Konsep Waris dan Tirkah Menurut Perspektif Berbagai Mazhab
TATSQIF ONLINE – Menurut Amin Husein dalam bukunya yang berjudul Hukum Kewarisan, menyebutkan bahwa semua harta yang ditinggalkan seseorang, baik berupa benda materiil maupun hak-haknya, disebut sebagai Tirkah atau Tarikah. Namun, Tarikah ini tidak secara otomatis menjadi bagian dari warisan yang akan diwariskan kepada ahli waris.
Ibnu Hazm menjelaskan bahwa tidak semua hak kepemilikan menjadi bagian dari harta warisan, melainkan hanya terbatas pada hak-hak atas benda materiil. Sebaliknya, menurut ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambaliyah, semua hak, baik yang bersifat materiil maupun non-materiil, termasuk dalam harta warisan. Namun, hak-hak yang bersifat pribadi atau individual, seperti hak memiliki istri, tidak akan menjadi bagian dari warisan yang diwariskan kepada ahli waris.
Berdasarkan definisi dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, harta warisan adalah harta yang mencakup hak dan kewajiban yang dapat dinilai secara moneter.
Dalam konteks ini, harta warisan menjadi peninggalan yang diberikan kepada ahli waris atau keluarga setelah seseorang meninggal dunia, setelah dipotong biaya pemakaman, hutang, dan wasiat.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, dalam bukunya yang berjudul Fiqh Mawaris, menjelaskan bahwa Tarikah atau Tirkah memiliki arti yang sama dengan mirats atau harta yang ditinggalkan. Oleh karena itu, harta yang ditinggalkan oleh pemiliknya dinamakan Tarikah si mati atau Tarikatul Mayyiti bagi ahli warisnya.
Waris dan Tirkah dalam hukum waris Islam memiliki perbedaan mendasar. Waris adalah harta yang siap dibagikan setelah dipergunakan untuk pemeliharaan jenazah, melunasi utang, dan menunaikan wasiat, sesuai ketentuan syariat.
Tirkah, sebaliknya, adalah seluruh harta peninggalan sebelum diambil untuk kepentingan tertentu, tanpa pembagian otomatis kepada ahli waris. Status harta peninggalan ditentukan oleh apakah telah dipergunakan untuk keperluan tertentu sebelum pembagian.
Pengertian Waris dan Persyaratannya
Kata warits berasal dari bahasa Arab mirats, yang memiliki bentuk jamak mawarits, yang berarti harta peninggalan yang akan dibagikan kepada ahli waris setelah seseorang meninggal. Akar katanya dari waratsa-yaritsu-irtsan, yang artinya mewarisi.
Dalam buku Ensiklopedia Islam, istilah warits digunakan untuk menyebutkan seseorang yang memiliki hak untuk menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal dunia.
Dalam istilah fikih, warits adalah orang yang memiliki hak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Orang yang berhak menerima harta warisan adalah mereka yang memiliki hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan pewaris yang telah meninggal.
Selain hubungan kekerabatan dan perkawinan, mereka hanya berhak menerima warisan secara umum jika memenuhi persyaratan berikut:
1. Ahli waris masih hidup pada saat pewaris meninggal dunia.
2. Tidak ada hambatan hukum yang menghalangi mereka untuk menerima warisan.
3. Tidak sepenuhnya tertutup oleh ahli waris yang lebih dekat.
4. Pewaris meninggal, baik secara hakiki maupun hukum.
5. Jalannya tindakan mewarisi diketahui, atau posisi penerima warisan jelas dikenal.
BACA JUGA: Fiqh Mawaris: Fase Kewarisan Jahiliyah, Awal Islam, dan Islam
Dasar Hukum Waris
Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang hukum warisan, berikut di antaranya:
Alquran surah An-Nisa’ ayat 7-8 sebagai berikut:
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا وَإِذَا حَضَرَ ٱلْقِسْمَةَ أُو۟لُوا۟ ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينُ فَٱرْزُقُوهُم مِّنْهُ وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Alquran surah An-Nisa’ ayat 11 berikut ini:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Jika diperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur hukum warisan, terlihat bahwa Allah SWT menggunakan frasa apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal. Frasa ini disebutkan sebanyak sebelas kali dalam konteks kewarisan, yaitu dua kali dalam surat An-Nisa’ ayat 7, dua kali dalam ayat 11, empat kali dalam ayat 12, satu kali pada ayat 33, dan dua kali pada ayat 176.
Setiap kata ditinggalkan dalam ayat-ayat tersebut di atas selalu mendahului oleh kata apa-apa. Dalam bahasa Arab, kata maa disebut sebagai isim al-maushul, yang hubungannya dengan maknanya mencakup pengertian umum. Dalam konteks ini, frasa apa-apa yang ditinggalkan memiliki makna yang bersifat umum.
Hal yang perlu dicatat adalah bahwa tidak seluruhnya dari apa yang ditinggalkan oleh pewaris menjadi hak ahli waris, dan hal ini dapat dipahami dari keterkaitannya dengan beberapa tindakan yang mendahului pembagian warisan, seperti biaya jenazah, utang, dan wasiat.
Beberapa Hal yang Harus Dituntaskan Sebelum Pembagian Warisan
Biaya Jenazah: Biaya perawatan jenazah adalah seluruh pengeluaran yang diperlukan untuk merawat jenazah, termasuk memandikan, mengkafani, menshalatkan, menguburkan, dan aspek lain yang terkait dengan keperluan jenazah. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah untuk mengurus dan menyelesaikan seluruh proses pemakaman jenazah.
Pandangan mazhab Hanafi, Syafii, dan Maliki menyatakan bahwa biaya perawatan jenazah istri menjadi tanggungan suami, bahkan jika istri tersebut kaya. Namun, mazhab Hambali berpendapat bahwa biaya perawatan jenazah istri tidak menjadi tanggung jawab suami.
Pengeluaran atau pembiayaan yang melebihi batas kewajiban menurut syariat Islam tidak boleh diambil dari harta warisan (tarikah), kecuali jika mendapat izin terlebih dahulu dari semua ahli waris. Jika ada ahli waris yang tidak berakal sehat atau berusia di bawah umur, tidak boleh mengambil harta peninggalan melebihi yang diperlukan untuk keperluan jenazah, meskipun beberapa ahli waris memberikan izin.
Utang: Utang yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal harus dilunasi sebagai ganti dari prestasi atau manfaat yang pernah diterima. Pelunasan utang dari harta warisan dilakukan setelah seluruh keperluan pembiayaan jenazah telah terpenuhi. Tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai total harta peninggalan.
Wasiat: Wasiat adalah pernyataan seseorang yang berisi keinginan untuk memberikan sebagian dari hartanya, membebaskan utang kepada orang lain, atau memberikan manfaat suatu benda yang dimilikinya setelah meninggal dunia.
Wallahu A’lam
Oleh Lumita Wulandari (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan)
-
Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.
Lihat semua pos Lecturer
Bagaimana pandangan mazhab-mazhab dalam Islam terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh seorang Muslim?
Pandangan mazhab-mazhab dalam Islam terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh seorang Muslim dapat sedikit berbeda tergantung pada interpretasi dan penafsiran hukum waris dalam mazhab tersebut. Secara umum, empat mazhab utama dalam Islam (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) memiliki prinsip-prinsip dasar yang serupa terkait pembagian harta warisan.
Dalam pandangan mazhab-mazhab tersebut, harta warisan harus dibagi sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam, yang menentukan bagian-bagian yang diberikan kepada ahli waris yang berhak. Meskipun terdapat perbedaan dalam detail-detail tertentu, prinsip-prinsip dasar yang umumnya diikuti adalah bahwa suami, istri, anak-anak, orang tua, dan saudara kandung dari pewaris memiliki hak waris yang tetap.
Apa yang menjadi prinsip -prinsip utama dalam pembagian waris menurut mahzab Maliki ?
Prinsip-prinsip utama pembagian waris dalam Mazhab Maliki mencakup:
1. Mengikuti ketentuan faraid (ketentuan warisan) dalam Al-Qur’an dan Hadis.
2. Memberikan prioritas kepada ahli waris utama seperti suami, istri, anak-anak, orang tua, dan saudara kandung.
3. Menentukan proporsi warisan yang sesuai untuk setiap kelompok ahli waris.
4. Menetapkanbagian harta yang dapat diwariskan.
5. Pembagian warisan hanya berlaku untuk ahli waris Muslim.
6. Mengutamakan prinsip adil dan keadilan dalam pembagian warisan.
jika wasiat dan ketentuan pembagian hak waris berbeda , bagaimana melakukan pembagian nya?
Dalam Islam, ketentuan faraid (pembagian warisan) memiliki keutamaan dibandingkan dengan wasiat. Jika terdapat perbedaan antara wasiat dan faraid, prinsip dasar dalam Islam adalah mengikuti ketentuan faraid. Wasiat tidak boleh merugikan hak-hak faraid yang telah ditetapkan oleh Allah.
Pembagian warisan harus didasarkan pada ketentuan faraid yang mencakup proporsi yang telah ditetapkan untuk masing-masing ahli waris seperti suami, istri, anak-anak, orang tua, dan saudara kandung. Wasiat dapat diterapkan untuk bagian yang tidak bertentangan dengan faraid, seperti menyumbangkan sebagian harta kepada amal atau memberikan warisan kepada orang yang tidak termasuk dalam ahli waris faraid.
Namun, jika wasiat bertentangan dengan ketentuan faraid dan dapat merugikan hak-hak faraid, maka wasiat tersebut tidak sah atau hanya dapat dilaksanakan untuk sebagian kecil harta yang tidak melanggar ketentuan faraid. Prinsip utama adalah memastikan adanya keadilan dan kepatuhan terhadap aturan faraid yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Bagaimana jika harta warisan sudah habis untuk membayar hutang dan pemakaman nya, sedangkan warisan untuk keluarga ny belum lagi di bagi?
Dalam Islam, pembagian warisan memiliki prioritas tertentu, dan biasanya pembayaran hutang dan pengeluaran pemakaman adalah prioritas pertama sebelum pembagian warisan kepada ahli waris. Kalau memang terpakai semua untuk dua kebutuhan di atas, maka pembagian warisan tidak bisa dilakukan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara lebih detail mengatur tentang situasi di mana warisan tidak mencukupi untuk membayar utang pewaris.
Menurut Pasal 175 ayat [2] KHI, tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban pewaris dibatasi pada jumlah atau nilai harta peninggalan. Dengan kata lain, ahli waris hanya harus membayar utang pewaris sejauh itu memungkinkan dari harta warisan, tanpa harus menggunakan harta pribadi mereka sendiri untuk membayar utang tersebut.
Dengan demikian, jika harta warisan tidak mencukupi untuk membayar utang pewaris, ahli waris dapat memilih untuk menolak seluruh warisan atau membayar utang tersebut sejauh mungkin dari harta peninggalan pewaris. Hal ini merupakan prinsip dasar dalam hukum Islam yang mengatur pembagian warisan dan tanggung jawab ahli waris terhadap utang pewaris.
Bagaimana jika pada saat masih hidup si pewaris mewasiatkan agar hartanya tidak diberikan kepada para ahli waris ketika si pewaris telah meninggal, dan ternyata ketika si pewaris telah meninggal terdapat hutang yang ternyata tidak diingat lagi oleh si pewaris selama masih hidup. Pertanyaannya siapakah yang akan melunasi hutang si pewaris apabila ahli waris tidak mendapatkan harta warisan karena wasiat dari si pewaris?
Dalam Islam, wasiat yang bertentangan dengan ketentuan faraid (pembagian warisan) yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dapat dinyatakan tidak sah. Pembagian warisan harus mengikuti ketentuan faraid yang telah ditetapkan oleh Allah, dan hak-hak ahli waris dalam mendapatkan bagian warisan mereka tidak boleh dihilangkan oleh wasiat.
Jika pewaris membuat wasiat agar hartanya tidak diberikan kepada ahli waris, namun ternyata ada hutang yang tidak diketahui selama masih hidup, maka pembayaran hutang tersebut menjadi tanggung jawab harta peninggalan pewaris. Jika harta warisan tidak mencukupi untuk melunasi semua hutang, maka hutang tersebut tetap menjadi tanggung jawab harta peninggalan dan harus diselesaikan sebelum pembagian warisan kepada ahli waris.
Jika wasiat mengenai penolakan pembagian warisan oleh ahli waris karena adanya hutang diakui, maka penyelesaian hutang tersebut harus menjadi prioritas sebelum pembagian warisan. Tetapi, ahli waris memiliki hak untuk mendapatkan bagian sesuai dengan ketentuan faraid setelah semua hutang diselesaikan.
Bagaimana pandangan Mazhab hambali terkait penentuan bagi waris dan distribusi harta warisan
Mazhab Hambali mengikuti ketentuan faraid dalam Al-Qur’an dan Hadis untuk distribusi warisan, dengan penekanan pada pentingnya mengikuti hukum Allah. Mereka memperhatikan hak-hak khusus dalam distribusi warisan dan memperkenankan wasiat dalam batas-batas tertentu, selama sesuai dengan ketentuan Islam. Pandangan ini menekankan adilnya pembagian warisan dan menjaga konsistensi dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Jelaskan Bagaimana hukumnya dalam Islam jika ahli waris sudah meninggal dan masih mendapatkan bagian dari pewaris ?
Yang dimana adanya terjadi dalam adat masyarakat
Dalam Islam, hukum waris diatur oleh prinsip-prinsip yang jelas dalam Al-Qur’an dan Hadis. Jika seorang ahli waris telah meninggal sebelum distribusi warisan dan pewarisnya jelas lebih duluan meninggal duluan dari ahli waris tersebut, maka bagian yang semestinya diterimanya akan menjadi hak para ahli warisnya. Pemindahan hak waris ini tidak terpengaruh oleh adat atau praktik masyarakat.
Bagaimana cara yang diambil orang Islam untuk mengganti hukum waris pada masa jahiliyah?
Pada masa Jahiliyah, sistem warisan di masyarakat Arab didasarkan pada tradisi dan kebiasaan yang tidak selalu adil. Dengan datangnya Islam, perubahan terjadi melalui penerimaan ajaran Islam, pendidikan, implementasi hukum Islam oleh pemerintahan, dan perubahan budaya masyarakat. Prinsip-prinsip hukum waris Islam yang adil dan setara menggantikan praktik-praktik lama yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Melalui pendekatan ini, masyarakat Islam berhasil mengganti sistem warisan Jahiliyah dengan hukum waris Islam yang lebih adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan agama.
Coba pemakalah jelaskan bagaimana jika hutang pewaris lebih besar dari pada harta warisan nya,sehingga tidak mampu menutupi utang-utangny?
Dalam Islam, jika hutang pewaris melebihi harta warisan, prinsipnya adalah ahli waris hanya bertanggung jawab sebatas nilai atau jumlah harta peninggalan. Harta warisan harus digunakan untuk melunasi utang, dan jika tidak mencukupi, sisa utang tidak diturunkan kepada ahli waris. Prinsip ini menjaga keadilan dan tidak membebani ahli waris secara berlebihan.
Bagaimana Penjelasan Tentang Asas Keadilan Berimbang atas bagian waris yang dilakukan dengan anak, dengan bagian yang sama rata
Asas keadilan berimbang dalam pembagian waris di dalam Islam mengacu pada prinsip bahwa setiap ahli waris, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, memiliki hak yang sama dan setara dalam perolehan bagian warisan. Dalam konteks ini, anak laki-laki dan anak perempuan diberikan hak yang sebanding tanpa adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.
Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa (4:11-12), di mana Allah menetapkan ketentuan pembagian waris yang adil di antara anak-anak, dengan setiap anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat bagian anak perempuan. Ini bukanlah diskriminasi, melainkan merupakan respons terhadap tanggung jawab finansial yang lebih besar yang ditanggung oleh laki-laki, seperti kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga.
Meskipun tampak ada perbedaan dalam jumlah yang diterima, prinsip keadilan berimbang tetap dijaga, dan setiap ahli waris menerima bagian yang adil sesuai dengan perannya dan tanggung jawabnya. Dengan demikian, asas keadilan berimbang mencerminkan pendekatan yang seimbang antara hak dan kewajiban, tanpa memandang jenis kelamin.
Artikel nya menurut saya sudah bagus dan mudah untuk dipahami
Alhamdulillah, yuk share ke yang lain.
Apakah seorang anak yang membunuh orang tuanya apakah tetap menerima warisan?? ❤
Btw, artikel nya bagus sekaliii
Dalam hukum Islam, seseorang yang membunuh orang tuanya atau anggota keluarganya tidak berhak menerima warisan dari korban yang telah dibunuh. Prinsip ini mencerminkan keadilan dan kebijakan Islam dalam menanggapi tindakan kejahatan serius.
Terima kasih atas ulasannya.
Di dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa harta warisan boleh dibagi ketika pewaris telah meninggal, namun ahli waris meminta haknya kepada pewaris namun si pewaris masih hidup, dengan alasan ekonomi si ahli waris tersebut tidak baik, jadi apakah boleh si pewaris tersebut memberikan bagian warisannya kepada ahli waris tersebut dikarenakan ekonomi ahli waris tersebut sedang tidak baik?
Hukum waris dalam Islam mengatur bahwa pembagian harta warisan terjadi setelah kematian pewaris. Jadi, jika pewaris masih hidup, tidak ada pembagian warisan yang sah. Sebaliknya, jika ahli waris mengalami kesulitan ekonomi atau membutuhkan bantuan, ada pilihan lain yang dapat diambil tanpa melibatkan pembagian warisan.
Pewaris yang masih hidup dapat memberikan bantuan finansial atau harta secara sukarela kepada ahli waris yang membutuhkan, tanpa harus mengikuti aturan pembagian warisan. Dalam Islam, memberikan sedekah atau bantuan kepada keluarga, terutama yang membutuhkan, sangat dianjurkan. Namun, penting untuk mencatat bahwa hal ini bersifat sukarela dan tidak diatur oleh aturan pembagian warisan yang biasanya diterapkan setelah kematian pewaris.
Jadi, sementara pewaris dapat memberikan bantuan kepada ahli waris yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, itu tidak terkait langsung dengan pembagian warisan dan lebih bersifat sebagai tindakan sukarela dan kebaikan hati.
Terimakasih kepada pemakalah karena dengan adanya artikel tentang hak waris, manfaat dari waris, karena di dalam Islam ini sangat penting untuk diketahui bersama.
sama-sama.