Fiqh & Ushul FiqhMust Read

Konsep Ashabah dalam Fikih Waris, Simak Ulasannya

TATSQIF ONLINE Dalam mendapatkan bagian dari harta warisan, seorang ahli waris dapat melalui satu atau bahkan dua pendekatan:

1. Dzawil furudh: Ini adalah pendekatan di mana ahli waris menerima bagian pasti dari warisan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Mereka memiliki hak yang jelas dan tidak tergantung pada keadaan lainnya.

2. Ashabah: Pendekatan kedua adalah melalui menjadi ashabah, di mana ahli waris menerima bagian sisa dari warisan setelah hak dari dzawil furudh atau ahli waris lainnya dipenuhi. Ini terjadi ketika seseorang tidak memenuhi syarat sebagai dzawil furudh atau telah tercakup dalam klaim dzawil furudh lainnya, sehingga mereka hanya menerima bagian sisa warisan yang tersisa.

Disyariatkannya pengambilan bagian warisan melalui konsep ashabah berdasarkan pada berbagai dalil, termasuk ayat-ayat Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Salah satu ayat yang menjadi landasan bagi konsep ini adalah Alquran surat An-Nisa’ ayat 11:

  وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ  

Artinya: “Bagi kedua orang tua masing-masing mendapatkan bagian seperenam dari harta yang ditinggalkan orang yang meningal apabila ia memiliki anak. Apabila orang yang meninggal tidak memiliki anak dan kedua orang tuanya mewarisinya maka bagi ibunya bagian seperttiga.”

Dari ayat tersebut, jika si mayit memiliki anak, maka bapak dan ibu masing-masing mendapatkan bagian 1/6 sesuai ayat. Namun, jika si mayit tidak memiliki anak dan yang mewarisi adalah kedua orang tua, sang ibu mendapatkan 1/3 bagian, sementara untuk sang bapak tidak disebutkan. Sisa harta setelah diambil bagian ibu dianggap milik sang bapak menurut pemahaman ulama, dan inilah dasar bagi konsep ashabah dalam pembagian warisan.

Ahli waris yang termasuk dalam kategori ashabah memiliki tiga kemungkinan:

Pertama, mereka akan menerima keseluruhan harta warisan jika tidak ada ahli waris dzawil furudh yang tersisa.

Kedua, mereka akan mendapatkan bagian sisa dari harta warisan bersama-sama dengan ahli waris dzawil furudh jika mereka masih ada.

Ketiga, mereka tidak akan mendapatkan bagian dari sisa harta warisan jika seluruh warisan telah dibagikan kepada ahli waris dzawil furudh.

Ashabah dalam ilmu waris adalah istilah untuk ahli waris yang berhak menerima sisa harta warisan tanpa ditentukan bagiannya secara spesifik. Kata ashabah adalah bentuk jamak dari kata ashib, yang artinya mengikat, menguatkan hubungan kerabat/nasab. Hal ini dijelaskan dalam buku Ringkasan Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq, yang disusun oleh Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi.

Di dalam Al-Qur’an surah Yusuf ayat 14, kata ashabah berarti golongan yang kuat sebagaimana berikut:

 قَالُوا لَئِنْ أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا إِذًا لَخَاسِرُونَ

Artinya: “Mereka berkata: ‘Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'”

Secara syara’, ashabah merupakan ahli waris yang tidak memiliki bagian yang ditetapkan secara spesifik, tetapi sebaliknya, mereka akan menerima seluruh harta warisan jika tidak ada ahli waris lain bersamanya, atau mereka akan menerima sisa keseluruhan harta setelah pembagian kepada ahli waris dzawil furudh.

Baca Juga: Rincian Furudhul Muqaddarah dan Contoh Pembagian Warisannya

Ashabah dibagi menjadi dua jenis:

1. Ashabah Sababiyah, adalah orang-orang yang memiliki hak waris karena keterlibatan dalam suatu sebab tertentu.

Contohnya, ketika seseorang memerdekakan budak. Jika budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia dan tidak memiliki kerabat secara nasab, sang tuan yang memerdekakannya dapat mewarisi harta peninggalannya secara ashabah.

Hal ini merupakan bentuk balasan atas kebaikan yang telah dilakukan sang tuan dengan memerdekakan budak tersebut. Penjelasan ini disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Mu’tamad.

2. Ashabah Nasabiyah, adalah orang-orang yang memiliki hak atas bagian warisan karena adanya hubungan nasab dengan si mayit.

Mereka termasuk semua laki-laki yang telah dijelaskan sebagai penerima warisan dari pihak laki-laki, kecuali suami dan saudara laki-laki seibu, yang hanya menerima bagian pasti saja. Ini adalah penjelasan Musthafa Al-Khin dalam kitab al-Fiqhul Manhaji.

1. Ashabah bi Nafsihi: adalah ahli waris yang secara langsung menerima sisa harta warisan tanpa adanya pengaruh dari pihak lain. Jumlah mereka adalah 12, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah, kakek dari ayah dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki kandung, saudara seayah, anak saudara kandung, anak saudara seayah, paman kandung, paman sebapak, anak paman kandung, dan anak paman sebapak.

Jika semua ahli waris hadir, yang berhak mendapatkan warisan adalah hanya anak dan ayah. Ahli waris lainnya menjadi mahjub (tidak mendapatkan bagian warisan). Namun, yang menjadi ashabah hanya anak, sementara ayah menjadi shahibul fardh yang berarti ia mendapatkan 1/6 bagian dari harta warisan.

Prioritas diberikan kepada ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan orang yang meninggal. Oleh karena itu, penentuan bagian warisan diatur sesuai dengan urutan nomor yang disebutkan di atas.

2. Ashabah bi Ghairihi: adalah ahli waris yang sebelumnya memiliki bagian tertentu (ashhabul furudh), namun kemudian bagian tersebut berubah menjadi pengambilan sisa seluruh harta karena ada ahli waris lain yang menariknya menjadi ashabah. Ahli waris yang melakukan penarikan tersebut disebut mu’ashshib. Dalam situasi ini, bagian yang sebelumnya ditentukan tidak berlaku lagi dan ahli waris tersebut hanya berbagi dengan mu’ashshib-nya.

Berikut adalah ahli waris yang menjadi ashabah bi ghairihi beserta para mu’ashshib-nya:

a. Anak perempuan yang mu’ashshibnya adalah anak laki-laki (saudara kandungnya).

b. Cucu perempuan yang mu’ashshibnya adalah: Cucu laki-laki (baik saudara maupun sepupunya) dan cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki (keponakannya), jika diperlukan.

c. Saudari kandung yang mu’ashshibnya adalah saudara kandungnya

d. Saudari seayah yang mu’ashshibnya adalah saudara seayahnya.

Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, mereka akan menerima seluruh harta atau sisa harta. Pembagian dilakukan dengan memberikan bagian kepada anak laki-laki dua kali lipat dari bagian yang diterima oleh anak perempuan.

Hal ini sesuai firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Alquran surat An-Nisa’ Ayat 176 berikut ini:

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِى ٱلْكَلَٰلَةِ ۚ إِنِ ٱمْرُؤٌا۟ هَلَكَ لَيْسَ لَهُۥ وَلَدٌ وَلَهُۥٓ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَتَا ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِن كَانُوٓا۟ إِخْوَةً رِّجَالًا وَنِسَآءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّوا۟ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۢ

Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

3. Ashabah ma’al Ghair, yang juga dikenal sebagai ‘ashabah bersama orang lain, merupakan ahli waris perempuan yang menjadi ahli waris bersama-sama dengan ahli waris perempuan lainnya. Mereka adalah:

a. Saudari perempuan sekandung menjadi ahli waris bersama-sama dengan anak perempuan (satu atau lebih) atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

b. Saudari perempuan seayah menjadi ahli waris jika bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan (satu atau lebih) dari anak laki-laki.

Mereka dapat menerima sisa harta atau menjadi ashabah dengan syarat-syarat berikut:

a. Tidak ada mu’ashshib (ahli waris yang memiliki hak prioritas dari golongan ashabah bi nafsihi).

b. Tidak ada hajib (ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris).

c. Bersama-sama dengan anak keturunan perempuan pewaris.

Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka saudari sekandung atau sebapak tidak dapat menjadi ‘ashabah ma’al ghair. Jika terdapat mu’ashshib, maka saudari tersebut akan menjadi ashabah bi ghairihi.

Wallahu A’lam
Oleh Husni Alawiyah Lubis (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

  • Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

    Lihat semua pos Lecturer

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

20 komentar pada “Konsep Ashabah dalam Fikih Waris, Simak Ulasannya

  • Sofia marini rambe

    Bagaimana cara menyelesaikan masalah kewarisan bila ada perbedaan antara ahli waris ashabah bin nafsi dan ashabah bil ghairi?

    Balas
    • Sylvia Kurnia

      Kalau ada ashabah bi ghairihi, maka ashabah bi nafsihi tidak berlaku lagi. Tidak bisa melaksanakan keduanya pada tingkatan yang sama dalam kewarisan.

      Balas
  • Rifdah suriani simbolon

    Siapa siapa saja yang berhak mendapatkan ashobah?

    Balas
    • Sylvia Kurnia

      Seluruh ahli waris laki-laki kecuali suami dan saudara laki-laki seibu, dan ada beberapa ahli waris perempuan yang ditarik oleh mu’ashshib yang setingkat warisnya dengan dia, atau bersamaan menjadi ashabah dengan ahli waris perempuan yang tertentu.

      Baca kembali artikelnya lebih teliti dan cermat ya, semuanya sudah dijelaskan di situ. terima kasih.

      Balas
  • Ade Deli Suryani Ritonga

    Jelaskan bagaimana menentukan bagian ashabah jika yang meninggal adalah seorang ayah sedangkan, ahli warisnya adalah anak perempuan, saudara perempuan,saudara laki laki laki seayah

    Balas
  • Indah sry lestari

    Apa perbedaan ahli waris dzawil furudh dan ashabah?

    Balas
    • Husni Alawiyah Lubis

      Dzawil furudh adalah kelompok ahli waris yang menerima bagian tertentu. Besarnya bagian yang diterima ditentukan dalam Alquran dan Hadits. Sedangkan Ashabah adalah kelompok yang menerima sisa pembagian ashab al-furuid. Ahli waris ini tidak ditentukan bagiannya, melainkan menghabiskan sisa harta.

      Balas
  • Mawardi Hasibuan (2120100258)

    Artikel nya bagus dan mudah dibaca

    Balas
  • Nur soleha

    Artikel nya bagus dan mudah untuk di pahami

    Balas
    • Husni Alawiyah Lubis

      Terimakasih 🙏

      Balas
  • Rohit Ritonga

    artikelnya sudah bagus cuman saran saja di bagian pembagian ashobah yg tiga diatas mungkin bisa diterapkan beserta contoh peristiwa supaya lebih memahamkan kepada kita

    Balas
    • Husni Alawiyah Lubis

      Terimakasih sarannya🙏

      Balas
  • Tetty hairani Sarumpaet

    Bagaimana hukumnya jika terdapat perselisihan antara hak waris dan si ashobah dalam pembagian harta waris?

    Balas
    • Husni Alawiyah Lubis

      Hukumnya jika terdapat perselisihan antara hak waris dan si ashobah dalam pembagian harta waris adalah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan keputusan hukum yang berlaku di negara atau wilayah tertentu. Dalam beberapa negara, persyaratan dan prosedur yang harus dilakukan oleh si waris untuk memperoleh hak warisan tersebut terdiri dari beberapa tahap, mulai dari mengajukan permohonan sampai dengan melakukan pembagian harta waris.
      Persyaratan dan prosedur yang harus dilakukan oleh si waris tergantung pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara atau wilayah tertentu.

      Balas
  • Abdy Wati Tanjung

    apakah anak tiri bisa menjadi ashabah?

    Balas
    • Husni Alawiyah Lubis

      Anak tiri tidak dapat menjadi ashobah dalam hukum Islam. Menurut hukum Islam, anak tiri bukanlah seorang ahli waris karena yang dapat menjadi ahli waris adalah seseorang karena hubungan darah/keluarga atau karena hubungan perkawinan. Dalam hukum Islam, keponakan dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, keduanya berhak mewaris, tetapi anak tiri tidak termasuk dalam kategori ini.

      Balas
  • Desi Widia Harahap

    coba berikan contoh pembagian asoba yang mudah untuk dipahami?

    Balas
  • Hanif Raina Nur siregar

    Artikelnya bagus good job🔥🔥

    Balas
  • Fadhilah Khairany Ritonga

    masyaallah, artikel nya menarik😍

    Balas
  • Husni Alawiyah Lubis

    Jika ahli warisnya anak perempuan dan saudari perempuan kandung, maka yang jadi ashabahnya adalah saudari perempuan kandung.
    Saudara laki-laki seayah terhalang (Mahjub) karena ada anak perempuan bersama dengan bibinya.
    Untuk kasus ini, anak perempuan mendapatkan 1/2 dari harta warisan, sedangkan saudari perempuan kandung dapat sisa (ashabah).

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk