dalam masalah perceraian, al-Qur’an memberikan tuntunan yang adil, baik dalam talak, iddah, maupun kewajiban memberi nafkah dan mut‘ah (QS. al-Baqarah: 229–232, at-Talāq: 1–2).

      Sedangkan dalam hal warisan, al-Qur’an menjelaskan hukum faraidh dengan sangat rinci, khususnya dalam QS. an-Nisā’: 11–12 dan 176. Ayat-ayat ini merinci bagian masing-masing ahli waris, seperti anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat anak perempuan, orang tua mendapat bagian tertentu sesuai keadaan, suami-istri mendapat seperdua, seperempat, atau seperdelapan tergantung ada tidaknya anak, serta saudara kandung atau seibu mendapat porsi sesuai kondisi. Pembagian ini ditegaskan dengan kalimat penutup, ﴿فَرِيضَةًۭ مِّنَ ٱللَّهِ﴾, yang menunjukkan bahwa hukum warisan merupakan ketetapan Allah yang wajib ditaati dan tidak boleh diubah sesuai hawa nafsu manusia.

      Dengan demikian, al-Qur’an menempatkan hukum keluarga, baik pernikahan maupun warisan, dalam posisi yang sangat penting. Dalam pernikahan, al-Qur’an menekankan prinsip kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap hak pasangan. Dalam warisan, al-Qur’an menegakkan keadilan distribusi harta agar tidak terjadi kezhaliman, serta memastikan setiap anggota keluarga mendapatkan haknya sesuai aturan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa hukum-hukum keluarga dalam al-Qur’an bertujuan menjaga keharmonisan, keadilan, dan ketenteraman dalam masyarakat.

      Balas
  • Ahmad yasir

    Apa yg di maksud dengan hukum taklifi dan hukum wadh’i dalam Al Qur’an?

    Balas
    • Sylvia K. Ritonga

      Dalam kajian ushul fiqh, al-Qur’an sebagai sumber hukum utama Islam memuat dua jenis hukum: hukum taklīfī dan hukum waḍ‘ī.

      Hukum taklīfī adalah hukum yang berkaitan dengan beban syariat yang langsung ditujukan kepada mukallaf (orang yang sudah memenuhi syarat hukum, yakni baligh dan berakal). Isinya berupa perintah, larangan, atau pilihan. Ulama membaginya menjadi lima: wājib (perintah yang harus dilakukan, seperti shalat), mandūb (anjuran yang jika dilakukan berpahala, jika ditinggalkan tidak berdosa, seperti sedekah sunnah), ḥarām (larangan keras yang jika dilanggar berdosa, seperti zina), makrūh (hal yang sebaiknya ditinggalkan tapi tidak berdosa jika dilakukan, seperti berlebihan dalam makan), dan mubāḥ (hal yang boleh dilakukan atau ditinggalkan tanpa pahala maupun dosa, seperti makan makanan halal). Contoh hukum taklīfī dalam al-Qur’an adalah firman Allah ﴿وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ﴾ (al-Baqarah: 43) sebagai perintah wajib, dan ﴿وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ﴾ (al-Isrā’: 32) sebagai larangan haram.

      Sementara itu, hukum waḍ‘ī adalah hukum yang menjelaskan sebab, syarat, atau penghalang suatu hukum taklīfī, atau yang menjadikan suatu perbuatan sah atau tidak sah. Jadi sifatnya bukan perintah langsung, melainkan penetapan yang mengaitkan suatu keadaan dengan akibat hukum tertentu. Unsurnya meliputi: sabab (sebab timbulnya hukum, misalnya datangnya waktu zuhur menjadi sebab wajibnya shalat zuhur), syarat (hal yang harus terpenuhi agar hukum sah, seperti wudhu sebagai syarat sah shalat), māni‘ (penghalang hukum, seperti haid menjadi penghalang kewajiban shalat), ṣihhah dan fasād (sah atau batalnya suatu amal), serta ‘azīmah dan rukhsah (hukum asal yang wajib berlaku dan keringanan dalam kondisi tertentu). Contoh dalam al-Qur’an, Allah berfirman ﴿إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِ﴾ (al-Baqarah: 158), yang menjadikan sa’i antara Shafa dan Marwah sebagai syarat sah haji.

      Dengan demikian, hukum taklīfī menekankan apa yang harus, boleh, atau dilarang dilakukan, sedangkan hukum waḍ‘ī menjelaskan kapan, bagaimana, dan dalam kondisi apa suatu hukum berlaku. Keduanya saling melengkapi dalam menjelaskan ajaran syariat dalam al-Qur’an.

      Balas
  • Ahmad yasir

    Apa yg dimaksud dengan hukum taklifi dan hukum wadh’i dalam Al Qur’an

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *