Fiqh & Ushul FiqhMust Read

Memutus Sholat untuk Menyelamatkan Nyawa, Begini Kata Ulama

TATSQIF ONLINE – Shalat adalah ibadah yang sangat istimewa dan utama dalam Islam. Ibadah ini diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala secara langsung kepada Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam melalui peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

Shalat adalah amal pertama yang akan ditanyakan oleh Allah SWT di hari penghisaban. Allah SWT mewajibkan setiap muslim untuk melaksanakan shalat, bagaimanapun kondisinnya.

Bahkan, bagi yang sakit, shalat harus dilakukan dengan cara yang sesuai kondisi, misalnya berdiri, duduk, atau bahkan berbaring. Orang yang sakit parah sekalipun dapat melakukan shalat hanya dengan mengedipkan mata.

Shalat yang sempurna adalah yang dilakukan dengan hati yang khusyu’, menggabungkan aktivitas jasad dan hati. Namun, terkadang saat seseorang shalat, anaknya yang sedang bermain di dekatnya berada dalam bahaya, seperti mendekati sumber listrik, benda tajam, dan benda-benda berbahaya lainnya.  Lalu, bolehkah ia memutus shalatnya untuk menyelamatkan buah hatinya?

Dalam Islam, hukum memutus ibadah fardhu yang sedang berlangsung adalah haram. Ini berlaku jika tidak ada ‘udzur syar’i (segala halangan yang sesuai dengan prinsip syariah Islam, yang menyebabkan seorang mukallaf boleh tidak melakukan kewajibannya atau boleh menggantinya pada waktu yang lain).

Dalil yang melandasi hukum ini adalah Alquran Surah Muhammad ayat 33:

وَلا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

Artinya: “Dan janganlah kalian batalkan amal-amal kalian.

Berdasarkan ayat ini, Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata:

إِذَا دَخَلَ فِي صَلَاةٍ مَفْرُوْضَةٍ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا حَرُمَ عَلَيْهِ قَطْعُهَا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ، وَإِنْ كَانَ الوَقْتُ وَاسِعًا

Artinya: “Jika seseorang telah masuk dalam shalat yang fardhu di awal waktu, maka dia haram memutus shalat tanpa ada uzur (alasan), meskipun waktu shalat masih luas.

Senanda dengan Imam Nawawi yang mewakili Mazhab Syafi’i, Imam Ibnu Qasim ulama yang bermazhab Hambali juga mengatakan hal yang serupa dalam kitabnya Ar-Raudh ma’ Hasyiatih:

فَيَحْرُمُ خُرُوْجُهُ مِنَ الفَرْضِ بَلَا عُذْرٍ

Artinya: “Maka haram keluar dari ibadah fardhu tanpa ada uzur.

Dari dua keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa membatalkan shalat fardhu tanpa‘udzur syar’i hukumnya adalah haram.

Para ulama telah sepakat bahwa memutus shalat karena udzur hukumnya mubah (boleh). Mereka juga telah merumuskan beberapa hal yang membolehkan seseorang memutus ibadah fardhu.

Semua keadaan-keadaan tersebut mengarah pada hal-hal yang membahayakan diri, harta, dan jiwa orang lain. Syekh Dr. Syauqi Ibrahim Allam dalam website resmi Dar al-Ifta’ al-Mishr berkata:

وَقَدْ عَدَّ الفُقَهَاءُ مِنَ الأَسْبَابِ الَّتِي يُشْرَعُ بِسَبَبِهَا قَطْعُ المَفْرُوْضَةِ

Artinya: “Para ahli fikih telah memperhitungkan beberapa sebab yang memperbolehkan seseorang memutus shalat fardhunya.”

Beberapa sebab dan keadaan itu adalah seperti melihat ular yang berbahaya, perampasan harta, melihat orang yang tenggelam, atau terbakar, dan bahaya-bahaya serupa lainnya. Bahkan, jika bahayanya sampai merenggut jiwa, maka wajib memutus shalat demi menyelamatkan jiwa manusia, termasuk anak kecil.

Syekh Dr. Syauqi Ibrahim Allam menyebutkan bahwa kaidah fikih yang berlaku untuk masalah semacam ini adalah sebagai berikut:

المُوَازَنَةُ بَيْنَ المَصَالِحِ وَالمَفَاسِدِ

Artinya: “Keseimbangan antara maslahat dan mafsadat.

Maksudnya adalah ketika seseorang mungkin menggabungkan antara melakukan maslahat dan menghindari mafsadat (bahaya), maka menjaga keseimbangan keduanya lebih utama.

Berbeda halnya jika tidak memungkinkan untuk menggabung keduanya, maka yang berlaku adalah kaidah fikih lain. Imam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab Qawaidh Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam memberikan contoh kaidah ini sebagai berikut:

تَقْدِيْمُ إِنْقَاذِ الغَرْقَى المَعْصُوْمِيْنَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ؛ لِأَنَّ إِنْقَاذَ الغَرْقىَ المَعْصُوْمِيْنَ عِنْدَ اللهِ أَفْضَلُ مِنْ أَدَاءِ الصَّلَاةِ، وَالجَمْعُ بَيْنَ المَصْلَحَتَيْنِ مُمْكِنٌ بِأَنْ يُنْقِذَ الغَرِيْقَ ثُمَّ يَقْضِي الصَّلَاةَ،

Artinya: “Menyelamatkan orang yang tenggelam dari pada melanjutkan shalat. Karena menyelamatkan orang tenggelam yang maksum lebih baik daripada melaksanakan shalat. Dan menggabungkan keduanya sangat mungkin, dengan cara menyelamatkan terlebih dahulu kemudian melaksanakan shalat.”

Sehingga dalam kasus di atas, seorang ibu harus memutus shalatnya demi menyelamatkan anaknya yang berada dalam bahaya, kemudian mengulangi kembali shalatnya dari awal.

Alhasil, memutus shalat karena suatu hal yang darurat hukumnya boleh, bahkan wajib jika dapat merenggut jiwa. Hanya saja, shalatnya batal dan harus mengulangi shalat dari awal lagi. Wallahu A’lam

Author: Muhammad Yoeki Hendra (Mahasantri Mahad Aly Situbondo)
Editor: Sylvia Kurnia Ritonga (Founder tatsqif.com)

  • Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

    Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

    Lihat semua pos Lecturer
  • Penulis: M. Yoeki Hendra

    Asal Aceh, Mahasantri Mahad Aly Situbondo, menyenangi literasi Arab terutama Syair Arab. Juara Nasional cipta Syair Arab yang diadakan RMI PBNU 2023

    Lihat semua pos

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk