Konsensus Ulama (Ijma’) sebagai Penentu Hukum Syariat, Simak
TATSQIF ONLINE – Dalam sistem hukum Islam, ijma’ merupakan instrumen penting yang menjaga kesinambungan syariat dari masa ke masa. Al-Qur’an dan As-Sunnah memang menjadi dasar utama, tetapi tidak semua persoalan kehidupan diterangkan secara eksplisit dalam dua sumber tersebut. Ketika muncul persoalan-persoalan baru yang tidak ditemukan jawabannya secara langsung dalam teks, para ulama mujtahid melakukan ijtihad. Namun, agar hasil ijtihad itu tidak terpecah dan menimbulkan kebingungan di kalangan umat, diperlukan mekanisme penyatuan pendapat.
Di sinilah ijma’ memainkan perannya sebagai bentuk konsensus kolektif para ahli hukum Islam. Ijma’ bukan hanya warisan tradisi hukum klasik, tetapi juga bukti bahwa Islam memiliki struktur hukum yang adaptif, rasional, dan terarah. Tanpa ijma’, hukum Islam akan berjalan secara individualistik dan mudah terbelah oleh banyaknya perbedaan pandangan yang tidak terkonsolidasi.
A. Pengertian Ijma’
Secara bahasa, ijma’ berarti kesepakatan dan tekad yang kuat. Dalam istilah ushul fikih, ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat Nabi Muhammad ﷺ, setelah wafatnya beliau, dalam satu masa tertentu, terhadap suatu hukum syar’i. Kesepakatan ini bukan pendapat orang awam, bukan pula keputusan perseorangan, melainkan hasil ijtihad para ulama yang memiliki otoritas keilmuan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melalui penjelasan Dr. Abdullah bin Mubarak Al-Bushi menekankan bahwa ijma’ adalah produk intelektual kolektif yang lahir dari penghimpunan ulama ahli hukum yang adil dan terpercaya. Melalui ijma’, umat Islam terbantu karena mereka tidak perlu mencari hukum sendiri atau menafsirkan dalil tanpa landasan. Untuk mengetahui adanya ijma’, para ulama biasanya merujuk kepada karya-karya klasik, kitab fatwa, atau pendapat ulama besar pada masanya, sehingga bisa dilihat apakah suatu masalah pernah disepakati atau justru diperselisihkan. Karena itu, ijma’ menjadi bentuk legitimasi yang membuat suatu hukum memiliki kekuatan yang lebih kuat dibanding pendapat individual.
B. Kedudukan dan Keutamaan Ijma’
Ijma’ menempati posisi yang sangat terhormat dalam struktur hukum Islam. Secara global, ia menjadi salah satu dalil paling kuat dan termasuk dalam kelompok dalil yang disepakati keabsahannya. Para ulama menjelaskan bahwa jika terjadi pertentangan dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah, maka ijma’ menjadi alat penyelesai yang menguatkan salah satu pendapat yang dianggap paling kokoh. Hal ini bukan karena ijma’ lebih tinggi dari wahyu, tetapi karena ijma’ lahir dari pemahaman ulama terhadap wahyu yang telah dikaji secara mendalam.
Ijma’ juga dianggap sebagai bukti keberadaan dalil syar’i meskipun tidak selalu diketahui secara eksplisit oleh setiap orang, karena kesepakatan tidak mungkin terjadi tanpa landasan yang kuat. Selain itu, ijma’ bersifat tetap dan tidak dapat dinasakh. Dalam sejarah fikih, ijma’ yang sudah mapan tidak digugurkan oleh ijtihad baru, kecuali jika ternyata ditemukan dalil yang lebih kuat dari al-Qur’an atau hadis yang sebelumnya tersembunyi. Semua ini menunjukkan bahwa ijma’ sejalan dengan nash, bukan tandingan atau lawannya.
Dalil normatif ijma’ juga bersumber dari Al-Qur’an. Dalam Surah An-Nisa’ ayat 115, Allah berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا
Artinya: “Siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam neraka Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Ayat ini menegaskan pentingnya mengikuti jalan kaum mukmin, yang dalam konteks keilmuan dimaknai sebagai para ulama dan mujtahid.
Allah juga berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 143:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًاۗ
Artinya: “Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu.”
Makna “umat pertengahan” di sini dimaknai oleh sebagian ulama sebagai umat yang diberi kedudukan moral dan intelektual untuk menjadi saksi atas kebenaran, sehingga kesepakatan mereka memiliki nilai syariat.
C. Syarat-Syarat Ijma’
Ijma’ tidak bisa terjadi secara sembarangan. Ia lahir melalui syarat-syarat tertentu yang telah dirumuskan ulama ushul fikih. Pertama, harus ada kesepakatan nyata, baik melalui ucapan, fatwa, atau pendapat tertulis. Kedua, yang bersepakat adalah para mujtahid, yaitu ulama yang memiliki kemampuan ijtihad dan memahami Al-Qur’an, hadis, qiyas, dan perangkat ushul fikih lainnya. Jika dua syarat ini terpenuhi, maka ijma’ dapat berbentuk ijma’ sharih, yaitu yang dinyatakan secara jelas oleh para mujtahid, atau ijma’ sukuti, yaitu kesepakatan diam ketika satu pendapat muncul dan tidak ada penolakan dari ulama lain pada masanya.
D. Rukun-Rukun Ijma’
Para ulama menyusun sejumlah rukun agar suatu ijma’ dinyatakan sah. Pertama, pendapat yang dihasilkan harus disepakati seluruh mujtahid pada masa itu. Jika ada penolakan eksplisit dari satu mujtahid, maka ijma’ dianggap gugur. Kedua, semua mujtahid di berbagai wilayah dunia Islam pada masa tersebut harus dilibatkan secara konseptual, bukan hanya ulama satu tempat. Ketiga, kesepakatan harus dihasilkan setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangan mereka. Keempat, kesepakatan itu tampak melalui perkataan atau tindakan hukum secara jelas. Kelima, prosesnya terjadi dalam masa yang sama, bukan lintas generasi. Rukun-rukun ini menunjukkan bahwa ijma’ bukan perbuatan informal atau spontan, tetapi mempunyai mekanisme yang diperhitungkan secara serius.
E. Contoh-Contoh Ijma’
Dalam fikih klasik, ada banyak contoh konkret ijma’ yang dijadikan rujukan. Dalam bab thaharah, para ulama sepakat bahwa salat tidak sah tanpa bersuci jika ada air. Mereka juga sepakat bahwa air selain air mutlak, seperti air bunga atau tetesan pohon, tidak dapat digunakan untuk wudu. Mereka juga menyepakati bahwa mendahulukan tangan kiri dari kanan dalam wudu tidak membatalkan keabsahannya, walaupun tidak sesuai dengan sunnah afdal. Ulama juga sepakat bahwa imam yang bersuci dengan air sah menjadi imam bagi yang tayamum.
Dalam bab muamalah, terdapat pula ijma’ bahwa menjual manusia merdeka hukumnya haram. Jual beli khamar juga disepakati keharamannya. Transaksi hutang dengan hutang tanpa kejelasan dianggap tidak sah. Jual beli hewan secara tunai dibolehkan. Ulama juga sepakat bahwa enam benda ribawi, seperti emas, perak, gandum, dan kurma, tidak boleh dipertukarkan kecuali setara dan tunai. Dalam mudharabah, penggunaan dinar atau dirham dibolehkan sebagai modal, dan pembagian keuntungan harus ditentukan secara jelas sejak awal. Jika ada syarat sepihak yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja, akadnya dianggap batal.
F. Kehujjahan Ijma’
Kehujjahan adalah kedudukan suatu dalil sebagai landasan hukum yang wajib diikuti. Dalam Islam, ijma’ memiliki status hujjah setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kata “kehujjahan” berasal dari kata hujjah yang berarti bukti, dalil, atau alasan yang kuat dan mengikat. Jika ijma’ telah terbentuk, maka umat wajib mengikutinya, karena kesepakatan ulama tidak mungkin berada di atas kesesatan. Hal ini dikuatkan oleh ayat-ayat yang menegaskan kewajiban taat kepada Rasul dan jalan orang-orang beriman, serta hadis Nabi ﷺ:
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى الضَّلَالَةِ
Artinya: “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Ayat-ayat Al-Qur’an juga menjelaskan urgensi mengikuti ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Dalam QS. Al-Ahzab ayat 36, Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka.”
Ayat-ayat seperti ini menjadi fondasi bahwa keputusan hukum yang bersumber dari kesepakatan atas dasar wahyu wajib ditaati.
Penutup
Dari seluruh uraian di atas, tampak bahwa ijma’ adalah mekanisme ilmiah dan keagamaan yang menjaga agar hukum Islam tetap hidup, terarah, dan tidak tercerai-berai oleh perbedaan yang tidak terkendali. Ijma’ lahir dari ijtihad kolektif para ulama yang berkompeten dan bertanggung jawab. Kehujjahannya diakui oleh Al-Qur’an, hadis, dan logika syar’i. Ijma’ telah berperan menjembatani pengalaman masa Nabi dengan dinamika peradaban setelah beliau wafat. Ia tidak hanya menguatkan hukum yang sudah ada, tetapi juga menjawab kebutuhan-kebutuhan baru umat Islam. Selama ijma’ dipahami secara ilmiah dan proporsional, ia akan tetap menjadi benteng dan cahaya dalam perjalanan hukum Islam sepanjang zaman. Wallahu’alam.
Latifah Aini (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
apakah semua ulama berhak terlibat dalam ijma’ atau ulama mujtahid saja, dan sebutkan salah satu ulama yang terlibat melakukan ijma’?
Ijma adalah kesepakatan para ulama mujtahid dalam menentukan hukum syariat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yang berhak terlibat dalam ijma adalah para ulama mujtahid yang telah mencapai tingkat kemampuan ijtihad yang tinggi.
Syarat ulama Mujtahid dalam ijma
– Kemampuan ijtihad yang tinggi
– Menguasai Al-Qur’an dan Hadits
– Mampu melakukan analisis hukum yang mendalam
Contoh ulama yang terlibat dalam ijma
– Abu Bakar dan Umar bin Khattab, dua sahabat Nabi yang terlibat dalam ijma’ Khulafaurrasyidin
– Ibnul Mundzir, seorang ulama yang menulis kitab Al-Ijma’ yang membahas tentang ijma’ ulama
– Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hambal, mereka semua memiliki pendapat tentang ijma’ dan bagaimana ijma’ dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam
Bagaimana kedudukan Ijma’ dibandingkan dengan Qiyas dalam hierarki sumber hukum Islam, dan dalam kondisi apa Ijma’ lebih diutamakan?
Kedudukan Ijma’ dan Qiyas dalam Hierarki Sumber Hukum Islam
1. Al-Qur’an
2. Hadits
3. Ijma
4. Qiyas
Perbandingan Ijma’ dan Qiyas
– Ijma’ memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat daripada qiyas karena ijma’ merupakan kesepakatan para ulama mujtahid yang tidak mungkin bersepakat pada kesesatan.
– Qiyas digunakan ketika tidak ada dalil yang jelas dari Al-Qur’an, Hadits, atau Ijma.
Kondisi Ijma Lebih Diutamakan
– Ketika ada kesepakatan ulama mujtahid tentang suatu masalah hukum yang tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan Hadits.
– Ketika qiyas dapat menimbulkan perbedaan pendapat yang signifikan, ijma’ dapat menjadi rujukan yang lebih pasti.
– Ijma juga lebih diutamakan karena telah melalui proses musyawarah dan kesepakatan bersama, sehingga lebih terjamin kepastian hukumnya.
Dengan demikian, ijma memiliki prioritas lebih tinggi daripada qiyas dalam hierarki sumber hukum Islam karena kekuatan hukumnya yang lebih kuat dan kepastian hukum yang lebih terjamin.
Dalam pembuktian ijma‘, apakah “diam” (sukut) dianggap bukti persetujuan? Jelaskan pandangan para ushuliyyin.
Dalam pembuktian ijma diam (sukut) dapat dianggap sebagai bukti persetujuan menurut beberapa ulama ushuliyyin, tetapi ada perbedaan pendapat tentang hal ini.
Pandangan yang Menerima Ijma Sukuti
– Imam Ghazali berpendapat bahwa ijma’ sukuti dapat diterima sebagai hujjah, karena diamnya ulama dianggap sebagai persetujuan.
– Al-Bazdawi juga berpendapat bahwa ijma’ sukuti sah asalkan memenuhi dua syarat:
1. Pendapat dari satu ulama atau sekelompok ulama harus diketahui oleh seluruh ulama.
2. Waktu yang diperlukan untuk mempertimbangkan masalah yang diperselisihkan harus sudah lewat.
– Mazhab Hanafi dan Hanabilah juga menerima ijma’ sukuti sebagai hujjah.
Pandangan yang Menolak Ijma’ Sukuti
– Imam Syafi’i menolak ijma’ sukuti karena tidak ada pernyataan atau tindakan yang dapat dinisbatkan kepada seseorang yang berdiam diri.
– Al-Amidi berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukanlah ijma’ dan bukan pula otorita, tetapi dapat dijadikan hujjah yang bersifat dzanni relatif
– Jumhur ulama juga berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukanlah hujjah yang pasti karena tidak ada kepastian bahwa ulama yang diam benar-benar setuju
Apakah hasil ijma’ bisa diubah kalau muncul pendapat baru?
Hasil Ijma dan Kemungkinan Perubahan
Ijma adalah kesepakatan para ulama mujtahid tentang suatu masalah hukum Islam. Hasil ijma memiliki kekuatan hukum yang kuat, tetapi bukan berarti tidak dapat diubah atau ditinjau ulang.
Kondisi yang Memungkinkan Perubahan
– Munculnya dalil baru yang lebih kuat dan dapat mengubah pemahaman sebelumnya.
– Perubahan kondisi sosial dan budaya yang signifikan sehingga memerlukan penafsiran ulang.
– Adanya kesalahan dalam penafsiran atau pemahaman sebelumnya.
Proses Perubahan
– Dilakukan melalui proses ijtihad dan musyawarah para ulama mujtahid.
– Harus didasarkan pada dalil yang kuat dan analisis yang mendalam.
Dengan demikian, hasil ijma’ dapat diubah atau ditinjau ulang jika ada dalil yang lebih kuat atau perubahan kondisi yang signifikan, tetapi harus dilakukan melalui proses yang ketat dan berdasarkan dalil yang kuat.