Multiakad dalam Fiqh Muamalah: Konsep, Jenis, dan Hukum
TATSQIF ONLINE – Dalam era global dan digital saat ini, berbagai inovasi keuangan dan sistem transaksi terus bermunculan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Hal ini menjadikan konsep-konsep klasik dalam fiqh muamalah perlu diaktualisasikan, termasuk salah satunya konsep multiakad. Multiakad adalah suatu bentuk penggabungan dua atau lebih akad dalam satu transaksi yang bertujuan untuk memperkuat efektivitas, efisiensi, dan keluwesan dalam praktik ekonomi syariah, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariah.
Definisi dan Dasar Hukum Multiakad
Multiakad dalam istilah fiqih disebut juga sebagai ta’adud al-‘uqūd, yaitu penggabungan dua akad atau lebih dalam satu kesatuan transaksi. Misalnya, dalam satu akad yang mencakup jual beli dan sewa, atau pinjaman dan jual beli, selama seluruh unsur akad terpenuhi secara sah dan tidak saling merusak.
Sebagaimana disebutkan oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, ulama fiqh membedakan antara penggabungan akad yang diperbolehkan dan yang dilarang. Jika akad-akad tersebut berdiri secara independen tanpa saling mempengaruhi secara batil, maka diperbolehkan. Namun, jika penggabungan tersebut menimbulkan gharar (ketidakpastian), riba, atau syarat yang merusak, maka hukumnya menjadi haram.
Dasar hukum multiakad juga dapat dilihat dari hadis Nabi Muhammad SAW:
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَن، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Artinya: “Tidak halal menggabungkan pinjaman dengan jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu jual beli, tidak boleh mengambil keuntungan dari sesuatu yang belum dijamin, dan tidak boleh menjual barang yang belum kamu miliki.” (HR. Abu Daud, no. 3504)
Hadis ini menjadi dasar larangan bagi penggabungan akad yang mengandung eksploitasi, gharar, atau ketidakadilan dalam transaksi.
Macam-Macam Multiakad dalam Praktik Kontemporer
Dalam praktik keuangan syariah, multiakad banyak digunakan dengan berbagai bentuk dan kombinasi. Beberapa bentuk yang umum diterapkan antara lain:
1. Al-Wadiah dengan Al-Mudharabah
Nasabah menitipkan dana kepada bank (wadiah), kemudian dana tersebut dikelola oleh bank melalui prinsip mudharabah. Penggabungan ini memungkinkan bank mengelola dana amanah secara produktif. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa penggabungan ini diperbolehkan jika ada kejelasan hak dan tanggung jawab masing-masing pihak (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid 5).
2. Al-Murabahah dengan Al-Wakalah
Bank menunjuk nasabah sebagai wakil untuk membeli barang yang kemudian dijual kembali oleh bank kepada nasabah dengan sistem murabahah. Ini umum diterapkan pada pembiayaan kepemilikan barang seperti kendaraan atau rumah. Menurut Mardani dalam Fiqh Ekonomi Islam, bentuk ini diperbolehkan selama akad wakalah tidak menjadi syarat yang memaksa dalam akad murabahah.
3. Al-Ijarah dengan Al-Bai’ (Ijarah Muntahiyah bit Tamlik)
Sewa-menyewa barang yang diakhiri dengan kepemilikan. Praktik ini sah jika akad dilakukan secara terpisah dan tidak menimbulkan syarat tersembunyi yang merusak. Ismail Nawawi dalam Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer menyebutkan bahwa pemisahan waktu akad antara ijarah dan bai’ merupakan syarat keabsahan transaksi ini.
4. Al-Musyarakah dengan Al-Mudharabah
Dalam proyek tertentu, pihak bank dan nasabah bisa menggabungkan akad musyarakah (kerja sama modal) dan mudharabah (pengelolaan usaha) untuk efisiensi. Bentuk ini sangat cocok dalam pembiayaan usaha bersama, dengan syarat kejelasan kontribusi dan nisbah pembagian hasil.
5. Al-Qardh dengan Al-Wakalah
Bank memberikan pinjaman (qardh) kepada nasabah yang kemudian diberi kuasa (wakalah) untuk mengelola atau menginvestasikannya. Kombinasi ini diperbolehkan selama tidak disyaratkan keuntungan tambahan dalam akad qardh, karena hal itu dapat mengarah pada riba.
Batasan dan Standar Multiakad
Batasan dalam multiakad sangat penting untuk menjamin integritas dan kesyariahan transaksi. Batasan tersebut antara lain:
- Tidak mengandung unsur gharar, riba, atau syarat batil
- Tidak menggabungkan akad yang secara syariah saling bertentangan
- Setiap akad harus memiliki kejelasan objek, harga, nisbah keuntungan, serta ijab dan qabul
- Tidak adanya syarat dalam syarat yang menimbulkan eksploitasi atau ketidakpastian
Majma’ al-Fiqh al-Islami dalam salah satu resolusinya menyebutkan bahwa multiakad diperbolehkan selama akad-akad tersebut dilakukan secara muqayyad (dengan struktur yang jelas) dan tidak menimbulkan mudarat atau ketidakpastian yang membahayakan.
Demikian pula, Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) melalui beberapa fatwanya seperti Fatwa DSN No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Sharf dan No. 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Akad Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik, menekankan pentingnya struktur akad yang jelas, tidak saling mensyaratkan secara batil, dan dilaksanakan secara profesional.
Tantangan dan Peluang dalam Multiakad
Meskipun multiakad membuka peluang besar dalam pengembangan keuangan syariah, tantangannya tetap ada. Antara lain adalah:
- Rendahnya pemahaman pelaku ekonomi syariah terhadap struktur akad yang sah
- Masih terdapat kebingungan antara akad yang boleh digabungkan dan yang tidak
- Potensi manipulasi terhadap akad-akad tertentu demi keuntungan sepihak
Namun, di sisi lain, multiakad dapat menjembatani antara prinsip syariah dan tuntutan bisnis modern. Penggunaan multiakad dalam sistem pembiayaan, e-commerce, fintech, hingga produk asuransi syariah, membuka cakrawala baru yang fleksibel namun tetap dalam bingkai syariah.
Penutup
Konsep multiakad dalam fiqh muamalah adalah jawaban terhadap dinamika ekonomi modern yang menuntut inovasi namun tetap berpijak pada prinsip keadilan dan kehalalan. Meskipun sebagian ulama klasik berhati-hati dalam memandang penggabungan akad, mayoritas ulama kontemporer memandangnya sebagai sarana maslahat yang dapat digunakan dengan syarat dan ketentuan yang jelas.
Sebagaimana ditegaskan oleh Mardani dalam Fiqh Ekonomi Islam, multiakad bukan sekadar penggabungan kontrak, tapi juga cerminan dari fleksibilitas hukum Islam dalam merespons perubahan zaman dengan tetap menjaga prinsip-prinsip pokok syariah.
Dengan pemahaman yang baik, pengawasan syariah yang ketat, serta niat untuk menjalankan muamalah yang halal dan adil, multiakad bisa menjadi pilar utama dalam membangun sistem ekonomi syariah yang berkelanjutan dan solutif. Wallahua’lam.
Yolanda Anggra Lexa (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Apasaja jenis jenis multi akad yang dapat digunakan dalam fiqih muamalah, dan bagaimana cara menentukan sah atau tidaknya multi akad ?
Apa contoh multiakad dalam kehidupan sehari-hari?
Bagaimana peran lembaga-lembaga keuangan syariah dalam mengawasi dan memastikan kepatuhan terhadap prinsip syariat dalam pelaksanaan multiakad?
Bagaimana menurut pemakalah, kenapa Islam memperbolehkan beberapa akad digabung, tapi disisi lain ada juga larangan multiakad tertentu? Apa hikmah dan tujuan tersebut?